*Layla POV
Sejujurnya, aku tidak terlalu menyukai manusia. Bukan berarti aku membenci mereka. Aku hanya tidak menyukai cara mereka melihatku. Seakan aku adalah makhluk langka yang sudah lama punah.
Meski lahir dan besar di antara para manusia, aku tidak pernah merasa menjadi bagian mereka. Seperti ada jurang lebar yang memisahkan kami. Karena itu aku mulai berpikir, mungkin mereka benar. Aku adalah sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada.
Keberadaanku adalah bukti bahwa kami sudah semakin dekat dengan akhir.
***
Mala hanya mengatakan satu hal setelah tes berakhir. Bahwa aku telah menghina semua data yang para peneliti dapatkan selama ini.
Mungkin itu benar. Kekuatan yang kutunjukkan pada mereka mungkin akan mengubah arah penelitian ini. Aku seperti menunjukkan semua pengetahuan mereka tentang Weaver selama ini salah. Mungkin mereka juga sudah mengubah pertanyaan dari 'bagaimana' menjadi 'apa yang sebenarnya kita pelajari'.
Walaupun itu bukan kesalahan mereka, tentu saja. Beberapa hal yang mereka ketahui tentang Weaver nyatanya tepat, meski hanya hal-hal dasar. Tapi kurasa, sihir sama sekali belum menjadi bagian dari hipotesis mereka.
Dan tentu saja, Mala menepati janjinya. Dia bahkan mengizinkan tanganku bebas hanya untuk malam ini. Mengajakku ke area kantin di lantai satu—satu-satunya lantai yang berada di permukaan karena seluruh fasilitas dibuat di bawah tanah. Menyuruhku mengambil satu nampan berisi dua porsi makanan dan dua gelas air, lalu kembali menaiki lift menuju lantai terbawah.
Aku tidak akan berbohong jika Mala bertanya mengapa aku terlihat gugup. Ini pertemuan yang kunantikan. Semua yang kulakukan sejauh ini—membuat kerusuhan di dunia manusia dan dengan sengaja membiarkan mereka menangkapku—hanya berdasarkan pada sebuah pertaruhan bodoh.
Jika dia bukan orang yang kucari, maka aku tidak memiliki alasan untuk tetap di sini. Mungkin menghancurkan seluruh tempat ini sebagai pelampiasan juga tidak buruk.
Namun jika 'dia' adalah orang yang kucari, seseorang yang kulihat dalam visiku, alasanku memulai semua ini. Apa yang akan dia katakan saat melihatku? Bagaimana reaksinya saat itu? Apa dia akan meminta maaf padaku, atau malah tersenyum dan berterima kasih.
Aku tak akan berbohong jika seseorang bertanya mengapa aku tampak begitu gugup. Meski aku yakin wajahku tak menunjukkan ekspresi apapun, aku yakin orang lain akan dengan mudah menyadari perbedaannya.
Mala terus berjalan di sampingku. Melewati koridor panjang dan sepi, serta beberapa persimpangan dan sekat penghalang yang hanya bisa dibuka dengan kartu identitas. Pengamanan di lantai ini jauh lebih ketat dibanding lantai lain. Bahkan jalan menuju kamar tahananku di lantai tiga tidak sesulit ini. Di ujung lorong, pintu besi itu akhirnya terlihat.
Mala menempelkan kartu identitasnya di gagang. Membuat bunyi yang cukup nyaring saat pengaman dari pintu itu satu-persatu membuka. "Dua puluh menit," kata Mala. "Aku akan menjemputmu setelah itu."
"Dua puluh menit untuk makan dan mengobrol?" Cibir ku. "Serius, apa kau tak pernah berkencan?"
Mala hanya mengangkat tangannya, melangkah mundur dan mempersilahkanku untuk masuk. Saat bunyi terakhir menjadi hening, pintu itu sudah sepenuhnya terbuka. Aku menarik nafas panjang dan melangkah masuk, berhenti tepat di depan pintu yang kembali menutup.
Ruangan itu sama seperti kamarku. Warna dinding dan segala peletakan perabotnya, bahkan baunya yang seperti bau obat-obatan. Yang berbeda, hanya seorang lelaki yang duduk di belakang meja dengan kepala tertunduk.
Tubuhku menegang saat kumpulan emosi mulai menerobos masuk. Saling berebut untuk menjadi dominan.