*San POV
Namanya memang Seon. Meski semua orang di Calmora memanggilnya Pak Direktur, tapi dia mengizinkanku memanggil namanya langsung.
Rasanya aneh. Siapa dia sebenarnya? Apa hubungannya denganku? Mengapa aku bisa mengetahui namanya? Terlebih, mengapa aku merasa bersalah padanya?
Setelah meminta Layla keluar, Seon hanya berdiri diam di tempatnya. Memeriksa setiap senjata yang berada di rak. Itu berlangsung selama hampir lima menit sampai akhirnya dia kembali menatapku. "Apa Layla sudah menjelaskan tentang Atma?"
Aku mengangguk.
"Seperti yang kau tahu, walaupun Weaver bisa mengendalikan elemen, itu tidak membuat mereka menjadi tak terkalahkan. Semakin banyak Atma yang digunakan untuk mengendalikan elemen, semakin cepat Weaver melebur."
Peleburan, Layla bilang, itu adalah bentuk kematian setiap Weaver. Saat Weaver mati, tubuh mereka perlahan melebur menjadi partikel cahaya atau asap hitam. Tergantung pada emosi terakhir yang dominan pada akhir hidup mereka.
"Karena itu kami melengkapi diri dengan senjata dan teknik bertarung. Untuk meminimalisir penggunaan Atma dalam situasi berbahaya. Jadi, senjata apa yang kau sukai, San?"
Aku terdiam, memikirkan pertanyaan itu beberapa saat. Lalu melangkah mendekati Seon di rak senjata. Variasinya cukup banyak. Tongkat, tombak, pedang, pisau, kapak, lalu apa yang kusukai? Tidak, pertanyaan sebenarnya adalah apa yang bisa kugunakan? Aku cukup lemah dalam pertarungan frontal. Yang bisa kulakukan hanya memanfaatkan kekuatan teleportasi untuk menghindar dan menyerang balik. Pisau mungkin cukup fleksibel. Aku ingat percobaan dengan Layla di fasilitas. Tetapi entah mengapa saat itu terasa tidak nyaman. Tongkat dan tombak punya jangkauan yang luas, tapi aku tidak cukup mahir. Begitu juga dengan kapak, rasanya pasti sangat berat. Itu berarti hanya satu senjata yang mungkin cocok denganku. Punya jangkauan serangan yang luas dan dekat, cukup fleksibel untuk menyerang dan bertahan. Aku mengambil pedang. Merasakan bobot dari bilah besi sepanjang 90 senti yang terasa pas di genggamanku. Dengan gagang kayu yang dililit kain berwarna putih, genggamannya terasa nyaman.
"Kau sudah pernah menggunakan pedang?"
"Aku hanya pernah memegangnya."
"Tak masalah, Layla juga menggunakan pedang. Kurasa dia bisa mengajarimu" Seon melangkah menuju rak lain di dekat dinding. Mengambil sebuah tas kaki seukuran telapak tangan orang dewasa dan melemparnya padaku.
Teksturnya kasar, mungkin terbuat dari kulit hewan. Dengan warna coklat tua dan kancing berwarna hitam.
"Masukan pedangmu di sana."
Aku mengerutkan kening. Tas ini tidak cukup panjang untuk menyimpan pedang.
"Kami membuatnya dengan sihir. Yah, sebenarnya itu produk dari republik," ujar Seon menjawab keraguanku.
Aku mencoba memasukan pedang ke dalam tas. Lantas bilah besi itu lenyap seakan tertelan. Aku ingat Layla pernah menjelaskan soal sihir yang dibagi menjadi tiga kategori: membuat, menggabungkan, dan memanipulasi. Kurasa tas ini dibuat dengan salah satu dari tiga bentuk tersebut. Selagi aku mencoba memasang tas itu di paha kanan—yang ternyata terasa cukup nyaman—Seon kini berdiri di balik jendela di dekat pintu. Menatap jauh ke lapangan. Lagi-lagi dia hanya diam, tapi kurasa dia ingin aku mendekat.
Pemandangan di balik jendela masih sama seperti saat kulihat langsung di luar. Yang berbeda hanya kepulan embun yang menempel di kaca.
"Aku membangun tempat ini 50 tahun lalu bersama seorang penyihir bernama Vena," ucap Seon, "saat itu situasinya tidak memungkinkan kami untuk pergi ke wilayah yang hancur dan menjemput setiap anak yang kehilangan rumah. Vena yang menyempurnakan sihir pelindung Calmora. Menanamnya pada sebuah pohon beringin raksasa dan akan menuntun setiap anak yang kehilangan rumah untuk pergi kemari."
Aku berusaha mencerna perkataannya. 50 tahun bukan waktu yang singkat. Anehnya pria ini juga tidak terlihat setua itu.