The Eclipse Enigma

Rafi febriant akbar
Chapter #8

Whisper of The Night

*San POV

Layla bilang, Solaris adalah tempat dari semua jawaban yang kubutuhkan. Layla tidak pernah menyinggung soal perang, konspirasi politik, ataupun sosok menakutkan yang kini berdiri di depanku. 

Setelah melambaikan tangannya, Layla terhempas jauh ke belakangku. Lalu dari bawah kaki pria itu, bayangannya membesar dan naik sampai menciptakan selubung yang menutupiku dan dirinya. Kakiku terasa berat. Nafasku terasa sesak. Aku terus memikirkan banyak tempat, memfokuskan pikiranku untuk berteleport pergi sejauh mungkin. Tapi tak ada yang terjadi. Aku tetap berdiri di sana. Terdiam seperti patung dengan wajah ketakutan. 

Pria itu menatapku dingin. Kerah jubahnya cukup tinggi sampai menutupi mulutnya, tapi aku bisa melihat kesenangan dari matanya. 

Beginikah cara setiap predator menatap mangsanya? Saat tak ada lagi jalan selain kematian. 

Dia melangkah perlahan, berhenti tepat di depanku. Mengamatiku beberapa saat sebelum mengeluarkan tangan kirinya dari balik jubah dan menyentuh wajahku. Tangannya terasa dingin, bergerak perlahan sampai ke mata kananku. 

"Aneh... kau murni," gumamnya. "Kau tidak memiliki fragmennya."

Mata pria itu bertaut. Setelah puas mencari sesuatu yang tidak bisa dia temukan dariku, pria itu menarik tangannya. Berjalan perlahan mengelilingiku. "Katakan, apa yang kau tahu tentang kekuatan itu?"

Apa yang aku tahu tentang kekuatan ini? Kekuatan yang membuatku bisa pergi kemanapun yang kumau. Kekuatan yang merenggut semuanya dariku. Kutukan yang membuatku tetap hidup hingga sekarang. 

"Kenapa kau tidak memastikannya sendiri?" Jawabku menantang. Aku tak punya pilihan lain. Jika ini akhirnya maka kumohon berakhirlah. 

Pria itu berhenti di depanku. Wajahnya kini tersenyum. "Kau benar." Dia mengangkat tangan kanannya. Perlahan, tangannya melebur menjadi asap hitam. Dia menggerakkan tangannya, menyentuh dadaku dengan sangat lembut. Perlahan, melewati kulit dan menembus rongga dadaku. Seluruh udara sontak terenggut. Rasa panas menyengat dan menyebar ke sekujur tubuh. Aku harusnya berteriak, tapi semua tindakan yang kubayangkan tak pernah terwujud. Tubuhku hanya mengejang dengan napas tipis yang susah payah kudapatkan. 

"Mungkin gadis penyihir itu tahu lebih banyak, kan?" Ucap pria itu, mendekatkan wajahnya padaku. "Jangan percaya pada cahaya, nak. Dia membimbingmu, tapi juga membutakanmu."

Lalu pria itu menarik tangannya dengan keras. Semuanya lantas mengabur. Tenagaku, kesadaranku, semua rasa sakit itu. 

Apa aku akan kembali ke sana? 

***

Langit-langit putih yang asing. Aku mencium aroma obat-obatan. Tubuhku terbaring di sesuatu yang empuk. Sebuah tempat tidur berseprai kelabu. Juga selimut sewarna yang menutupi tubuhku. 

Di sampingku, dua tempat tidur lain berjejer dengan jarak masing-masing satu meter. Seseorang menempati tempat tidur di sampingku. Berbaring dengan posisi memunggungiku. Aku bisa langsung mengenali orang itu dari rambut putihnya. Perlahan, aku mencoba bangkit, berdiri dan berjalan mendekati Layla. Mata Layla terpejam. Tubuhnya tertutup selimut dengan warna serupa. 

Ini aneh. Hal terakhir yang kuingat adalah kami berdua akan mati. Sulit membayangkan apa yang baru saja terjadi jika kami malah tertidur seperti bayi saat ini. 

"Air minum ada di dekat pintu," ujar Layla tanpa membuka mata. Beberapa saat, lalu dia membalikkan badannya menjadi telentang dan membuka mata. Menatapku dengan mata yang masih mengantuk. "Kebetulan aku juga haus."

Lihat selengkapnya