The Dinner (Indonesian Edition)

Bentang Pustaka
Chapter #3

3

“Michel?”

Aku berdiri di ambang pintu kamarnya. Dia tak berada di sana. Namun, aku tak ingin membuang waktu; aku tahu dia tidak ada di kamarnya. Dia sedang berada di kebun, memperbaiki ban belakang sepedanya.

Aku bersikap seakan-akan tidak mengetahuinya, aku berpura-pura mengira dia berada di kamarnya.

“Michel?” Aku mengetuk pintu, yang setengah terbuka. Claire sedang mencari-cari sesuatu dalam lemari di kamar kami. Kami harus berangkat ke restoran kurang dari satu jam lagi, tetapi dia masih ragu antara mengenakan rok hitam dengan sepatu bot hitam atau celana panjang dengan sneaker DKNY. “Anting-anting mana yang cocok?” Dia akan bertanya kepadaku nanti. “Yang ini, atau ini?” Anting-anting yang kecil lebih cocok untukmu, aku akan menjawab, baik dengan rok ataupun celana panjang.

Akan tetapi, saat ini aku berada di dalam kamar Michel. Aku langsung melihat yang kucari.

Aku ingin menekankan fakta bahwa aku belum pernah melakukan sesuatu seperti ini. Tidak pernah. Ketika Michel sedang mengobrol dengan teman-temannya di komputer, aku selalu berdiri di sebelahnya dengan punggung setengah berbalik ke arah meja sehingga aku tidak dapat melihat ke layar. Aku ingin dia bisa menduga dari posisiku bahwa aku tidak sedang mencoba mengintip dari balik pundaknya untuk melihat yang sedang diketiknya.

Kadang-kadang ponselnya berbunyi seperti seruling, menandakan adanya pesan masuk. Dia mempunyai kebiasaan membiarkan ponselnya tergeletak, aku akui bahwa diriku kadang-kadang tergoda untuk melihatnya, terutama ketika dia sedang keluar. “Siapa yang mengiriminya pesan? Apa yang dituliskan anak laki-laki/perempuan itu?”

Suatu kali aku bahkan berdiri di sana dengan ponsel Michel di tanganku, mengetahui bahwa anak itu belum akan pulang dari gym sejam lagi, dan dia lupa membawa benda itu—ini adalah ponsel lamanya, Sony Ericsson tanpa tutup geser, layarnya menunjukkan “1 pesan baru”, di bawah lambang amplop. “Aku tidak tahu sedang memikirkan apa. Tiba-tiba saja aku sudah memegang ponselmu dan membaca pesanmu.”

Mungkin tidak akan ada seorang pun yang tahu, tetapi mungkin saja mereka akan mengetahuinya. Michel tidak akan berkomentar, tetapi jelas dia akan mencurigaiku atau ibunya, sebuah celah kecil yang, dengan berlalunya waktu, akan melebar menjadi jurang menganga. Kehidupan bahagia kami sebagai keluarga tidak akan pernah sama lagi.

Ponsel itu hanya beberapa langkah di atas mejanya di depan jendela. Jika mencondongkan tubuh ke depan, aku bisa melihat Michel di kebun, di teras berubin di depan pintu dapur, tempatnya memperbaiki ban dalamnya—dan jika Michel mendongak, dia dapat melihat ayahnya berdiri di balik jendela kamarnya.

Lihat selengkapnya