The Doomsday

Rama Sudeta A
Chapter #2

The Swordhand

"Wow ...."

Aku hanya bisa terpesona melihat dan menyaksikan ratusan atau bahkan ribuan kembang api yang diluncurkan dan meledak dengan warna-warni pelanginya yang menerangi dan mewarnai langit malam kelam kota Kediri dengan awan-awan mendungnya yang tidak mau pergi dari tempatnya yang seakan memberi sebuah tanda bahwa dunia akan berakhir malam itu.

Semua orang yang berada di kawasan simpang lima Gumul, Kediri tampak senang dan bahagia dengan pesta kembang api malam ini meskipun sedikit dihantui dengan rasa kecemasan akan hujan yang bisa saja mendadak turun kapanpun.

"Gimana? Keren kan?" kata mas Adi yang terlihat sumringah karena keinginannya untuk kembali melihat dan menyaksikan pesta kembang api yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu akhirnya tercapai.

"Ya," ucapku masih terpesona dengan pertunjukan yang sedang tersaji di atas kepalaku.

"Boom!"

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di kejauhan saat kami semua sedang asyik menikmati suasana yang menyenangkan ini.

"Apa itu?"

"Kau mendengarnya? Kalian mendengarnya?"

Orang-orang disekitar kami mulai sedikit terlihat panik setelah mendengar suara gemuruh yang cukup besar tadi di kejauhan.

"Ah, paling cuma petir," celetuk mas Adi santai.

Tak lama setelah celetukan santai mas Adi keluar dari mulutnya tetesan air asin mulai berjatuhan dari langit.

Gerimis mulai turun dan dengan cepat membubarkan kerumunan warga dari area sekitar tiruan Arc de Triomphe di kota Paris tersebut.

"Hujan, hujan."

Para wanita dan ibu-ibu yang juga memadati area sekitar ikon kota Kediri itu mulai panik dan berhamburan menyelamatkan diri dari serbuan air hujan dan mencari tempat bertedu terdekat yang sayangnya jumlahnya tak sebanding dengan jumlah warga yang berkumpul di area terbuka itu.

"Cepet woy. Basah semua ini," ucap Lingga yang juga ikut panik.

"Santai. Udah basah juga," ucap Fiki santai menikmati kerumunan warga yang berhamburan menyelamatkan pakaian dan barang-barang mereka dari air.

"Ya ... kembang apinya habis," ucapku sedikit kecewa melihat api warna-warni itu dengan cepat di padamkan oleh serbuan air dari langit.

"Ini malah masih mikirin kembang api," ucap Lingga kesal.

"Santai-santai. Lagipula juga masih hujan air kan," sahut mas Adi tak kalah santainya.

"Cok! Hpku!"

"Makan itu air," ejek Lingga saat hp mas Adi basah terkena tetesan air hujan sesaat setelah selesai merekam suasana kepanikan warga di sekitar kami.

"Hmm."

Setelah itu angin kencang tiba-tiba menerjang area kawasan simpang lima dengan cepat dan membuat gerimis di atas kami berubah menjadi hujan lebat dalam sekejap.

"Ayo, malah debat," ajakku berlari mencari tempat berteduh.

"Padahal yang dari tadi santai dia," ucap Lingga kemudian mulai menyusulku bersama Fiki dan mas Adi yang masih disibukkan dengan dua ponselnya.

Lihat selengkapnya