The E.T.E.R.N.I.T.Y

Drew Andre A. Martin
Chapter #4

Terlambat Lambat

Hari masih petang, dua kompor sudah menyala. Satu untuk menanak nasi dan satunya untuk merebus air hangat untuk mengisi tremos. Waktu tidurnya amatlah singkat, hanya enam jam. Dia selalu tepat waktu soal bangun tidur, tetapo tidak saat hendak berangkat tidur. Rambutnya juga masih acak-acakan, tak sempat dia menyisirnya. Apalagi kurang tiga jam waktunya untuk menyelesaikan semua, sebelum lanjut menyiapkan air hangat untuk kedua adiknya, Tyo dan Nurmala. Keduanya masih kecil. Usia Tyo dua tahun, sedangkan Nurmala masih sembilan bulan. Sedangkan Ranu, adik laki-lakinya baru saja duduk di kelas dua sekolah menengah atas.

Pintu kamar orang tuanya terbuka dan menimbulkan suara yang terdengar oleh Danastri. Dia mengintip, siapa yang keluar dari kmar itu. Berdegup kencang jantungnya, apalagi dia belum menyelesaikan semuanya. Ternyata benar saja, yang keluar ibunya. Melihat sekitar dapur masih berantakan, Helma mengabaikan dan tak memarahi Danastri seperti biasanya. Langsung saja dia kembali ke kamarnya. Danastri akhirnya bisa bernapas lega. Baru saja dia menaikkan sepanci air yang didapat dari menimba di sumur ke kompor yang nantinya akan dipakai Ryo dan Nurmala mandi, Helma kembali keluar. Bertanya dia kepada Danastri, apa air hangat untuk memandikan kedua adiknya sudah siap? Jika sudah siap, Helma meminta Danastri memandikan Ryo terlebih dahulu dan setelahnya itu, Helma yang akan memandikan Nurmala. Memang terlalu pagi, anak-anak kecil itu mandi, apalagi setelah subuh di jam 05.00.

Ponsel di saku Danastri menyala dan bergetar. Berusaha lagi dia agar tak ketahuan Helma kalau dia telah memiliki ponsel. Jika tahu, ponsel barunya itu akan bernasib sama dengan ponsel lamanya yang dibuang di Pantai Kanaya. Anti sekali Helma dengan ponsel yang selalu digenggam anaknya itu. Padahal bapaknya sudah meminta berkali-kali untuk membiarkan agar anaknya itu memakai ponsel. Siapa tahu dia membutuhkannya dan Danastri bukan lagi gadis belia yang duduk di sekolah dasar yang harus diawasi setiap kali menggunakan ponsel.

"Tetap tidak bisa, Adri. Dia harus menurut kepadaku sampai kapanpun. Kalau perlu sampai nanti di beranjak dewasa," kata Helma sambil mempersiapkan baju ganti kedua anaknya.

"Tetapi bukan begitu caranya, biarkan dia menikmati hari-harinya. Dia juga butuh kebebasan, bukan malah terbelenggu dengan segala aturanmu."

"Kau bilang bebas?? Mau jadi apa anak itu nanti?" Helma meninggalkan Adri di kamar menuju ke dapur dan menaruh baju kotor ke kerangjang baju. Tidak mau dia mendengarkan penjelasan dari suaminya. 

Padahal maksud Adri, kebebasan yang harus diberikan kepada anaknya bukan bebas yang sebebas-bebasnya. Lebih tepatnya, meminta kepada Helma agar dia bisa memberi sedikit kelonggaran waktu untuk Danastri terlebih bagi dirinya sendiri agar tak selamaya terkungkung. Seakan ada jerat yang membelenggunya sehingga dia tidak bisa bebas, tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri, justru memiliki banyak waktu untuk memuaskan apa-apa yang diinginkan oleh Helma.

Danastri tak banyak bicara. Dia masih memandikan Ryo. Tak lama kemudian, dia memanggil Helma. Ryo langsung diminta Danastri segera masuk ke kamarnya, meminta kepada bapak untuk memakaikannya baju dan celananya. Sedangkan Danastri melanjutkan mencuci piring, sebelum merapikan semua alat-alat mandi yang digunakan untuk kedua adiknya berceceran di samping sumur.

Helma dan kedua anaknya duduk di kursi meja makan. Dia menyuapi Ryo dengan nasi yang hangat dan tempe goreng. Sedangkan Nurmala disuapinya dengan nasi tim yang dicampur kuah bakso. Sementara Adri membereskan kamar. 

"Ibu, aku mau berangkat dulu," Danastri berpamitan yang hendak bekerja membantu menjual gorengan di toko, Mbak Triani.

Helma tak banyak berbicara. Menatap mata Danastri yang berpemitan saja, tidak.

Baru sampai di depan pintu ruang tamu, Adri bertanya kepada Helma, apa Danastri sudah sarapan tadi? Ataukah belum. Helma berkata, kalau pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Harusnya Adri sudah tahu. Mana mungkin juga Danastri sarapan, dia tidak pernah mau. Setiap kali diminta sarapan, selalu ditolaknya.

Lihat selengkapnya