"Gimana kuliah kamu, Fre?" tanya Juan, papanya Freya.
"Biasa aja," jawab Freya singkat sambil menaburkan bawang goreng di atas telur putih ceplok yang sudah banji dengan kecap itu. Makanan favorit Freya untuk sarapan. Berbeda dengan mama dan papanya yang lebih terbiasa menyantap roti tawar dengan berbagai jenis selai.
"Kamu enggak melakukan kegiatan lain kecuali belajar soal bisnis, kan?" Lagi, pria berambut klimis itu mempertanyakan hal-hal biasa secara rutin.
"Enggak." Freya, ketika di hadapan papanya tidak seceria dan seceriwis di luar sana.
Bagi Freya, papanya terlalu tegas dan monoton. Pernah beberapa kali Freya melempar gurauan ke papanya. Namun, Juan dengan wajah datarnya hanya menatap Freya sedetik, lalu kembali beralih ke ponselnya. Apalagi kalau bukan membahas soal bisnis, pekerjaan, dan hal-hal yang serupa dengan itu.
"Pa, Freya kan, anak baik dan penurut. Kita tidak perlu khawatir apa-apa dan cukup percaya dengan anak semata wayang kita ini. Iya, kan?" Dewi, mengelus punggung belakang Freya dengan lembut. Dia tahu jika dari raut wajah Freya, putrinya itu sedang menahan ketegangan
Belum lagi tatapan Freya yang tidak berani terlalu lama ke arah papanya.
"Papa sudah puluhan tahun di bidang bisnis. Jadi papa harus memperhitungkan semuanya secara detail. Sekecil apapun itu. Jadi lihat ... sampai sekarang papa tidak pernah mendapatkan resiko besar apalagi yang namanya penipuan bisnis. Dan papa terapkan prinsip-prinsip papa itu dengan keluarga. Terutama ke Freya. Agar masa depannya benar-benar bersih tanpa adanya gangguan," papar Juan panjang lebar.
Pria itu bahkan menghentikan aktivitas makannya demi menyampaikan secara tegas apa yang harus didengan Freya baik-baik.
Suasana seperti ini bukan hanya sekali untuk Freya. Kedua puluh jari Freya pun tidak bisa menghitungnya.
"Iya, Pa. Freya tau." Dalam hatinya, gadis ini serasa di ikat di sebuah sangkar emas yang sangat sempit.
"Jangan lupa besok kamu harus les private sama Om Indra untuk mengetahui seluk-beluk perusahaan," tambah Juan lalu menyeruput teh hangat miliknya.
"Apa tidak sebaiknya Freya istirahat dulu untuk les private-nya? Kemarin dia baru sembuh dari demamnya, Pa," ujar Dewi yang berharap bisa melonggarkan sedikit tekanan yang diberikan suaminya untuk anak mereka.
"Tapi hari ini kamu sudah mulai kuliah kan, Fre?" tanya Juan.
"Udah."
"Bagus. Berarti kondisi Freya sudah membaik dan besok dia bisa melakukan kegiatan seperti biasa. Kalau Freya mau sukses, tidak boleh ada pelajaran yang terlewat satu pun untuk di pelajari. Kami setuju dengan papa kan, Fre?" Awal kalimat, Juan berbicara pada Dewi. Memberikan jawaban atas saran istrinya tadi. Kemudian di akhir kalimat, pertanyaan itu terarah ke Freya.
"Iya, Pa, iya." Freya menyendok satu suapan terakhir dan besar ke mulutnya.
Tin ... Tin ...
Suara klakson motor Kevlar terdengar. Otomatis membuat Freya bisa bernapas lega seolah tali yang mengekangnya bisa terlepas. Setidaknya untuk sementara.
"Kevlar udah dateng. Freya berangkat dulu ya, Ma, Pa." Freya meneguk air putihnya sampai habis. Lalu menyalimi tangan papa dan mamanya.
"Hati-hati ya, Sayang. Sampaikan ke Kevlar untuk tidak membawa motornya terlalu kencang," ucap Dewi sambil mengecup kening Freya. Begitupun Juan.
"Iya, Ma." Freya segera berlari keluar ruang makan menuju pintu keluar.
Ahhh, akhirnya.
_____
"Kev!" panggil Freya, berteriak. Karena sekarang ia tengah berada di perjalanan di atas motor Kevlar.
"Apa?" Termasuk Kevlar yang harus membuka kaca helm-nya agar Freya bisa mendengar ucapannya.
"Elo janjian ketemu sama mantan elo jam berapa? Hari ini , kan?"
"Iya hari ini. Katanya sih, pagi ini sebelum jam 8."