Detak musik bernada beat terdengar memenuhi seisi ruang latihan sejak satu jam lalu. Dengan lincah dan lihai, Ragna menggerakan seluruh bagian tubuhnya guna mengikuti irama musik yang seringkali ia pergunakan di setiap latihannya. Musik pertama kali yang menjadi pengantar Ragnar mengarungi dunia dancer secara profesional.
Entah berapa kali sudah Ragnar menunjukan bakat menarinya di luar sana, selalu musik ini yang menjadi favoritnya di ruang latihan. Bagi Ragnar, ketika ia menggerakan tangan dan kakinya dengan musik ini, ia selalu mengingat bahwa tidak mudah menggapai mimpinya sekarang.
Suara redup tepuk tangan yang berasal dari seseorang di belakangnya membuat Ragnar menghentikan aktivitasnya. Reza, pria paru baya yang masih terlihat gagah itu tampak semringah menyaksikan kemampuan putra sulungnya yang kian meningkat.
"Kemampuan dance kamu semakin luar biasa. Seharusnya kamu menerima tawaran untuk menjadi penari latar dari penyanyi internasional di New York," ujar Reza, ayah Ragnar sekaligus Rasya yang ambisius.
Ragnar menuju pemutar musik dan mematikannya. Ruang latihan berubah sunyi. Hanya suara dua laki-laki ini yang bergema mengisinya.
"Tolong jangan bahas soal itu lagi. Kita udah sepakat soal ini," balas Ragnar dengan dingin. Selalu seperti ini. Meskipun ayahnya adalah CEO agensi para penari di sini, Ragnar tidak pernah mengubah sikap dan cara bicara terhadap Reza.
"Oke-oke. Papa hanya sangat menyayangkan sekali. Oiya, bagaimana keadaan kamu? Masih tetap fit? Siap untuk London?"
"Saya selalu baik-baik saja selama papa enggak mengganggu kegiatan Rasya. Apapun saya lakuin asal papa membiarkan Rasya terus berkarir di dunia menari," jawab Ragnar menatap papanya dengan tegas.
Lalu cowok itu beralih ke sisi ruang latihan untuk mengambil handuk yang akan membersihkan keringat di seluruh wajahnya.
"Ya, ya, ya. Papa akan membiarkan Rasya melakukan apa yang dia mau. Tapi tetap saja dia tidak akan bertahan lama di dunia seperti ini. Karena bagaimanapun kodrat seorang wanita adalah menjadi istri dan ibu untuk anak-anaknya. Bukan berkeliaran mengejar karir hanya untuk kesenangan semata," cerocos Reza mengikuti langkah Ragnar.
Mendengar berbagai kalimat dari papanya, Ragnar langsung mencari wajah pria berkulit sawo matang itu dan menghunusnya dengan tatapan runcing. Seolah Ragnar benar-benar tidak terima dengan maksud tersirat dari kalimat tersebut.
"Rasya menari bukan hanya untuk kesenangan semata. Dia juga punya mimpi seperti orang lain. Seperti papa yang bermimpi menjadikan saya dancer untuk penyanyi di New York itu." Tangan Ragnar terkepal kuat sampai buku-buku jarinya memutih.
Bukan hanya Ragnar, tetapi raut wajah Reza juga mendadak berubah seperti bongkahan es batu yang sulit dihancurkan.
"Itu bukan mimpi. Tapi hanya ambisi yang akan lebur begitu saja setelah bisa tercapai," ucap Reza sarkas.
"Rasya enggak akan biarin hal itu terjadi," ujar Rasya yang entah kapan sudah berada di belakang Reza. Bahkan, Ragnar pun tidak menyadari kedatangan adiknya itu.
"Kamu bisa bicara itu sekarang. Namun, kenyatannya nanti pasti berbeda. Papa sangat tahu itu," balas Reza lagi yang tidak ingin kalah.
"Enggak! Rasya yakin kalau Rasya bisa komitmen. Rasya pasti bisa jadi dancer hebat kayak Bang Ragnar. Tanpa melepas tanggung jawab Rasya sebagai wanita."
Reza menyeringai. "Kita lihat saja nanti. Keyakinan kamu yang benar ... atau kenyataan papa yang akan terjadi."
Pria berambut tebal itu beranjak pergi meninggalkan ruang latihan. Sementara Ragnar segera menghampiri Rasya yang berdiri kaku di posisinya.
"Enggak usah terlalu diambil hati ucapan papa. Kamu fokus aja mewujudkan impian kamu untuk ke Korea. Jangan hanya karena ucapan enggak berarti ini kamu jadi down. Oke?" Ragnar mencoba menenangkan Rasya.
"Mungkin kalo bukan papa yang ngomong hal-hal kayak gitu, gue enggak akan sesakit ini, Bang. Tapi bokap kandung gue sendiri yang matahin impian gue. Bahkan, sebelum dia tahu hasilnya seperti apa nanti." Mata Rasya sudah berkaca-kaca. Namun, dalam hatinya ia berteked untuk tidak menangis.
"Udah, ya. Kita makan malam di restoran favorit gimana?"
Sayangnya pengalihan dari Ragnar tidak berhasil untuk Rasya. Gadis itu masih saja memasang wajah kalut.
"Apa jangan-jangan gue bukan anak kandung papa?"
Ragnar melotot mendengar itu. "Kamu ngomong apa sih, Ca? Itu konyol dan enggak masuk akal. Udah jelas-jelas kita berdua anak kandung dari Reza Rewindo dan Lusi Triana. Apa perlu sekarang saya minta kamu dan papa tes DNA?"