“RAHMA!”
Gadis berhijab biru itu berhenti melangkah dan berbalik badan. Ditatapnya kesal wajah gugup perempuan yang tadi memanggilnya. Sembari mendesah, gadis berwajah cantik secara natural itu bersidekap angkuh di depan gerbang fakultas.
“Apa lagi sekarang, Ran? Bukankah semua yang kamu inginkan selama ini sudah kamu dapatkan? Aku sudah menjauh dari Kak Ade. Kita udah lost contact, ketemu pun kita nggak pernah lagi! Tapi, kenapa masih aku yang salah? Kenapa masih aku yang terlihat jahat di sini? Maumu apa, sih, Ran?” cetusnya panjang lebar, tanpa memberi kesempatan bagi gadis berhijab merah muda itu untuk menyela. Setelah mengeluarkan semua beban menyesakkan itu, Rahma pun mendengkus panjang. Aksinya itu semakin membuat gugup lawan bicara.
“Rahma … tadi itu … nggak seperti yang kamu pikirkan!”
Gadis berhijab biru itu tertawa sinis. “Lalu apa? jelas-jelas tadi kamu dan cewek-cewek lambe turah itu ngomongin aku, Ran! Kalian berbicara seolah-olah aku di sini adalah manusia paling jahat di dunia! Pe-la-kor, itu yang mereka katakan! Apanya bukan seperti yang aku pikirkan?”
Ran tertunduk gugup dan takut. Amarah yang keluar dari gadis bernama Rahma itu benar-benar membuatnya ingin menangis. Menyadari hal tersebut, Rahma pun terpaksa melembutkan suaranya.
“Kenapa lagi sekarang, Ran? Masih tentang cerita lama?”
Gadis itu mengangguk pelan. Rahma memejamkan matanya dan mendesah pelan. Tampak dengan jelas dari ekspresinya betapa dia lelah dengan situasi seperti ini.
“Ran, kita sudah bukan anak kecil lagi. Harusnya kamu tau mana yang benar dan mana yang salah. Kalau mau curhat masalah rumah tangga, bukankah lebih baik datang pada orang yang bisa memberi solusi? Konsultan rumah tangga misalnya? Bukan malah sama mereka yang hanya bisa nyinyir nggak jelas!” Rahma menunjuk dengan sorot tajam mengaah pada para gadis yang berkumpul di depan pintu kantor akademik di belakang Ran.
Setelah mendesah panjang untuk ke sekian kalinya, Rahma pun melangkah pergi, keluar dari gerbang fakultas dan menyusuri trotoar. Tiba di persimpangan jalan, Rahma yang berniat menyeberang kembali terhenti saat namanya kembali dipanggil dari belakang.
“Apa lagi sekarang, Ran?” ketusnya dengan wajah menunjukkan raut kesal setengah mati.
“Seperti yang kamu bilang dulu, aku mencoba melakukan apapun untuk membuatnya melihatku. Aku mencoba berpikir positif, bahwa semuanya akan berubah seiring waktu. Setiap kami bicara, dan dia mulai bercerita tentangmu, aku selalu memintanya untuk berhenti. Aku selalu mencoba mengingatkan bahwa akulah istrinya, bukan kamu! Tapi apa? Bukannya memahami perasaanku, dia malah marah dan menganggapku seperti anak kecil! Semuanya nggak berubah, Rahma! Dia masih tetap sama, sekeras apapun aku berusaha untuk mengubahnya!”
“Lantas, kamu mau apa dariku? Kamu mau aku yang mengubahnya? Apa yang harus kulakukan? Menghilang?”
Ran terdiam. Matanya menatap nanar Rahma yang berjalan mundur turun dari trotoar. Dengan langkah santai, gadis berhijab biru itu sampai di tengah jalan raya.
“Rahma, apa yang kamu lakukan?”