Para penjudi yang menyaksikan pertukaran kata-kata itu semakin terbawa suasana, ikut larut dalam kegembiraan yang tercipta. Salah satu dari mereka, yang baru saja memenangkan permainan, tidak bisa menahan diri dan berusaha menantang. "Ayo kita selesaikan di sini! Aku akan membuatmu menjerit, sampai kau tak bisa lepas dariku," ujar penjudi itu dengan tatapan mengarah pada Urara, mencoba mengintimidasi dengan cara yang rendah.
Namun Urara, dengan tatapan tajam dan tak tergoyahkan, membalas kata-kata tersebut dengan sinis. "Ah, kau yakin adik kecilmu bisa menghancurkanku?" ujarnya, menanggapi dengan nada meremehkan. Jelas, dia merasa penjudi itu jauh dari ancaman.
"Adik kecil, katamu? Kau belum melihat kemampuan sesungguhnya! Baiklah, cepat buka pakaianmu!" jawab penjudi itu dengan sombong, berusaha memaksakan dirinya sebagai pemenang yang kuat dan menakutkan.
"Sombong sekali! Buktikan kalau kata-katamu benar!" Urara menantang dengan penuh keyakinan, tatapan mereka saling bertemu dan membara, menciptakan ketegangan yang kian memanaskan suasana.
"Ayo, aku juga ingin mencicipi!" seru salah satu pria lain dengan suara lantang.
Meskipun Urara hanya acuh tak acuh, Aran tetap memperhatikan dengan tenang, tidak menunjukkan tanda-tanda terpengaruh oleh tingkah para penjudi itu yang dengan sengaja berusaha mengganggu senioritasnya.
"Baiklah, kali ini aku tidak akan menghalangimu. Lakukan saja apa yang kau inginkan pada mereka," kata Aran dengan dingin, lalu berbalik dan melangkah keluar dari bar. Seolah dia tahu apa yang akan terjadi didalam bar.
"Tak perlu mengajari aku, Aran!" jawab Urara dengan ketus, namun tak lama setelah itu, ia bersiap dengan rencananya sendiri.
Setelah Aran pergi, Urara pun memanfaatkan situasi dengan licik, berpura-pura mengikuti permainan mereka. Perlahan, ia mulai membuka jubahnya, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah, masih dibalut pakaian Assassin ketat yang menggoda. Hal itu semakin memancing gairah para penjudi yang sudah tak bisa menahan diri.
"Tubuhmu memang indah, Nona," salah satu pria mengomentari dengan tak sabar.
"Ah, baru ini pertama kalinya, ya? Padahal aku belum melepas semuanya," kata Urara dengan nada menggoda, sambil memberi tatapan menggairahkan.
"Masa bodoh!! Aku yang memenangkan permainan ini! Jadi, aku yang berhak pertama!" teriak pria besar yang sebelumnya memenangkan perjudian itu.
"Wah, ganas sekali, Tuan. Pelan-pelan saja," balas Urara dengan manis. Namun, saat para penjudi lengah dan terbuai dengan kalimat-kalimat menggoda darinya, Urara secara diam-diam meraih sepasang belati tajam yang tersembunyi di balik jubahnya yang telah dilepaskan.
Tiba-tiba, pria besar itu menarik lengan Urara dan membantingnya ke atas meja, niatnya jelas ingin memaksakan kehendaknya. Namun, tanpa memberi kesempatan lebih, Urara mengalihkan serangan dengan cepat, menyalurkan kemampuannya untuk memotong leher pria tersebut dengan tepat. Kepalanya terpisah dalam sekejap, jatuh ke meja dengan darah yang mengalir deras.
Ketika itu, udara di dalam bar terasa berat, dipenuhi ketakutan yang mencekam. Jeritan dan teriakan mulai bergema, menciptakan harmoni ketegangan yang mengisi ruangan. Semua pengunjung yang sebelumnya menyaksikan dengan antusias kini terdiam, terperangah, tak mampu bergerak di hadapan kemarahan Urara yang tak terkendali. Belati tajam yang ia pegang tak ragu lagi digunakan untuk menyelesaikan pertarungan ini, dan tanpa ragu, Urara memulai pembantaian yang tak terhindarkan di dalam bar tersebut.
***
Ketika Aran sedang menunggu di luar bar, seorang pria yang mengendarai kuda datang menghampirinya. Pria itu mengenakan jubah panjang yang sengaja menyembunyikan identitasnya, membuat Aran sedikit curiga akan niat pria tersebut.
Namun, kecurigaan Aran segera terjawab saat pria itu mulai berbicara. Suaranya penuh dengan misteri, seolah menyimpan banyak rahasia.