RAHMA baru saja selesai membersihkan kamar, saat salah seorang juniornya di asrama memberitahu bahwa dia memiliki tamu yang sedang menunggunya di bawah. Gadis yang saat ini mengenakan kaos oblong berwarna putih polos dengan bawahan celana olahraga itu tampak bingung, namun tetap berjalan mengiringi si junior ke lantai satu asrama yang menjadi tempat tinggal kedua selama dia merantau di kota tersebut setelah memakai jaket dan hijabnya terlebih dahulu.
Saat baru mengeluari pintu utama, Rahma disambut oleh sosok gadis berpenampilan bak hantu perawan, dengan gaun tidur berwarna putih berbahan lace dan bergaya Eropa, serta rambut yang tergerai panjang hingga menutupi sebagian wajahnya yang pucat pasi. Gadis itu berdiri tegak, menatap tanpa ekspresi ke arahnya. Rahma tidak takut, malah kasihan karena gadis tersebut dijauhi oleh penghuni asrama yang terlebih dulu menyambutnya dengan wajah ketakutan. Didekatinya gadis tersebut, lalu menyibak rambut yang tampak sangat basah jika dilihat dari tetesan air yang jatuh dari ujung helainya itu kebelakang telinga si gadis. Rahma menyentuh kain bajunya, dan menghela napas pelan.
“Kak Rahma ….”
Rahma menoleh ke arah junior yang memberinya informasi tadi, lalu tersenyum tipis. “Tenang, dia manusia, kok. Maaf, udah bikin kalian takut.” Setelah menenangkan para penghuni asrama, Rahma membawa gadis yang masih diam tanpa ekspresi apapun di wajahnya itu naik ke lantai atas, dan masuk ke kamarnya. Menutup pintu lalu mengambil handuk yang tergantung di belakangnya, Rahma kemudian mendekati gadis yang didudukkannya di atas tepi kasur tersebut. Kegiatan mengeringkan rambut panjang berwarna hitam legam itu pun dimulai.
“Apa yang kamu lakukan sampai basah begini? Padahal di luar sama sekali tidak hujan.” Rahma berujar sambil meremas rambut si gadis dengan lembut.
Gadis tersebut tetap diam, hanya menyorot tajam ke arahnya. Rahma menghela napas dan menyelesaikan kegiatannya, kemudian mengangkat handuk dari kepala remaja berkulit putih pucat itu.
“Dari mana kau mendapatkan alamatku?” tanyanya kemudian sambil bangkit dan melangkah menuju pintu untuk menggantung kembali handuk yang sedikit lembab itu. Merasa pertanyaan yang dilontarkan masih diabaikan, Rahma pun berujar kembali dengan nada malas. “Baiklah, jika tidak mau menjawab. Aku akan mencari tau sendiri nanti.”
“Dari rumah sakit.”
Rahma sedikit tersentak, lalu mengulas senyum tipis. “Oh, ya? Aku baru tau, kalau rumah sakit bisa memberikan data pribadi pasien pada sembarang orang.”
“Rumah sakit itu milik keluargaku ….”
“Ya, ya, ya … aku tau, tak perlu dijelaskan.” Rahma menganggukkan kepalanya dengan ekspresi malas, karena dia tahu maksud perkataan gadis itu. Namun, dalam benaknya, Rahma sudah mengatur sebuah rencana protes pada pihak rumah sakit yang seenaknya saja melakukan hal tersebut. Hanya karena rumah sakit itu milik keluarganya, bukan berarti mereka bisa semudah itu mengikuti kemauan gadis remaja itu.
“Dengan siapa kamu kemari?” tanya Rahma kemudian, seraya duduk di lantai, berhadapan dengan gadis berwajah pucat tersebut.
“Sendiri,” jawabnya singkat dengan ekspresi datar.
“Sendiri? Di malam seperti ini? Itu tidak mungkin!” sinis Rahma memutar bola mata malas. “Lalu, apa maumu ke sini?”