Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Ini klise. Namun, entah kenapa kalimat itu justru membuat aku yakin jika pertemuan ini memang sebuah takdir.
_____
"Elo kenapa, sih? Sikap elo berubah drastis begini?" tanya Rasya haus akan penjelasan.
Kevlar bungkam.
"Kev, jawab dong. Kalaupun kita enggak bisa balikan kayak dulu, seengaknya elo sama gue bisa jadi temen baik. Bener kata temen elo tadi itu," lanjut Rasya, yang masih tidak dihiraukan Kevlar. Terlebih cowok itu masih saja menoleh ke belakang, arah di mana Freya pergi tadi.
"Sebesar itu kesalahan gue sampai elo bersikap super dingin kayak gini ke gue?"
Barulah Kevlar menatap dengan benar ke wajah Rasya.
"Iya. Kesalahan elo itu besar," jawab Kevlar pada akhirnya.
"Waktu itu gue cuma kesel karena elo lebih pentingin barang yang enggak berguna itu dibanding ngabisin waktu sama gue. Lagian gue juga niat mau ganti, kok. Tapi elo nya malah nolak. Bisanya cuma marah aja," cerocos Rasya mengulas lagi masa lalunya. Alasan mengapa Kevlar memutus hubungan dengannya.
"Barang enggak penting kata lo?" Dari nada bicaranya, Kevlar mulai geram.
"Ya, jelas enggak penting lah buat gue. Buat elo juga. Ngapain coba elo beli-beli ...."
"Cukup. Waktu elo udah habis. Dan gue enggak mau ketemu elo lagi, paham?" Kevlar memotong ucapan Rasya yang belum selesai.
Cowok berponi depan itu berbalik hendak meninggalkan Rasya begitu saja.
"Apa barang yang gue hancurin itu, bakalan elo kasih ke cewek tadi?" tanya Rasya dengan menyindir. Kedua tangannya terkepal kuat lantaran amarah yang sedang ia pendam sekarang.
Berhasil, Kevlar berbalik lagi ke hadapan Rasya.
"Itu bukan urusan elo," pungkas Kevlar. Kali ini ia benar-benar meninggalkan Rasya di posisinya.
_____
Tidak ada seorang pun di toilet kecuali Freya. Namun hal tersebut justru membuat gadis ceroboh itu lebih leluasa mencari tas kainnya.
Freya mulai mencari ke setiap sudut toilet. Meskipun ia sendiri yakin kalau tas kainnya tidak mungkin berada di salah satu bilik itu.
Setelah semua bilik ia buka, Freya beralih ke wastafel. "Di sini juga enggak ada. Terus di mana dong baju balet gue," gumamnya sambil menatap dirinya di pantulan cermin di hadapannya sekarang.
"Kalo sampe enggak ketemu gimana, dong." Freya takut dan bingung. Pasalnya sulit sekali ia mendapatkan seperangkat baju balet itu. Bukan soal harganya yang mahal, tetapi cara memperolehnya yang membuat Freya setengah mati harus menyembunyikan dari kedua orang tuanya.
Lantas Freya membasuh wajahnya dengan air keran wastafel. Setelah itu Freya berbalik badan, menyandar di tepi wastafel. Karena saking pinggulnya bertumpu di sana, perlahan kaki Freya terperosot sehingga tidak bisa menahan keseimbangan lagi.
Bokongnya harus mencium lantai yang licin dengan cepat dan tiba-tiba.
Aaarggghh!
Lengkingan suara Freya bergema jelas di dalam toilet yang sepi. Sumpah demi apapun, dari pinggul ke kaki seperti mati rasa. Entah ke berapa puluh kalinya Freya terjatuh atau terpeleset selama sebulan ini.
"Aduh! Sakit!" teriak Freya lagi sambil mengelus bokongnya. Kali ini lebih kencang. Sebab, rasa ngilu di bagian tubuh belakangnya mulai jelas.
Freya merengek bak anak kecil. "Sial banget, sih, gue hari ini! Udah kehilangan baju balet, hampir telat kelasnya Pak Jason, jatoh dari motor Kevlar, sekarang malah kepeleset di toilet. Sendirian lagi, enggak ada orang satu pun," kelakarnya seorang diri.
Sebuah tangan terjulur di hadapannya. Perlahan, Freya membawa pandangannya ke atas.
"Elo? Lagi?"
Ragnar tidak berbicara sepatah kata pun. Namun, tangannya masih setia terjulur ke arah Freya.
Sebelum meraihnya, Freya memandangi tangan besar di hadapannya ini dalam beberapa detik. Barulah pelan-pelan Freya menjabat tangan Ragnar, yang langsung ditarik oleh cowok itu. Sehingga Freya berhasil berdiri berkat bantuannya.
Beberapa saat tadi, bertepatan ketika Ragnar melintas di depan toilet, ia mendengar suara teriakan di dalam sana. Awalnya Ragnar ragu, tetapi akhirnya dengan cepat ia menghampiri asal suara tersebut.