The E.T.E.R.N.I.T.Y

Drew Andre A. Martin
Chapter #3

Tebing Indrasutha dan Dinatha Group

Di bagian utara Pantai Kanaya, terdapat tebing yang tinggi nan curam, Tebing Indrasutha. Ada tiga bagiannya. Bagian pertama tebing, masih bisa dinaiki oleh pengunjung. Aksesnya cukup mudah, apalagi ada anak tangga yang tertata rapi di sana. Amat berbeda di bagian tebing ke dua, aksesnya cukup sulit, ditambah lagi anak tangga menuju ke sana sudah rusak. Jauh lebih berbeda sangat, tepat di tebing ke tiga. Lebih tinggi, lebih curam dan menuju ke sana bukanlah hal yang mudah. Jika tak mahir memanjat, sangat disarankan tidak naik me tingkatan tebing yang ketiga. Kalau saja nekat, maka siap-siap menanggung risikonya sendiri.

Laki-laki muda disetiap hari rabu dan sabtu, kerap mendiami tebing itu cukup lama, bahkan sampai menginap sehari semalam. Bukan di tingkatan pertama ataupun kedua, laki-laki itu berada. Justru di tingkatan ke tiga. Jika kau melihat dia mendaki tebing di tingkat ke tiga, kau akan dibuat tertegun olehnya. Tubuhnya yang lumayan tinggi itu bergerak cepat saat mendaki tebing, lebih-lebih terlihat sangatlah ringan sekali walau terkadang dia membawa gitar yang dikalungkan di bahunya dan menyelipkan bukunya di kaos oblong yang dikenakannya.

Untuk apalagi bukunya kalau tak dipakai untuk menulis lirik lagu yang berseliweran di kepalanya disetiap saat dia duduk termenung sambil memainkan gitarnya. Gitar yang berusia tua, pemberian nenek. Katanya, gitar itu milik kakek. Kalaupun rusak hanya di senarnya saja. Soal senar mudah saja diganti dengan yang baru, beres. Tak selamanya juga dia membawa buku, terkecuali di saat dia gunda gulana dan pesakitan yang memembabi buta di ruang hatinya, pasti selain gitar yang dimainnya, tangannya yang memegang pena ikut dimainkannya. Seakan-akan enggan kehilangan lirik-lirik yang saat berseliweran di kepalanya saat berada di kondisi tersebut.

Laki-laki malang, laki-laki sayang. Semenjak neneknya meninggal dunia, sifat-sifatnya ikut berubah. Tentu saja, ibunya dibuat emosi. Begitu juga dengan bapaknya. Kepada siapa lagi dia bisa bercerita banyak dan nyaman kalau tidak dengan neneknya. Nenek yang lebih mengerti banyak tentang semua hal dirinya, selain sayangnya yang melebihi kedua orang tuanya.

"Kalau kau ingin menceritakan yang memang kau inginkan, ceritalah kepada Bapak. Siapa tahu aku bisa memberimu masukan."

"Tidak perlu Pak, Andaru sudah dewasa jadi bisa menyelesaikan permasalahan sendiri tanpa Bapak ataupun Ibu."

Mata Andaru enggan menatap mata kedua orang tuanya. Dia lebih banyak menunduk, kadang juga mengedar ke segala sudut yang tak penting juga untuk dilihat. Tetapi, bagaimana lagi. Dia masih kesal dengan kedua orang tuanya lantaran tak ada banyak waktu yang diluangkan untuknya. Jayasri, kalau sudah sibuk memasak apalagi kalau sibuk di resto mana mau menyempatkan berbicara dengan anaknya. Apalagi Damar, kalau pulang kerja langsung masuk kamar setelah membersihkan tubuhnya. Hal itu berulang-ulang terjadi saat nenek belum meninggal. Kata-kata yang kerap diucapakan oleh nenek, bersabarlah dan ikhlas saja. Kita tidak pernah tahu bagaimana lelahnya mereka. Kau bagi saja ceritamu dengan Nenek kalau mereka diam saja setiap kali kau mengkode tuk mengajaknya berbicara. Awalnya Andaru keberatan, apalagi usia nenek amat tua, mana mungkin membagi ceritanya dengan nenek. Pandai juga Andaru. Sekiranya cerita yang dialaminya sangat menyakitkan, dia lebih memilih diam dan memendamnya sendiri. Meskipun neneknya berusaha mengorek atas apa yang disembunyikan, Andaru tetap menyimpannya rapat-rapat dan berusaha meyakinkan bahwa tidak ada cerita lain, selain yang sudah diceritakan.

Lihat selengkapnya