Andaru terpekur sembari duduk di atas kasur dengan kaki yang ditekuk. Menatap ke arah luar yang sedang hujan lebat disertai angin kencang yang sampai membuat tiga mawar Jayasri yang baru dibelinya seminggu, terjatuh. Seharian ini dia malas makan hanya minum air putih dua gelas tadi pagi dan siang. Pintunya tertutup rapat, lampunya juga dimatikan, padahal masih sore. Ponselnya berbunyi, Jaladri meneleponnya. Diraihnya kemudian diangkat. Kalau Damar dan Jayasri sudah tak bisa membujuk Andaru, maka jalan terakhir keduanya meminta tolong Jaladri.
Andaru enggan menuruti pinta kakaknya. Bukannya membuka pintunya, malah dia membuka jendela kamarnya. Diambil kursi yang di dekat meja belajarnya, kemudian dia duduk di samping jendela dengan kedua kupingnya disumpal headet. Dia tahu kalau dalam waktu sepuluh menit setelah usaha Jaladri membujuknya gagal, maka Damar akan degrra mengetuk-ngetuk pintu kamar Andaru. Benar saja, pintunya terdengar sangat keras sekali ketukannya. Sampai suara itu samar-samar terdengar di kedua telinga Andaru yang tersumpal headset berwarna orange.
Kini giliran Jayasri yang mengetuk pintu dengan suara yang lirih. Memohon kepada Andaru untuk keluar sebentar makan malam. Berjanji pula dia tak akan menceramahinya. Damar justru menggedor pintu dengan tenaga.
"Sudah, Pak jangan seperti itu. Malah yang ada dia tidak akan keluar ke kamar."
"Kalau tidak bisa dengan cara baik-baik, mungkin dengan cara kasar akan mempan!" Sekali lagi Damar menggebrak pintu kamar Andaru jauh lebih keras dari sebelumnya.
Langsung saja Jayasri menarik lengan Damar kemudian mengajaknya ke ruang tamu sembari berkata, "Bukan dengan cara seperti itu, Pak. Kalau kau mau didengarkannya maka belajarlah mendengarkannya." Mendengar apa yang diucapkan oleh kedua bibirnya, Jayasri merasa tertampar sendiri.
Damar kemudian terdiam dan membanting tubuhnya ke sofa di ruang tamu. Enggan dia mendebat, malah yang ada memperkeruh masalah, tepat di malam hari. Dipijat keningnya berkali-kali sambil memikirkan bagaimana caranya agar Andaru mau menurut. Jelas dia mengerti, ini semua adalah salahnya dan salah Jayasri. Dia pun juga sepakat dengan apa yang baru saja dikatakan oleh istrinya. Andai saja waktu bisa diputar kembali, tetapihal itu adalah kemustahilan tampaknya. Namun, tetap saja pengandaian itu kerap digunakan oleh banyak orang yang benar-benar merasakan penyesalan atas apa yang sudah diperingatkan baik melalui orang terdekat, maupun isyarat yang kadang susah untuk dipercayai pada awalnya.
Kepala Andaru menengadah ke atap-atap kamar. Napasnya kian lama memberat sampai air matanya tak kuasa ditahan olehnya. Meskipun hidup dengan orang yang membersamainya selama dua puluh tiga tahun lamanya, tetap saja rasanya asing. Justru lebih terasa saat nenek yang telah berpulang kepada Tuhan. Berandai-andai adalah cara baginya untuk menghibur dirinya sendiri.
Dulu sewaktu Andaru meminta sedikit waktu pada orang tuanya, selalu saja ada alasan kalau tak nanti-nanti. Sampai bosan rasanya dia. Bahkan setiap kali dia mau mengutarakan atas apa yang dimintanya, sudah pasti dia tahu jawaban apa yang akan diberikan oleh kedua orang tuanya kepadanya. Walaupun begitu, tetap saja dia selalu mencoba dan mencoba pada awalnya. Namun, karena sudah merasa bosan jadilah acuh. Irit berbicara, kalaupun mau ngobrol kalau ada perlunya.