The E.T.E.R.N.I.T.Y

Drew Andre A. Martin
Chapter #1

Ombak dan Senja

Ombak laut memukul tebing tinggi di Pantai Kanaya terdengar amat nyaring. Terdengar burung camar mencuit melengking di atas salah satu pepohonan diantara sembilan pohon yang paling tinggi dibanding lainnya. Tampaknya camar itu meminta bantuan salah satu atau salah tiga kawanannya sebab sayap kirinya tak bisa digerakkannya, akibat terluka karena tembakan dari pemburu burung.

Seorang perempuan muda berteriak meminta burung itu menunjukkan di mana dia berada agar bisa membantunya. Seakan mengerti, burung itu kembali melengking mencuit. Dengan secepat kilat dia berlari menuju ke arah suara itu. 250 meter akhirnya tertemukan burung yang terluka dan terjatuh di semak belukar bercampur dedaunan kering. 

Dengan cepat dia menyambar dan membawa ke rumahnya. Perempuan paruh baya yang mengetahui itu, bukannya ikut ibah. Malah memarahi, katanya terlalu membuang waktu merawat burung yang tak penting menurutnya. Apalagi itu justru merusak rantai makanan. Imbuhnya lagi, biar saja burung itu dimakan oleh hewan mamalia lainnya atau hewan serangga yang hidup di daratan. Kalau perlu perempuan yamg menolong burung itu juga boleh menyerahkan dirinya ke macan atau celeng yang kelaparan di hutan belantara tempat dia menemukan seekor burung camar tadi.

Berbeda dengan laki-laki yang berusia empat puluh tahun, menurutnya tak masalah perempuan itu menolong burung itu. Apalagi itu adalah hal yang baik yang mungkin akan berimbas kebaikan pula. 

Perempuan yang membantu merawat burung itu tak acuh pada keduanya. Justru dia lebih sibuk merawat dan membalut luka burung camar dengan perban. Merasa tak didengarkan, perempuan paruh baya itu menoyor sambil menarik lengan perempuan itu. Bertanya apakah dia tak mendengar apa yang dikatanya tadi? Perempuan muda itu tak mempedulikan lagi. Baginya sudah biasa dia dimarahi, jadi untuk apa dibuat terlalu risau.

Diletakkannya seekor burung camar di dekat jendela kamarnya. Tak lupa juga diberikan makanan dan juga minum. Menurut dia, setidaknya burung itu nyaman diletakkan di situ, bukan diletakkan di sangkar yang justru membuatnya lama sembuhnya akibat stres mengira tak akan bisa kembali ke alam bebas.

Sisi jendela lainnya dibuka separuh. Sambil selimut dibebalkan ke sekujur tubuhnya, sembari dia meminum air hangat. Cuaca di sore kala itu, tak cukup bersahabat baginya. Ulas senyum terkembang disaat minumnya tinggal separuh.

Baginya, mengabaikan apa yang dikatakan oleh ibunya itu jauh lebih baik jika dibandingkan mendengarkan apalagi menuruti sesuai pintanya. Justru yang ada emosinya ikut menjadi tak terkendali dan malah merusak hari dan waktu yang baik.

***

Senja di sore itu tampak lebih indah dari biasanya, ditambah lagi petikan gitar di atas tebing tinggi yang berdekatan dengan pantai Kanaya. Seorang laki-laki sambil membawa sebuah buku duduk di sana, menanti sampai senja hilang di ujung barat sana. Bait-bait lagu telah diciptakan di sana oleh laki-laki yang hobi menciptakan lagu, tetapi tak pandai bernyanyi. Suaranya pun parau. Sebab dia masa bodoh dengan soal suara, jika dibandingkan nada per nada yang ditemukan di petikan-petikan gitranya.

Setiap sore, laki-laki muda itu selalu ada di sana baik saat senja di musim kemarau maupun hujan. Sampai-sampai ada tenda berwarna biru gelap. Sekalipun tenda itu diterpa angin kencang, kembali laki-laki itu membetulkannya lagi. Sopran penjaga pantai tahu betul, kalau tenda yang dilihat daei kejauhan itu milik pemuda laki-laki yang dikenalnya. Maka dibiarkan saja, bukannya dibersihkan. Lagipula, letak tenda itu berdiri tak membuat siapapun risih. Apalagi juga tak menganggu pemandangan yang indah di sana.

Lihat selengkapnya