Mari memulainya di timur.
Pada bulan November yang berangin sejuk, saya menginjakkan kaki untuk kali pertama di Merauke, titik paling timur Nusantara. Saat itu, sedikit lewat sebulan sejak Gypsytoes berangkat ke Belanda. Pak Mike, pria campuran Merauke-Sorong-Ambon, seorang pencinta Persipura sejati, menemani saya dalam perjalanan darat menuju perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Kami berjalan ke timur, berbicara dan melihat-lihat.
Tidak seperti Jayapura yang bergunung-gunung, Merauke adalah sebuah hamparan yang mendatar. Tak tampak barisan bukit apalagi gunung. Di sepanjang jalan yang terlihat adalah padang rumput, rawa, dan jajaran pohon kayu putih. Saya membiarkan kaca mobil terbuka. Angin sedang berembus menyejukkan waktu itu. Langit pun sedang berwarna biru terang, kontras dengan jalanan yang berwarna kecokelatan muda dan rumput-rumput yang hijau menguning.
Pak Mike adalah seorang yang bersahabat. Dia tak henti mengajak saya berbicara di sepanjang jalan. Bahkan, terkadang dia tetap mencerocos saat saya hampir tertidur dibuai semilir angin.
“Bung tahu itu namanya pohon apa?” katanya sambil menjulurkan lengan ke luar kaca.
“Bung tahu kalau nama Merauke itu berasal dari kata Sungai Maro?” katanya saat kepala saya sedikit terkulai karena kantuk.
Dan berbagai fakta kecil mengenai tempat tinggalnya.
Dia banyak bercerita tentang bagaimana Merauke, dan Papua secara umum, adalah wajah Indonesia yang lain. Wajah yang seharusnya lebih sering dilihat dan tidak ditempatkan di bagian yang agak menyendiri di belakang.
Konon mantan bupati Merauke, John Gluba Gebze, pernah secara bercanda, tetapi serius menyatakan protesnya terhadap lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” karya R. Surarjo. Menurutnya, matahari terbit di Merauke dua jam lebih dahulu dibandingkan bagian Barat Indonesia. Namun, Merauke disebut lebih belakang dalam lagu itu. Ada sesuatu yang harus diperbaiki tentang bagaimana Indonesia memandang dan menempatkan Papua. Begitulah kurang lebih katanya.