Mereka bersorak kagum ketika menyadari aku bisa berbicara dalam bahasa mereka. Reaksi orang-orang di sekitarku beragam, ada yang terkesan, sementara yang lain masih tampak ragu terhadapku.
"Wow!! Tuan akhirnya bisa bicara dengan normal, yeay!!" Seru gadis harimau putih itu, menyapaku dengan antusias.
"Ahahaha, ya! Kita nggak perlu pakai isyarat lagi!" balasku dengan nada gembira.
"Iya, Tuan! Hihi!" Gadis harimau putih itu tersenyum lebar, memperlihatkan kegembiraannya.
"Oh, Tuan Leonard, ya?" tanyaku sambil mengangguk sopan.
"Ya, benar. Itu namaku. Ada yang bisa aku bantu?" jawabnya dengan tenang.
"Bisakah Anda menjaga rahasia ini? Ini berkaitan dengan senjata dan asal-usul saya," kataku serius, memastikan agar identitasku tidak tersebar luas.
Aku khawatir jika semua orang di kerajaan ini mengetahui identitasku, bisa-bisa aku menjadi bahan pembicaraan yang tak ada habisnya.
"Tentu saja, aku dan para prajuritku bisa menjaga rahasia ini. Namun, aku tidak yakin dengan dua petualang itu. Mereka cenderung menjual informasi menarik ke guild untuk mendapatkan penghasilan tambahan," balas Tuan Leonard sambil melirik dua petualang yang ikut bersamaku.
Kelihatannya merahasiakan ini akan lebih sulit dari yang kuduga. Aku harus bisa mendapatkan kepercayaan mereka.
"Namun, jangan khawatir. Aku yakin setelah kejadian ini, mereka akan menjaga kerahasiaannya. Serahkan saja padaku," imbuh Tuan Leonard, mencoba menenangkanku.
"Tapi bagaimana dengan pihak istana? Bukankah Anda berencana melaporkan kejadian ini?" tanyaku dengan ragu.
"Tentu saja, aku harus melaporkannya. Masalah ini terlalu penting untuk disembunyikan. Yang Mulia harus segera mengambil tindakan terhadap para pemberontak asing ini. Namun, tenang saja, istana akan menjaga identitasmu sesuai permintaanmu. Jadi, tak perlu khawatir," jelasnya dengan penuh keyakinan.
Aku mengangguk lega, tapi tetap waspada terhadap kedua petualang itu.
"Sebelum kamu ikut dengan kami, ada satu hal yang harus kamu singkirkan dulu. Ingat?" tiba-tiba Chinua, pendekar wanita itu, menghampiriku.
"Maaf, tapi aku lupa apa yang kamu maksud. Memangnya apa?" jawabku santai.
"Aura pembunuhmu! Hilangkan dulu itu!" katanya dengan nada kesal.
Aku teringat peringatan Tuan Leonard tentang aura pembunuhku. "Oh, itu! Tapi... gimana caranya, Dek Cantik?" jawabku sambil bercanda.
"Ca-cantik, Adek?" Chinua terkejut sejenak, wajahnya memerah. "Hmm, kamu pintar menilai penampilan orang, rupanya," katanya sambil tersenyum kecut. Aku hanya bisa mengerutkan dahi, bingung dengan reaksinya.
"Heh? Muka apa tuh? Apa dia lagi malu? Apa dia tsundere?" gumamku dalam hati, sedikit terheran.
"Pokoknya, singkirkan dulu aura pembunuhmu," katanya dengan wajah yang masih sedikit memerah.
"Sudah kubilang, gimana caranya?" tanyaku, tak kalah bingung.
"Masak gitu aja perlu diajari, huh?" jawabnya ketus.
Tuan Leonard, yang melihat kami berdebat, mendekat. "Nona Chinua, apa kau tidak ingat? Anak muda ini tidak tahu bagaimana cara mengendalikan aura pembunuhnya," jelasnya dengan nada sabar.
"Huh!? Serius? Masa nggak tahu caranya? Di negaramu nggak diajarin begituan?" Chinua memandangku tajam.