RAHMA duduk bersandar pada kepala ranjang yang sengaja sedikit ditegakkan. Wajah yang masih sedikit pucat itu tampak murung dengan tatapan mata mengarah pada jendela di sisi kanannya. Pemandangan di luar kaca jendela terlihat sangat indah, namun tak lantas membuat gadis yang saat ini memakai hijab instan berwarna putih tersebut merasa bahagia. Suasana hatinya sedang tak bersahabat dengan cuaca cerah di luar sana.
Di tengah mendung yang menggelayuti hatinya, suara ketukan pada pintu ruang yang cukup luas untuk satu pasien tersebut menyentak gadis itu dari lamunan. Sosok tampan yang mengenakan pakaian khas seorang dokter spesialis masuk diiringi seorang perawat perempuan di belakangnya. Senyum manis yang diumbar oleh lelaki itu tak sepenuhnya membuat Rahma senang, tetapi tak juga memberinya rasa terganggu.
Cukup lama dokter dan perawat itu melakukan pengamatan medis pada dirinya, mulai dari memeriksa infus, suhu tubuh hingga melihat jahitan di punggung—tentunya bukan sang dokter yang melakukan itu, melainkan sang perawat yang ikut bersamanya. Rahma membiarkan begitu saja dokter dan perawat tersebut melakukan tugas mereka, meski ada rasa tak nyaman karena tatapan lelaki berjas putih itu seolah tak ingin lepas darinya.
“Di mana ibumu?” tanya lelaki itu setelah menulis sesuatu pada lembar kertas yang dijepit pada papan plastik berwarna bening. Papan tersebut kemudian diserahkannya pada perawat yang setelah itu langsung pergi meninggalkan mereka berdua. Hanya berdua di dalam kamar yang luas tersebut.
“Ada perlu apa dengan ibuku? Apa Dokter ingin memberikan informasi mengenai kapan aku bisa keluar dari rumah sakit?” sahut Rahma asal. Dia mencoba mengabaikan tatapan sang dokter yang seolah sedang menyelidiki dirinya. Namun, senyum manis yang terukir di bibir lelaki itu tak bisa diabaikan begitu saja.
“Ya, aku memang ingin menginformasikan itu sebenarnya. Tapi, apa yang ada di kepalamu sepertinya belum bisa terwujud. Ini baru seminggu dari sejak kau masuk rumah sakit, dan baru terhitung tiga hari sejak kau bangun dari koma. Artinya, jika memang ingin keluar dari sini, kau harus bersabar selama sekitar sepuluh hari lagi. Jika tidak ada masalah, maka sebagai dokter, aku akan mengizinkan.” Seulas senyum manis mengakhiri penjelasan sang dokter.
“Ah, jadi belum boleh pulang, intinya …,” desah Rahma seraya menghempaskan kepalanya ke kepala ranjang dengan pelan.
“Hati-hati, lehermu masih dalam penyembuhan. Kau harus berhati-hati dalam bergerak.” Sang dokter memberi teguran pada Rahma yang menanggapinya dengan anggukan malas.
“Jadi, di mana ibumu?” Dokter itu bertanya lagi, kali ini sambil menarik kursi yang berada agak jauh dari sisi kiri ranjang pasien, dan duduk di atasnya. Dilihat dari caranya duduk, Rahma bisa menebak bahwa lelaki itu bukan sekedar ingin berbasa-basi. Melihat fakta itu, gadis berhijab yang mengenakan piyama khas pasien berukuran lebih besar dari tubuhnya tersebut hanya mendesah sambil memutar bola mata malas.
“Ibuku sedang mengantar adik-adikku pulang ke kampung halaman,” jawab Rahma pada akhirnya memutuskan untuk mengikuti saja permainanan tanya jawab yang sebentar lagi akan menjadi panjang ini.
“Cepat sekali?”