RAHMA mematut dirinya di depan cermin, berputar ke kiri dan ke kanan untuk melihat bentuk punggung yang sudah berubah dari yang seharusnya. Hari ini dia diperbolehkan untuk pulang, setelah beberapa hari lalu menahan diri untuk menyelesaikan masa rawat inap di rumah sakit. Selama beberapa hari itu juga, dia berusaha untuk menangkap basah seseorang yang sejak insiden di kamar VIP Rose tersebut, tak lagi melakukan kunjungan padanya.
“Terlihat sempurna, padahal sebenarnya tidak. Bagus!” gumam Rahma seraya beranjak meninggalkan kamar mandi. Saat keluar, dia mendapati ibunya sedang memasukkan barang-barang yang sebelumnya dibawa ke rumah sakit itu ke dalam tas karung berukuran sedang. Rahma menatap sendu sang ibu, merasa bersalah saat mengingat apa yang dilakukannya selama beberapa hari sejak kejadian itu. Dengan langkah pelan dia mendekati wanita paruh baya tersebut, dan memeluknya dari belakang.
“Maafkan Rahma, ya, Ma.” Gadis yang hari ini mengenakan gamis berbahan satin dengan warna cokelat susu itu menempelkan wajah ke punggung ibunya, semakin mengeratkan pelukan saat sang ibu mengusap-usap punggung tangannya.
“Mama juga mau minta maaf, karena sudah menyembunyikan semuanya dari kamu. Mama nggak bermaksud begitu, tapi ….”
“Rahma tau, dan Rahma mengerti. Mama cuma nggak mau Rahma melakukan hal yang sama seperti dulu, kan?” Rahma menghela napas berat sebelum melanjutkan perkataannya. “Rahma nggak akan menuntut mereka. Sekalipun mau, nggak akan bisa juga. Anak itu baru tujuh belas tahun, jadi nggak akan bisa masuk penjara.”
Sang ibu berbalik badan, memegang bahu Rahma dan memberikan tatapan khawatir. Dibelainya kepala yang tertutup hijab berbahan satin dan berwarna cokelat gelap itu dengan lembut. Rahma mengerti raut sang ibu, memberikan senyum manis dan mengangguk.
“Mama tenang saja, Rahma bisa menjaga emosi, kok.”
Sang ibu turut mengangguk dan tersenyum lega. “Mama tau, dan mama percaya sama kamu.”
“Ayo!” ajak Rahma pada ibunya sambil membawa tas karung yang sudah tertutup sempurna itu menggunakan tangan kanan. Awalnya sang ibu melarang karena dia baru saja sembuh, dan masuk tahapan selanjutnya, yaitu rawat jalan. Akan tetapi, dia sangat mengenal anaknya yang keras kepala. Akhirnya, sang ibu pun hanya mendiamkannya saja.
Keduanya saling menautkan tangan saat berjalan menuju lift untuk turun dari lantai VIP. Saat pintu lift terbuka, sosok yang ditunggunya beberapa hari ini muncul di sana. Kepalanya tertunduk dan ekspresi yang ditunjukkan seolah menahan rasa bersalah dan malu. Rahma tak memedulikannya dan memasuki bilik tersebut bersama sang ibu. Selama beberapa menit tanpa pembicaraan, hingga bunyi yang menandakan lift sudah sampai di lantai utama terdengar. Pintu lift kembali terbuka, Rahma pun mengajak ibunya untuk keluar.
“Rahma!” Gadis itu menoleh dan menatap datar lelaki yang tampak sendu itu. “Aku ingin bicara denganmu sebentar, boleh?” lanjutnya meminta dengan raut penuh harap. Rahma tak memberikan jawaban, hanya menunjukkan ekspresi ragu.
“Mama masih harus mengurus administrasi, jadi kamu bisa menunggu sambil bicara dengannya. Nanti, kalau sudah selesai, langsung keluar saja, ya? Mama tunggu di parkiran bersama pamanmu.” Sang ibu mengulas senyum sambil mengangguk, kemudian melangkah jauh dari Rahma yang hanya bisa menghela napas sembari menggelengkan kepala.
Rahma menoleh lagi ke arah lelaki berjas putih di belakangnya, dan bergerak melewati lelaki tersebut menuju sebuah lorong yang memiliki kursi panjang berbahan empuk. Lelaki bertubuh jangkung itu mengiringinya dari belakang. Sampai di sana, Rahma duduk seraya menghela napas lelah. Punggung yang belum sembuh total itu disandarkan senyaman mungkin ke sandaran kursi berwarna biru tua di belakangnya. Sementara lelaki tadi duduk di sampingnya, agak jauh di sisi lain kursi tersebut.
“Aku minta maaf.” Lelaki itu memulai pembicaraan dengan nada lirih. Pandangannya mengarah ke depan, tepatnya pada dinding putih yang disinari lampu berwarna jingga di atas langit-langit lorong.