Sekarang hari rabu, empat hari setelah Andaru sembuh dari sakit. Merasa tubuhnya sudah kembali sehat, berjalan keluar kamar di sore itu. Disaat itu kedua orang tuanya belum pulang. Pergilah dia menuju ke Tebing Indrasutha. Kali ini Andaru memakai kemeja dengan celana pendek jeans ukuran tiga perempat. Dua kancing bajunya dibiarkan terbuka hingga mempertontonkan dada bidangnya. Tak biasanya dia memakai pakaian seperti itu. Biasanya dia memakai memakai kaos, celananya pun celana kain. Sebab nenek pernah memujinya rupawan setiap kali mengenakan kemeja dan celana jeans tiga perempat. Tentu, Andaru tidak memperindahkannya. Justru disaat dia sangat rindu Nenek Betari keraplah dia mengenakan setelan itu. Meskipun terlihat aneh olehnya, dia berusaha untuk terbiasa saja agar menjadi nyaman.
Ponsel miliknya ditinggalkan di rumah. Untuk apa juga membawanya. Justru yang ada membuatnya tak tenang menikmati senja dan malam di atas Tebing Indrasutha karena selalu ditelepon oleh Damar kalau tidak Jayasri. Mana peduli juga Damar pada kedua orang tuanya. Meskipun sudah berusaha untuk memperhatikannya lebih dari biasanya, tetap saja Andaru tak juga peduli.
Setiap sorenya tepat di hari Rabu dan Sabtu, dia ke tebing Indrasutha sembari membawa gitar dan buku tulis untuk mengusir penatnya. Sebab hanya di hari itu saja dia libur dari kerjanya. Di setiap minggu sore sampai selasa dia bekerja di warung Pak Rusdi yang menyediakan berbagai macam minuman yang berbahan dasar dari kelapa muda. Pak Rusdi juga memiliki lahan yang cukup dekat dengan Pantai Kanaya yang kemudian ditanami pohon kelapa yang jumlahnya cukup banyak. Jika musim panen, Andaru yang membantu memanennya. Lihai sekali dia soal menjat-memanjat. Dia selalu mengambil bagian mengambil buah kelapa muda, sedangkan dua teman kerjanya di bawah untuk menangkap kelapa muda yang dipetik olehnya. Jika sudah lelah, apalagi bertepatan saat senja datang, mana mau dia turun. Malah yang ada dia duduk di atas pohon kelapa sembari menunggu senja yang tinggal seperdelapan tenggelam di ujung pantai sembari dia menikmati angin sepoi-sepoi di atas sana.
Ponsel Andaru berbunyi terus. Lima belas panggilan tak terjawab dari Jayasri dan lima panggilan dari Damar yang tak juga terjawab. Damar meminta kepada Jayasri agar tetap tenang agar saat mengendari mobilnya tak sampai terjadi hal-hal yang tak diiginkan di sepanjang perjalanan pulang. Laju mobil dipercepat, berkali-kali klakson dibunyikan. Damar tak bisa pulang sore itu. Ditambah lagi pekerjaannya cukup banyak sebagai manajer pemasaran. Apalagi di bulan-bulan ini target timnya jauh lebih rendah dibanding dua dan tiga bulan lalu.
"Kau ini anak orang kaya. Ibumu pemilik resto terkenal dan cabangnya ada di beberapa tempat. Mengapa kau tak bekerja saja di sana?" tanya Dirman, teman satu kerjaan dengan Andaru di warung Pak Rusdi.
"Setiap orang memiliki pilihan bukan? Jadi ketika aku memilih bekerja di sini, mengapa tidak?" kata Andaru sembari membantu Dirman menaruh kelapa muda yang setelah dipanennya di atas gerobak dorong berukuran sedang.
Sembari menata lagi kelapa muda yang cukup berserakan di atas gerobak tersebut, Dirman berkata lagi, "Kalau saja aku menjadi kau, mungkin aku tak akan pernah ada di sini bersama kelapa-kelapa yang membuat repot kadang."
Andaru yang mendengar temannya berbicara hanya meringis. Tak mau lagi dia menimpali pembicaraan Dirman.
