Kembali Danastri melihat jam dinding. Walaupun masih kurang dua jam, tetap saja terasa waktu berjalan sangat lambat. Senja di hari rabu kali ini agaknya datang terlalu lama baginya. Semalam dia berdiri di depan cermin, berlatih berbicara seakan-akan ada laki-laki itu di depannya. Diulang-ulang agar tak lupa. Mulai dari berjabat tangan, memberikan senyuman terindahnya, dan menatap dengan pandangan yang meneduhkan.
Danastri senyum-senyum sendiri di warung sambil membayangkan bagaimana nanti dia saling menatap wajah. Berharap pertemuan pertamanya mememberikan kesan yang indah. Dua kali namanya dipanggil Mbak Yantri, Danastri tak mendengar. Tepat di keempat kali namanya dipanggil baru dia menjawab. Tersadar dia kalau Mbak Yantri sudah di sebalahnya sambil melayani pembeli yang membeli gorengan.
"Kalau kau merasa tak enak badan, lebih baik kau pulang saja. Istirahat di rumah, agar besok kau bisa bekerja dengan benar. Tidak seperti hari ini." Mbak Yantri menyarankan dengan cara bicaranya yang kesal dengan Danastri.
"Tidak Mbak, aku baik-baik saja." Danastri meyakinkan kalau dia tak sakit. Kembali matanya melihat ke arah jam dinding. Batinnya, tinggal satu jam lagi dia akan menuntaskan janjinya. Bersamaan dengan jam pulang kerja.
Mbak Yantri mondar-mandir mengambil empat gelas kosong di meja kemudian membawanya ke dapur warungnya. Saat kembali ke depan sambil membersihkan meja dan kursi dengan kain, dia berkata lagi, "Tidak apa-apa kalau kau pulang sekarang saja. Tenang saja upahmu hari ini tetap. Tak akan kukurangi karena kau pulang sebelum jam kerjamu berakhir."
Diam sambil berpikir panjang. Berkata Danastri seraya dia berdiri dan menerima tawaran pemilik warung tempat dia bekerja. Berpindah dia ke dalam dan diambil tas miliknya yang digantung di dinding dekat kompor. Mbak Yantri sekali lagi bergeleng-geleng. Katanya, Danastri cukup berbeda di hari ini. Apa iya, dia sedang kasmaran?
Mbak Yantri kembali menelisik, agaknya yang menjadi pertanyaanya barusan seperti benar adanya. Apalagi ketika tadi Danastri ditanyai olehnya mengenai apakah dia punya kenalan baru lagi, memerah seketika wajah Danastri. Terlihat juga kedua bola matanya berlarian kemana-mana. Katanya lagi, buat apa juga mengurusi hal yang remeh-temeh itu, lagipula ada yang lebih penting untuk diurusnya.
Dimasukkan sandalnya ke dalam tas kresek hitam. Dia ingin berjalan di pasir pantai tanpa mengenakan alas kaki. Berkali-kali dia membenarkan rambut dan poninya yang tertiup angin yang berhembus searah dengannya. Jantungnya berdegup sangat kencang, suhu badannya pun menjadi tak stabil. Berucap pada dirinya sendiri kalau usaha untuk berkenalan dengan laki-laki yang disukainya akanlah berhasil. Kembali juga dia meyakinkan bahwa tak jadi masalah kalau perempuan yang lebih dulu mengajak kenalan ketimbang laki-laki. Apalagi ini bukan soal itu saja, tetapi mengenai janji yang harus dibayar di hari itu juga.
Ponselnya kembali berdering di saat dia baru saja duduk di bawah pohon yang cukup rindang. Nomor yang sama seperti siang tadi kembali meneleponnya. Langsung saja diangkat olehnya. Kali ini dia tak berbicara lemah lembut kepada laki-laki yang meneleponnya.
"Kau ini siapa? Tak sopan sekali, tak menyebutkan nama terlebih dulu, malah kau buru-buru mematikannya setelah kau tahu namaku. Apakah begitu caramu menelepon perempuan?"
"Tidak juga," jawab laki-laki yang berbicara dengan Danastri di ponsel. "Aku tadi ada urusan mendadak, jadi setelah tahu kalau pemilik nomor ponsel ini adalah kau, jadilah aku meneleponmu. Apa aku menganggumu hari ini?"