*Layla POV
San menatapku dengan alis bertaut. Di keningnya tertoreh noda darah. Darahku, yang akan kugunakan sebagai media sihir. "Apa ini akan berhasil?" Tanyanya.
Aku menekan luka sayat di tangan. Memaksa darah lain mengalir keluar. "Jangan meremehkan sihir. Kau pikir bagaimana aku bisa kemari?"
"Tapi kita di lantai satu. Mereka bahkan memberi kita kunci kamar."
Setelah aku berhasil memancing San untuk menunjukkan kekuatannya di depan para peneliti, mereka langsung membuat beberapa perubahan. Memindahkan kamar kami ke tempat yang lebih nyaman. Mengembalikan pakaian asli kami sebelum di bawa kemari. Bahkan memberi kami akses untuk berkeliling di lantai satu. Tentu saja hanya ada satu alasan. Kurasa mereka sudah menyadarinya, bagi kami, pergi dari tempat ini cuma masalah waktu. Maka satu-satunya cara agar kami tetap bertahan adalah dengan membuat kami nyaman.
"Apa menurutmu masuk akal kalau kita berkeliaran pada tengah malam?" Tanyaku sambil berkonsentrasi. Merasakan Atma atau energi murni yang mulai berinteraksi dengan Atma dari darahku. "Dan juga, ada banyak kamera pengawas. Aku tidak suka diawasi."
San mendongak, berusaha menatap noda darah di keningnya. "Bagaimana cara kerjanya?"
Aku menyibakkan tangan yang terluka. Lantas noda darah di tanganku dan kening San mulai berpendar dengan cahaya kebiruan. Perlahan, darahnya menguap. Berubah menjadi partikel cahaya biru yang berterbangan di penjuru ruangan. "Kau siap?"
"Apa ini akan berhasil?"
Kali ini aku tidak menjawab. Aku langsung menarik lengannya. Membuka pintu kamar dan berlari di koridor. Kami melewati satu hingga dua penjaga di setiap ujung lorong, di ruang utama, serta di tangga atau lorong menuju lift. Mereka tidak melihat atau mendengar kami. Dengan sihir yang ku aktifkan, tentu saja itu mungkin.
Aku selalu melakukan ini setiap malam. Melepaskan borgol dan membuka setiap pengaman di pintu itu perkara mudah. Kalau mau, aku juga bisa menemukan San sejak hari pertama. Tapi aku merasa saat itu bukan waktu yang tepat. Karena itu setiap malam, aku menghabiskan waktu untuk berkeliling. Memetakan seluruh fasilitas ini di kepalaku. Setiap ruangan tersembunyi. Waktu para penjaga bekerja, juga titik buta dari semua kamera pengawas. Biasanya, aku akan pergi ke ruang berkas di lantai dua. Membaca semua hasil penelitian mereka. Sebagian besar hanya data-data sederhana yang berupa hipotesis. Tidak ada yang spesial. Tidak ada yang benar-benar berguna. Tapi karena kebiasaan itu, aku mengetahui satu tempat istimewa dari fasilitas ini.
Lorong nya lebih sempit dan tidak terjaga. Di ujungnya, terdapat tangga naik dengan pintu besi yang tertutup di tangga terakhir. Pintunya juga tidak terkunci. Aku membuka pintu dan melewatinya.
Angin malam langsung menerpa kami. Mengibaskan rambutku. Tempat itu adalah atap. Sebuah area datar berbentuk persegi yang cukup luas. Langit malam terhampar indah di atas kami. Menunjukkan bintang-bintang yang beberapa juga tertutup awan.
Aku melepaskan tangan San dan berjalan ke tengah. Memejamkan mata, menikmati dingin malam yang menusuk.
San berjalan dan berhenti di sampingku. Wajahnya terlihat lelah, tapi juga terpukau.