Zahra tertawa kecil melihat keprihatinanku.
"Tidak begitu, tapi setidaknya kekuatanmu akan lebih dari cukup untuk melindungi dirimu dan orang-orang terdekatmu. Jika engkau ingin mendapatkan kekuatan yang lebih besar, maka engkau harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan Vassal Weapon, peninggalan dari pemimpin pahlawan terdahulu. Itu juga merupakan bagian dari misimu nanti," jelasnya.
"Vassal Weapon? Apa itu? Apakah itu semacam senjata?" tanyaku.
"Iya, dengan senjata itu, engkau akan menjadi jauh lebih kuat. Sayangnya, aku sendiri tak tahu keberadaan benda itu. Namun, jika engkau menerima misi ini, selama berada di dunia Astren, Tuhan pasti akan memberikan petunjuk," jelasnya.
"Aku bisa menerimanya, mungkin itu adalah bagian dari ujianku nanti. Pasti ada alasan mengapa Tuhan tidak memberitahu kita," jawabku.
"Syukurlah engkau bisa mengerti!" Zahra bersyukur.
Jika kuberpikir lebih dalam, menjalankan misi ini sebenarnya tak melanggar prinsip-prinsipku. Namun, masih ada hal lain yang membuatku bertanya-tanya. Apakah setelah semua tugas ini selesai, aku akan dapat kembali ke dunia asalku? Aku pun menanyakan hal itu kepada Zahra.
"Setelah semuanya selesai, apakah aku bisa kembali ke Bumi?" tanyaku.
Zahra tersenyum manis ketika menjawab, "Tentu, setelah semuanya berakhir, Tuhan akan mengembalikanmu ke duniamu dan engkau dapat melanjutkan kehidupan sebagai seorang tentara. Itu tidak akan melanggar prinsip-prinsipmu, bukan?" tuturnya.
"Benar juga, menjalankan misi ini bukan keputusan yang salah," ujarku mantap.
"Tuhan mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya, jadi tak perlu ragu memilih apa yang telah ditentukan-Nya untukmu. Karena apa pun yang berasal dari pemberian Tuhan pasti yang terbaik," jawab Zahra dengan penuh keanggunan.
Aku tersenyum kecil, "Kau memang ahli dalam membujuk orang, ya!"
"Ingatlah bahwa aku juga adalah istrimu. Tentu saja aku bisa membujukmu, karena aku adalah bagian dari dirimu," ujarnya sambil tersenyum.
Senyuman itu membuat hatiku seakan-akan terbang ke langit ketujuh. "Ah, biarlah!" kataku mencoba mengalihkan perhatiannya.
"Loh, ada apa?" tanyanya heran melihat perubahan sikapku.
"Daripada menjalankan misi yang merepotkan itu, lebih baik, biarkan aku tetap di sini bersamamu!" godaku.
Seketika, wajah Zahra memerah karena malu akan bujuk rayuku. "Ja..ja..jangan bicara begitu. Aku jadi malu, ih!"
"Hee~ jadi dia juga bisa tersipu malu," gumamku.
"Hahaha, aku cuma bercanda kok!" kataku sambil tertawa.
"Ih, jangan menggodaku," ujarnya, masih tersipu. "Sebenarnya aku juga masih ingin menghabiskan banyak waktu bersamamu. Tapi kita tidak bisa selamanya seperti ini. Kita punya tugas masing-masing sebagai makhluk," jelasnya.
"Aku paham kok," balasku sambil mata terpejam.
"Uhum, ada satu hal lagi yang ingin kukatakan," ucap Zahra, kembali serius.
"Apa lagi?"
"Selama engkau didunia itu ingatanmu tentang semua ini akan dihapus sementara. Engkau tidak akan bisa mengingatnya hingga kita bertemu kembali di surga," jelasnya.
Meskipun sangat disayangkan bahwa aku tidak akan dapat mengingat kembali pengalaman-pengalaman ini, sepertinya bukan hal yang buruk. Aku yakin ini pasti merupakan aturan kodrat yang telah ditentukan-Nya.
"Bagiku bukanlah masalah, selama itu adalah yang terbaik dan aku mampu menerimanya, aku akan melakukannya dengan lapang dada," ujarku dengan mantap.
"Jadi, apakah engkau menerima misi ini?"