19 Januari 2019 - Sabtu siang, Adam masih terlihat selalu murung di kamarnya. Tidak melakukan apa-apa dan hanya duduk bertekuk lutut di atas kasur.
Beberapa detik kemudian, ada notifikasi masuk ke dalam Smartphone. Adam langsung mengambil Smartphone-nya itu dan melihat ada chat dari Lira yang masuk.
"Mas maaf mengganggu, Mas Adam gimana kabarnya?"
Adam pun hanya melihat rendah chat dari Lira tersebut dan langsung menaruh kembali Smartphone-nya di sebelahnya Adam duduk. Pikirannya Adam saat itu benar-benar kosong dan hanya teringat dengan segala kesalahannya pada tahun lalu.
Gue capek, gue lagi nggak mau mikir tentang apapun. Gue sudah kalah sama kehidupan gue sendiri.
...
Apa masih ada yang peduli dengan gue? Bodo lah, nggak ada. Gue terlalu lemah untuk hidup.
~...Adam, rileks...~
Gue bener-bener ingin bersama Mita dan dia sudah bersama orang lain....
...
Apa lebih baik gue mati aja ya?
~...Adam, kalo kamu mati, semua perjuanganmu sia-sia...~
Karena pikirannya Adam semakin menjadi-jadi, Adam langsung menyandarkan kepalanya di atas lutut. Lalu dia berbisik kepada dirinya sendiri.
"Gue nggak pernah selemah ini, memang Mita itu siapa sih? Kenapa gue begitu mencintainya?"
~...Kamu begitu kenal dan bisa memahami dia...~
"Iya, dia itu memang punya banyak kemiripan dengan gue. Terutama sifat yang berbeda dari kebanyakan orang, sama kayak gue. Bedanya dia tampak positif, gue selalu negatif."
...
"Gue selalu baik ke semua orang. Tapi kenapa di dalam kondisi yang gue inginkan ini, malah tidak ada yang membantu sama sekali. Gue salah apa?"
...
"Gue ini bodoh ... iya, gue ini bodoh! Gue ini tolol sudah berbuat baik ke semua orang. Seharusnya dunia ini mendukung gue di saat membutuhkannya, tapi mana? Gue yang terlalu banyak untuk bersikap baik, udah terlalu capek untuk mengalah terus. Gue selalu berusaha untuk menahan diri agar bisa mendapatkan pasangan yang tepat tanpa menyakiti orang lain. Tapi sekalinya ketemu, malah gue yang berubah menjadi gila seperti ini."
...
"Jahat, Mita itu Jahat. Iya aku paham dan gue nggak akan lagi berbicara soal kebaikan setelah ini. Ramah? Apa itu ramah? Buktinya orang yang terlihat ramah bisa terlihat Jahat. Buat apa gue percaya lagi dengan kebaikan? Kalau ujungnya hanya membuat celaka sendiri? Gue sudah muak!"
...
"Gue jadi males ketemu sama semua orang. Mereka semua jahat. Jahat! Coba kalo dulu Bangrud nggak ngalangin gue, coba kalo dulu gue nggak melihat Mita bertengkar dengan mas Dika, coba kalo dulu gue nggak dipindah ke timnya mas Dika, coba kalo dulu Hida tidak konyol saat menjawab pertanyaan dari si tukang pindah-pindahin orang itu. Bangsat!"
~...Adam...tenanglah...~
"Atau mungkin mereka nggak salah? Iya, ini semua salah Tuhan. Tuhan yang membuat gue sengsara seperti ini. Gue nggak pernah beruntung dibuatnya."
Adam masih tampak diam sambil menundukkan kepalanya di atas lekukan lututnya.
Suasana terasa hening.
Dia pun tiba-tiba menaikkan kepalanya untuk melihat ke arah langit-langit dan berteriak sekeras-kerasnya.
"KAMU ITU SEBENARNYA MAU APA?!"
"DULU KAMU TIBA-TIBA PINDAHIN AKU KE TIMNYA MAS DIKA! TERUS KAMU SURUH AKU MENYUKAI MITA! TERUS KAMU KASIH LAGI BANGRUD UNTUK NGALANG-NGALANGIN USAHAKU! IYA KAN?! HAL APA YANG INGIN KAMU TUNJUKKAN, HAH?!"
Adam yang masih terlihat marah mencoba untuk berhenti sejenak, menarik dan membuang napas dan segera menutup matanya. Dia lalu berkata kepada dirinya sendiri secara perlahan.
"Setelah aku tahu ... bahwa aku benar-benar menyayanginya ... sekarang kamu bawa pergi dia lagi?"
Dengan masih duduk bertekuk lutut, Adam mulai menitikkan air matanya.
~...Adam, sadar...sadarlah...~
Sakit ... kalo semisal gue jadi pembunuh aja gimana ya? Apa rasa sesal ini akan hilang? Sakit sekali.
Hiks...
~...Adam, Sadar!...~
Hiks...