The Eclipse Enigma

Rafi febriant akbar
Chapter #7

Among the Stars

*Layla POV

Di musim dingin saat umurku sepuluh tahun, ada satu tempat yang sangat ingin ku datangi. 

Letaknya hanya dua puluh menit berjalan kaki. Cukup dekat dari tempat kami berlarian mencuri makanan. Sebuah taman bermain dengan berbagai wahana berukuran raksasa. Di malam itu, cahaya lampu dengan berbagai warna terlihat sangat indah. Lebih dari semua perhiasan yang pernah kami curi. 

Masalahnya, saat itu kami tidak punya uang untuk masuk. Ditambah, pihak taman bermain tidak mengizinkan anak-anak tanpa pengawasan orang dewasa berkeliaran di sana. Maka aku merajuk saat itu. Nafsu makan ku hilang dan aku tidak bisa memikirkan hal lain selain masuk ke sana. 

Saat itu, San bilang akan membawaku ke suatu tempat yang ratusan kali lebih menakjubkan. Tapi apa yang ratusan kali lebih indah dari taman bermain? Apa dia akan membawaku ke gunung atau laut? Tapi tidak ada wahana atau cahaya berkilauan di sana. Apa dia akan membawaku ke gua yang penuh kristal bercahaya? Mungkin itu bagus, tapi tidak ada wahana di sana. 

Maka San menyuruhku memejamkan mata. Dia menggenggam erat tanganku, menyuruhku untuk tidak pernah melepaskannya apapun yang terjadi. 

***

Semuanya terasa kabur. Suara-suara, hawa dingin malam, rasa sakit dari setiap luka, bahkan semua yang sudah terjadi. Rasanya begitu cepat. 

Bahkan guncangan hebat di permukaan atap, diikuti dengan dentuman keras dari dalam bangunan, aku masih berpikir bahwa semua itu tidak nyata. Kecuali satu hal. Sensasi hangat dari punggung tangan San di keningku. Serta tangan lainnya yang merangkul kepalaku dengan lembut. 

Sesuatu menarik tubuhku. Seperti mencoba memisahkan setiap bagian menjadi fragmen acak. Lalu semua kebisingan itu mendadak lenyap. Kakiku tak lagi bertumpu pada sesuatu yang padat. Tubuhku seakan kehilangan bobotnya. Perlahan, aku mendengar deru angin. Hempasan dingin yang menerpa tubuhku dari berbagai arah. Mendorong tubuhku secara abstrak. Tubuh San seakan menjauh, tapi aku masih merasakan tangannya dalam genggamanku. 

Aku tahu sensasi ini. 

Darah masih mengalir keluar dari luka yang kudapatkan. Sebelum semuanya ikut terdorong oleh angin, aku menggunakannya untuk mengaktifkan sihir. Memulihkan penglihatan dan pendengaranku untuk sementara. 

Saat membuka mata, aku melihat ratusan bintang. Terhampar secara acak di atas kanvas hitam raksasa. Bulan hanya terlihat separuh di kejauhan, sebagian lagi tertutup awan tipis. Masih terlalu cepat untuk mencapai bentuk yang utuh. 

"Layla!" San berteriak dari tempatnya. "Bangunannya meledak. Aku tidak tahu tempat la-"

Kau tak perlu mengatakan apapun, bodoh. Aku menarik tangan San. Merangkulkan kedua tanganku di lehernya. Memeluknya cukup erat sehingga tak ada jarak lagi yang tersisa. 

Tubuh kami berputar di udara. Jatuh bagaikan komet di langit utara. Ratusan kaki sebelum tubuh kami hancur saat menabrak tanah, tapi aku tidak khawatir sedikitpun. Aku yakin San tidak akan membiarkan itu. 

"Ingat baik-baik," bisikku di telinga San. "Tempat ini jutaan kali lebih indah dari apapun."

Seperti enam tahun lalu. Saat kau pertama kali membawaku ke langit. Kita selalu melakukan itu setiap malam. Entah sudah berapa kali, aku tak ingat. 

Tapi tidak seperti enam tahun lalu. Bahkan jika ini akhirnya, aku tak akan membiarkanmu pergi sendirian. 

Selagi tubuh kami terus berputar, aku melihat lokasi fasilitas kini hanya berupa kepulan asap. Kobaran api juga masih terlihat, sisa dari ledakan sebelumnya. Aku tidak berpikir dampaknya akan seburuk ini. Mala benar-benar menjalankan tugasnya. Kalau wanita itu berakhir di sana, aku harap Marumbi juga tidak bisa keluar hidup-hidup. 

Tak lama, sebuah pilar cahaya terbentuk dari kepulan asap. Menjulang cukup tinggi walaupun belum sampai menyentuh kami. Cahayanya berpendar hijau, menerangi sebagian wilayah yang sebelumnya redup karena ledakan. 

Aku tahu tau apa itu. Sebuah portal baru saja dibuka dan warnanya menunjukan tujuan yang kukenal. 

Mereka menerima pesanku. "Kita harus kembali, San! Itu portal menuju Calmora."

San langsung memahami situasinya. Hanya beberapa puluh meter sebelum kami menabrak tanah. Tangannya memelukku lebih erat sambil berusaha menghentikan putaran di udara. "Tutup matamu!"

Lihat selengkapnya