Sore itu adalah seminggu menjelang keberangkatannya ke Belanda. Kami duduk berdua di sebuah kedai di Cikini, saat Jakarta baru saja hujan. Saat-saat terbaik Kota Jakarta, begitu kami selalu menyebutnya. Saat hujan baru berhenti dan jalanan tampak basah. Saat titik-titik air tampak di jendela kaca yang menghadap ke pelataran.
Di antara bergelas-gelas teh dengan aroma melati, kami saling bicara.
Topik hangat sore itu adalah seputar petualangan tak terbatas yang segera akan dia lakukan di Eropa. Hal yang belakangan ini selalu membuat wajahnya berseri-seri. Sahabat saya itu tumbuh besar dengan kisah-kisah fantasi yang banyak di antaranya berlatarkan Eropa. Saat kanak-kanak, dia adalah gadis cilik yang bermimpi untuk melihat-lihat wilayah pedesaan Jerman yang menjadi latar kisah-kisah dongeng Grimm bersaudara atau bukit indah di Austria tempat Julie Andrews menari dan menyanyi dalam The Sound of Music. Sebagai pencinta buku-buku indah, dia ingin duduk membaca di Shakespeare & Co., sebuah sudut di Paris yang meninggalkan jejak para pujangga sebesar Hemingway atau F. Scott Fitzgerald. Pernah dia bercerita betapa aroma kertas di buku-buku tua dapat begitu membuainya.
Dia selalu berkeinginan untuk melihat musim gugur dan salju. Di kemudian hari, saat benar-benar melihat salju, dia begitu kegirangan sampai-sampai menghambur ke luar dan memakan salju-salju itu. Rasanya sungguh buruk, begitu dia berkisah.
Empat tahun yang lalu di Cikini, saya teringat rambutnya yang masih pendek dan kacamata besar yang dia kenakan. Saat bercerita tentang hal-hal yang ingin dia lakukan di Eropa, mata sipitnya terkadang membelalak di balik kacamata itu. Tangannya tampak bergerak ke sana-kemari. Begitu riang, begitu bersemangat, seperti anak burung yang baru saja bisa terbang. Saya suka memperhatikannya pada saat-saat begini.
Tentu selain segala petualangan, dia pun bercerita tentang betapa antusiasnya dia menimba ilmu di Belanda dua tahun ke depan. Sahabat saya ini juga seorang yang begitu haus akan ilmu pengetahuan. Dia jatuh cinta pada dunia akademis. Sejak kecil, dia adalah anak yang dengan khidmat duduk paling depan saat guru menerangkan. Semua buku catatannya terorganisasi rapi. Dia adalah anak menyebalkan yang mengacungkan tangan untuk bertanya beberapa saat sebelum sang guru membubarkan kelas. Saat mendapat kabar bahwa beasiswa untuk belajar di Belanda berhasil diraih, dia terbang ke bulan.
Saat itu, telah lima tahun kami bersahabat dan berjalan bersama ke sana-kemari. Kami adalah dua anak yang keranjingan jalan-jalan, salah satu alasan mengapa kami menggemari satu sama lain. Melihat matahari terbit di Sanur, berenang di Belitung, sarapan di pasar terapung di Banjarmasin, merayakan tahun baru yang gegap gempita di Kuala Lumpur, menelusuri sisi-sisi Kota Jambi, melihat gemerlap Pattaya, hingga menikmati bergelas-gelas teh dalam obrolan tak henti di sudut-sudut Nusantara. Terkadang berjalan sebagai petualang penuh keterbatasan dengan akomodasi termurah, terkadang memaafkan diri untuk sedikit memanjakan diri barang satu hari.
Kami sama-sama mencintai perjalanan dan kejutan-kejutan yang ada di dalamnya. Kami sama-sama menyukai indahnya alam, obrolan hangat sesama pejalan, wajah-wajah kemanusiaan yang kami temui, dan kekayaan sejarah dari tempat-tempat yang kami singgahi. Sungguh itu adalah suatu waktu ketika kami begitu muda, begitu bertenaga, dan bergelora.
“Oh, jangan salah, kita masih akan gemar berjalan-jalan saat tua nanti,” katanya suatu kali.
Tentu saat itu saya mengangguk dengan sukacita.
Kami pun bersahabat dan saling menyukai karena perbedaan-perbedaan yang kami miliki. Dia tumbuh besar dengan cerita-cerita fantasi, sementara saya dibesarkan dengan kisah-kisah dunia pewayangan. Saat kanak-kanak, dia terinspirasi oleh petualangan bocah-bocah Narnia, sementara saya oleh pengasingan para Pandawa di tengah hutan. Saya suka berjalan ke tengah hutan, sementara si anak canggung ini akan lebih sering tersandung jika berada di sana. Dia lebih memilih bermain pasir dan berenang di laut yang biru berkilauan. Dia tumbuh sebagai perempuan urban yang berselera modern dan berwarna-warni. Saya adalah pria masa lalu yang melihat dunia seolah berwarna hitam-putih, tempat manusia berjalan dalam gerak lamban, dengan lagu-lagu jazz tua sebagai latar. Dia memperkenalkan saya pada musik The Whitest Boy Alive yang sangat bernuansa masa kini, sementara saya membuatnya mendengar permainan trompet Miles Davis atau lagu lama Ernie Djohan.
“Sungguh kau pria dari masa lalu. Entah apa jadinya hidupmu kalau aku tak ada.” Begitu suatu hari dia menyombongkan diri.
“Jangan sok tahu. Aku akan baik-baik saja. Paling tidak aku tidak harus mengurusi kawanku yang gemar mabuk darat.” Saya menggodanya.
Meskipun pencinta jalan-jalan, dia memiliki kelemahan. Dia kerap mabuk darat jika dipaksa berada dalam mobil di jalan yang berkelok-kelok. Suatu kali, dia pernah terkapar hanya karena menumpang kendaraan dari Jakarta ke Bandung. Bandung saja! Dia terkapar begitu saja di sebuah bangku pinggir jalan di Dago, sementara saya berkeliling mencari minyak angin untuknya.