Lelaki itu lagi ...
Aku tidak tahu kenapa lelaki yang bernama Arjuna itu selalu menatapku lekat seperti itu. Dia selalu duduk disudut ruangan, dengan keempat teman-temannya. Mereka lima lelaki aneh, yang terkenal tampan. Hampir tiga bulan mereka sekolah di sini, aku tidak pernah melihat kelima lelaki itu berdekatan dengan perempuan.
Atau mereka naksir perempuan. Kadang aku berpikir, mereka tidak normal.
"Ta, nyanyi cepet! Malah ngelamun terus?" Rizki mulai protes.
Saat ini aku dan ketiga temanku sedang dikantin. Rizki sedang memegang gitar, dia akan menyuruhku menyanyikan lagu bintang kecil.
Dan Irene sedang makan bakso, dia akan menyemangatiku, ala - ala penonton yang ada di sebuah konser boy band korea.
Dan Hazel, dia akan mengabadikan kekonyolan kami, apa lagi disaat Rizki berpura - pura menjadi Rhoma Irama, ketika sedang memainkan gitar tuanya.
Aku mengalihkan tatapanku ke arah Rizki dan kedua temanku.
"Bintang kecil lagi?" Tanyaku meyakinkan. Rizki mengangguk, "Huuh, gue sukanya lagi itu." Sahut Rizki.
"Sesekali lagunya Roma Irama Elah, masa lagu bintang kecil mulu?" Irene berdecak.
"Kagak hapal gue, hapalnya cuma bintang kecil." aku yang menyahut. Dengan sesekali melirik ke arah sudut ruangan sana. Yang ternyata kelima laki-laki aneh itu sudah tidak ada.
Kayanya lebih baik dia pergi, biar aku gak harus deg - degan menerima tatapan anehnya.
"Ya udah sih, dari pada gak ada. Ini ponsel gue udah siap." Hazel mulai menyorot kami dengan ponselnya.
Dan aku pun bernyanyi, diiringi petikan gitarnya Rizki. Dia ke sekolah memang suka membawa gitar, tapi tidak pernah ia bawa ke kelas. Dia selalu menitipkan gitarnya dikantin.
Dan bersyukurnya, Bu Indah mau dititipin gitar miliknya Rizki.
Omong-omong kenapa Rizki sangat suka nyanyian Bintang kecil. Karena ia bilang, lagu itu adalah kenangan dari Mamahnya. Setiap sebelum tidur, Mamahnya selalu menyanyikan lagu itu.
Tapi sekarang Beliau sudah meninggal. Alhasil, setiap kali dia kumat. Akulah yang selalu disuruh Rizki untuk bernyanyi.
Awalnya aku protes, itu dulu, ketika pertama kali dia meminta. Waktu aku awal kelas sepuluh, ketika kami masih MOS, kalau tidak salah. Tapi tiba - tiba dia menangis pilu sekali. Dan aku sungguh tidak tega, sehingga aku pun menyanyikan lagu itu. Sampai sekarang.
Hampir saja aku akan kembali bernyanyi, kala teriakan dari ambang pintu membuat bibirku terkatup kembali.
"Ada apa sih?" Irene bertanya.
"SONIA!"
Ah, aku lupa. Pagi ini aku memang belum melihat batang hidungnya temanku yang satu ini. Dia Sonia, gadis itu memang ijin tidak ikut ke kantin.
"Si Sonia kenapa?" Hazel ikut bertanya. Rizki meletakan gitar di atas meja, terlihat mengikutiku berjalan ke arah ambang pintu. Menatap si tersangka yang berteriak barusan.
"Dia mau bunuh diri! Dia berdiri di Rooftop sekolah!"