*Layla POV
Ruangan Mala berada di lantai dua. Jadi aku harus berlari secepat mungkin ke lantai satu, pergi ke kamar San dan meyakinkannya untuk pergi sekarang juga. Namun saat aku masih berkutat di lorong, suara Mala terdengar di pengeras suara.
Sebuah pengumuman tentang keadaan darurat dan himbauan kepada semua divisi dalam fasilitas ini untuk pergi ke aula di lantai 4. Pengumuman itu berlangsung selama beberapa menit selagi aku terus berlari.
Aku senang dia menuruti perkataanku, tapi tanpa aba-aba seperti ini. Mala membuatku dalam masalah. Kamar semua pekerja berada di lantai satu yang berarti aku akan bertemu dengan mereka semua.
Satu-satunya pilihan adalah mengaktifkan sihir yang membuatku tidak terlihat. Aku berlari menaiki tangga sambil menekan luka di tangan. Saat tiba di lantai satu. Tepat sebelum aku hendak mengaktifkan sihir dengan darah. Seorang pria berhenti beberapa langkah dariku setelah tampak tergesa-gesa.
Wajah Marumbi yang sebelumnya marah tampak terkejut melihatku. "Apa yang kau—"
Aku tidak menunggu dia menyelesaikan pertanyaan dan langsung menerjangnya. Melayangkan pukulan cepat ke wajahnya, tapi Marumbi menahannya dengan mudah. Begitu juga dengan beberapa serangan berikutnya. Aku memutar badan dan menyerangnya dengan siku, saat Marumbi menahan serangan itu, aku memanfaatkan momentum dengan mendorong diriku ke depan. Lalu dengan cepat berbalik sambil melakukan lompatan. Kakiku melayang tepat ke kepalanya, tapi tangan Marumbi sudah di sana. Setelah benturan itu, aku mendarat di lantai dan hendak melancarkan serangan lain, namun tangan kiri Marumbi kali ini lebih cepat. Menghempaskan ku dengan angin yang cukup kencang untuk membalikkan mobil truk.
Tubuhku melayang dan menghancurkan tembok sebuah ruangan. Tulang punggungku sedikit retak. Pelipis ku berdarah dan bahuku sedikit terkilir. Tapi tidak ada waktu.
Aku kembali bangun. Berjalan keluar dari puing-puing tembok. Di depanku, Marumbi menatapku dengan angkuh. Di belakangnya, lima bola api melayang-layang, siap untuk dilancarkan padaku kapanpun.
Delapan langkah. Itu jarak kami, meski aku bisa menjangkaunya hanya dengan dua langkah. Masalahnya adalah kekuatan elemen Marumbi. Menghindari elemen api sebenarnya mudah, berbeda dengan elemen angin yang tidak terlihat. Aku hanya bisa mengandalkan insting untuk menghindar.
Ini alasannya aku membenci Weaver campuran. Mereka semua merepotkan.
"Katakan apa yang kalian rencanakan dan aku akan mengakhirinya dengan cepat!" Ucap Marumbi.
Dia juga berpikir aku bagian dari Akashadristhi. "Dan kalau tidak?"
Marumbi memasang kuda-kuda bertarung. "Maka itu akan terasa menyakitkan."
Aku juga mengambil pemotong kertas dari saku jaket dan bersiap. "Kebetulan, aku memang butuh luka yang menyakitkan." Lantas, semua darah yang keluar dari tubuhku mulai berpendar dengan cahaya biru.
Aku langsung berlari ke arahnya. Mengaktifkan sihir pertama untuk menembus terjangan badai. Lalu menghindar ke kanan setelah meninggalkan bola sihir di depan Marumbi. Tiga bola api menyerangku seketika, berubah menjadi ledakan api beruntun.
Aku mengaktifkan dua sihir sekaligus. Yang pertama untuk membentuk perisai transparan. Yang kedua adalah bola sihir yang kini mengikuti sisi kiri tubuh Marumbi.
Marumbi berusaha memangkas jarak dengan angin. Menyerangku dengan berbagai pukulan dan tendangan yang juga disertai dengan angin atau api. Beberapa bilah angin melukai lenganku. Serangan apinya juga berhasil membakar lengan jaket ku. Tapi aku juga berhasil mendaratkan satu serangan, merobek jubah bagian dadanya. Lalu mundur setelah meninggalkan bola sihir ketiga di sisi belakang Marumbi.
Dengan luka dan darah yang baru keluar, aku mengaktifkan sihir untuk membuat tiga tombak yang berpendar biru. Membuat ketiga tombak itu melayang tepat ke arah Marumbi.
Sang Tetua Dewan membalasnya dengan sebuah badai api. Ketiga tombakku langsung hilang dalam pusaran.
Aku berlari menembus pusaran. Merasakan saat kulitku mulai terkelupas karena panas dari api dan sayatan dari berbagai serangan angin. Wajah Marumbi terkejut saat aku tiba di sisi kanannya. Menyentuh bahunya dan meninggalkan bola sihir terakhir.
Marumbi melayangkan tangannya disertai dengan hempasan angin. Kepalaku terkena telak dan aku langsung terpental menjauh.
Saat aku bangun, dengan pandangan buram, Marumbi mengangkat tangan kanannya. Menciptakan sebuah cakram besar dari gabungan api dan angin.