The Doctor's Sister

Na Ruu Na
Chapter #3

Episode 3

RAHMA sudah diperkenankan untuk melakukan gerakan-gerakan ringan sebagai terapi karena selama beberapa hari ini dia hanya berdiam di atas kasur saja. Gadis itu pun memutuskan untuk memanfaatkan waktunya selama terapi tersebut dengan menyusuri lorong-lorong rumah sakit sambil mengamati keadaan sekitar. Saat itulah dia baru menyadari sebuah fakta bahwa dia tidak dirawat di bangsal biasa, melainkan sebuah ruang khusus untuk pasien kelas atas.

“Dokter, apa boleh aku menanyakan sesuatu?” tanyanya saat Hanif, sang dokter tampan datang melakukan visit ke kamarnya. 

“Boleh, tanya apa?” Dokter itu mengulas senyum manis sambil menatap penuh perhatian. Rahma berusaha untuk tidak terbawa oleh tatapan itu dengan mengalihkan sorotnya ke arah jendela. 

“Apa Dokter tau, siapa yang membawaku ke ruangan ini?” 

Mungkin Rahma tak menyadari bahwa ekspresi Hanif saat mendengar pertanyaan itu seperti seseorang yang baru saja ditusuk menggunakan jarum. Dahinya mengernyit dan matanya membulat samar. Senyum yang mengembang berubah datar dalam sekejap. Namun, saat Rahma kembali mengalihkan tatapan padanya, ekspresi itu pun kembali berubah. Senyum tipis terukir, sorot mata menghangat, meski tampak sekali di mata Rahma bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu.

“Aku tidak tau,” jawabnya singkat dengan seulas senyum yang benar-benar sukses membuat gadis itu heran. Bagaimana bisa seorang dokter tidak mengetahui soal ini? Bukankah saat pemindahan ruang, orang yang akan memberitahu adalah sang dokter? Atau sistemnya memang berbeda di sini? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang menyambangi Rahma sesaat kemudian. 

Gadis itu pun semakin dibuat heran saat lelaki yang hari ini mengenakan kemeja putih senada dengan jas yang melapisinya, dan celana bahan berwarna hitam itu tampak terburu-buru menyelesaikan pemeriksaan dan pamit keluar setelahnya. Rahma mengerutkan kening, mencoba menelaah apa yang terjadi.

“Apa pertanyaanku salah?” gumamnya dengan mata menyimpit dan alis bertaut.

***

“Jadi, dia yang membuat lelaki itu marah padaku?”

Rahma membuka mata, terkejut mendengar suara percakapan di belakangnya. Ingin bergerak membalik badan dan melihat siapa yang berbicara, namun tubuhnya terasa kaku seperti batu. 

“Kau ingin membunuhnya?”

“Jika aku bisa melakukannya, sudah kulakukan. Mungkin seharusnya dia mati saat itu juga, agar tidak membuat masalah di kemudian hari. Seperti yang terjadi padaku saat ini.”

Mata gadis itu membulat, dan dalam satu tarikan napas, dia bangkit dari pembaringan. Rahma langsung bergerak turun tanpa peduli tubuhnya yang masih sakit karena baru saja bangun secara tiba-tiba, menuju pintu kamar dan membukanya. Tak ada siapapun di sana, kecuali lampu lorong yang redup dan hanya beberapa orang berpakaian khas petugas rumah sakit berlalu-lalang. Rahma menutup kembali pintu kamar dan memindai ke setiap sudut. Hanya ada dia di ruangan ini. 

Lihat selengkapnya