Kembali ponsel Andaru berbunyi. Jayasri belum saja pulang ke rumah. Terjebak macet dia di jalan. Hatinya menjadi lebih berantakan memikirkan Andaru. Tak biasanya juga dia seperti itu. Berkali-kali dilihat arloji berwarna tosca. Pun dengan telunjuk, tengah, dan manis serta kelingking, bergerak-gerak terus mengetuk setir mobil nyaris terdengar lumayan gaduh di dalam mobilnya.
Satu pesan masuk dari Baruna, 'Apa kau sudah mengetahui kabar anakmu?'
Di dalam hati Jayasri sempat bertanya tentang bagaimana bisa Baruna mengetahui persoalan yang sedang dihadapinya. Tadi juga Jayasri tak memberitahukannya. Mungkin saja baruna bertanya kepada Damar. Keduanya telah berkawan karib. Mengenai kedekatan dan masa lalu yang intim antara Baruna denga istrinya tak pernah sama sekali Damar mengetahuinya. Jayasri dan Baruna menjaga benar rahasia itu.
Dibuatnya masa bodoh. Untuk apa juga Jayasri memikirkan hal itu. Sebab ada yang lebih penting dan dibutuhkan, yaitu bagaimana keadaan Andaru sekarang ini. Ditambah lagi ponsel yang dihubungi tak saja dijawab oleh pemiliknya. Bahkan dicoba berkirim pesan singkat saja juga diabaikan dan tak ada balasan pesan singkat
Lagi-lagi Jayasri memainkan jari telunjuk, tengah, manis, dan kelingkingnya ke setir mobil. Melongok juga ke lampu merah yang lama tak berganti hijau. Kembali diambil ponselnya, lalu diletakkan lagi ke lubang pintu mobilnya setelah satu pesan terkirim ke Damar. Jelas saja, Damar juga tak akan membalas pesan singkatnya.
Biasanya jarak tempuh rumah dari resto hanya kisaran lima belas menit, kali ini jauh lebih lama. Empat puluh lima menit. Mobil yang dikendarai Jayasri langsung diparkir sekenanya saja dan masuklah dia ke dalam rumah. Dibuka pintu kamar Jaladri, tak ditemukan Andaru di sana. Pun juga di kamar mandi dan kamarnya sendiri. Dicoba lagi oleh Jayasri menelepon Andaru, justru suaranya terdengar di dalam rumah. Dicari sumber suara ponselnya. Nyatanya, ponsel itu terletak di atas almari kamar Jaladri. Jayasri langsung ke ruang tamu. Dicobanya menghubungi Damar berkali-kali, sampai delapan kali. Namun, masih saja tak diangkat.
'Hubungi aku segera. Kalau bisa setelah kau membuka pesan singkatku!' Pesan singkat yang dikirimkan Jayasri ke Jaladri.
Kepala Jayasri menjadi berat. Tak kuat, nyaris saja dia frustasi dengan sikap Andaru yang semakin lama semakin menjadi. Susah diatur, sampai bingung harus diapakan lagi nantinya. Kalau dikasari, malah yang ada semakin menjadi. Kalau dihalusi, malah tak mau mengerti. Berusaha Jayasri menenangkan diri. Diatur napasnya berkali-kali sesuai dengan hitungannya per detik. Disandarkan kepalanya ke sofa sembari matanya terpejam. Baru semenit, terdengar suara cukup nyaring di depan teras rumahnya. Seketika dia berjalan ke depan, barangkali Andaru sudah pulang. Ternyata di luar tidak ada siapa-siapa selain dia dan Luna, kucing peliharannya.
'Kau tak juga mengerti. Kalau Andaru tak ada di rumah, biasanya dia ke Tebing Indrasutha. Kau buat santai saja. Itu anak, pasti sudah enakan, jadilah dia keluar rumah.'
Setelah membaca pesan Damar, langsung saja Jayasri mematikan ponselnya. Berjalan dia ke kamar mandi. Berganti pakaian dan membilas seluruh badannya. Di rumah pun, Jayasri juga memakai jarik. Bukan hanya saat pergi ke restonya saja. Perempuan yang tetap melestarikan budayanya walau dia kini telah hidup di zaman modern.