The Don Gilded Cage

Daizy Fidela
Chapter #5

Bab 4

📍Cerita ini fiktif, semua unsur yang ada fiktif 🤍

⏳Bab 4 ⏰


Ketika William berdiri dan memerintahkannya untuk ikut, Sakura merasakan lututnya nyaris menyerah. Kepatuhan adalah satu-satunya pelindungnya. Ia bangkit, berusaha agar wajahnya tetap tanpa ekspresi, topeng yang ia pelajari ketika ia bekerja di bar.

Mrs. Davies, yang telah menunggu di ambang pintu, segera membereskan sisa makan malam dengan keheningan. Tidak ada yang terkejut. Ini adalah bagian dari "prosedur" mereka yang dingin.

William memimpin Sakura menaiki tangga spiral baja, batas terlarang yang ia perkenalkan kemarin malam. Setiap langkah terasa seperti mendaki menara hukuman. Aroma di lantai atas berbeda; bukan bau kemewahan generik, melainkan aroma vetiver dan kulit mahal yang samar-samar, aroma yang sangat mendefinisikan seorang don William. Dingin, tajam, dan dominan.

Koridor di lantai atas dihiasi dengan koleksi senjata antik di balik kaca tebal, warisan klan yang mengerikan. Semuanya memancarkan kekerasan dan sejarah yang kelam.

William membuka pintu ganda besar yang terbuat dari kayu walnut hitam.

“Ini kamarku,” katanya, suaranya mengandung nada kepemilikan.

Sakura melangkah masuk. Kamar itu adalah manifestasi dari William: luas, minimalis, dan sangat kuat. Jendela setinggi langit-langit membingkai pemandangan malam London yang kini terasa mengancam. Ruangan itu didominasi oleh tempat tidur besar berlapis charcoal dan sutra, sebuah pulau di tengah lantai kayu gelap. Di sudut, ada sofa kulit hitam panjang dan sebuah meja kayu, tempat arsip dan dokumen tebal menumpuk.

Ada aura energi yang berbeda di ruangan ini, tempat di mana keputusan hidup atau mati dibuat.

“Kamar mandimu ada di sana. Ada gaun tidur baru yang disiapkan Elisa. Mandi. Aku akan menyelesaikan beberapa pekerjaan.” William menunjuk ke pintu di seberang ruangan. Dia kemudian berjalan ke mejanya, menyalakan lampu baca kecil yang memancarkan cahaya tungsten yang kejam, dan tenggelam dalam tumpukan dokumen. Dia tampak benar-benar mengabaikan kehadiran Sakura.

Sakura merasakan tekanan merayap ke dadanya. Lututnya seperti tak kuat menopang tubuhnya yang kecil. William sedang duduk di sana, hanya beberapa meter jauhnya, memegang nasibnya. Ia memasuki kamar mandi yang sama besarnya dengan ruangan lain di penthouse itu. Bahkan kamar mandinya lebih besar dari flat kecil yang ia tinggali bersama orang tuanya dulu.

Setelah mengunci pintu (sebuah tindakan perlawanan kecil yang William mungkin tahu dan anggap bodoh), ia menatap pantulannya. Ia gemetar. Dia takut pada malam ini. Kontrak ini akan segera dimulai.

Sakura mulai bergumam agar dirinya tenang sambil menatap pantulannya di cermin.

"Sebuah rumah di Tokyo, ada pekarangan kecil yang akan aku tanami sayur kesukaanku; tomat, selada, kubis, bayam, zucchini, dan shiso. Lalu aku akan membuka sebuah izakaya. Menyajikan setiap masakan dengan tanganku. Pulang dengan sepeda dixhuit, keranjang depannya akan ku isi dengan barang belanjaanku; roti, susu kaleng dan snack yang tidak bisa ku beli sebelumnya."

Setelah mengucapkan mantra itu, ia menatap cermin dihadapannya. Kepatuhan mutlak. Ketaatan mutlak. Pembebasan. Hidup baru. Kata-kata yang mencekik lehernya diucapkan satu persatu dengan tubuh yang bergetar.

Matanya telah panas, ia akan menangis. Ia segera menampar pipinya. Menggantikan tangisan dengan kesakitan. Tidak ada cara lain. Ia harus berpikir logis. Tidak akan ada jalan keluar dari hutang dan kemiskinan yang lebih efektif dari ini.

Dia segera berganti pakaian dengan gaun tidur sutra yang disediakan dengan tangan yang bergetar, kain yang terasa asing di kulitnya. Ia menarik napas dalam sebelum keluar. Ia harus memasang wajah tanpa ekspresinya. Saat dia membuka pintu, ia melihat William masih di sana, membaca.

“Gunakan laci ketiga di lemari itu,” perintah William, tidak mendongak. “Itu adalah barang-barang pribadimu. Jangan sentuh laci lain dan barang lainnya.”

Sakura berjalan pelan menuju lemari pakaian. Laci ketiga kosong kecuali setumpuk pakaian dalamnya yang baru, semuanya dalam warna-warna netral, pilihan yang klinis dan tanpa gairah.

Dia berjalan ke sisi terjauh tempat tidur, menarik seprai, dan merangkak masuk.

Keheningan kembali mengambil alih ruangan itu. William terus membaca, sesekali membalik halaman dengan suara desahan kertas yang tajam. Sakura berbaring kaku, punggungnya menghadap William, matanya terpaku pada kegelapan di luar jendela.

Dia ada di sini. William ada di sini. Di ruangan yang sama.

Pikiran itu mulai berputar di benaknya, membangun momentum yang menakutkan.

Ini adalah pria yang melunasi hutangnya, membeli tubuhnya, dan menjanjikan kebebasannya. Berasal dari klan mafia paling kejam di dunia. Dan akan menggunakannya untuk melahirkan pewarisnya, dan kemudian membuangnya.

Dia menyadari betapa parah keadaannya. Dia tidak hanya terperangkap secara fisik; dia telah menjual setiap inci kebebasan, keamanan, dan masa depannya untuk melunasi hutang. Dia tidak memiliki jalan keluar.

Ketegangan mulai menumpuk di dadanya. Udara di ruangan yang begitu besar itu terasa tipis. Dia berusaha menarik napas dalam-dalam, seperti yang ia lakukan ketika dia stres di bar, tetapi paru-parunya menolak untuk mengembang penuh.

Tarik napas. Hitung.

Dia mencoba menghitung dalam bahasa Jepang. Ichi… Ni… San…

Lihat selengkapnya