*San POV
Sejak Layla menemui ku di fasilitas itu, aku tahu ada sesuatu yang salah pada ingatanku. Tidak seperti aku sudah melupakannya. Kenangan tentang Layla tidak menjadi samar di benakku. Tidak seperti aku yang masih merasa ini bukan kali pertama berada di Solaris. Tidak ada perasaan dejavu ataupun rasa bersalah. Seakan semua yang dilewati Layla bersamaku enam tahun lalu, aku tidak pernah mengalaminya.
Hal terakhir yang kuingat adalah desa itu. Dengan penduduk yang begitu ramah sampai pada titik tidak wajar. Mereka memperlakukanku yang seorang anak kecil seperti seorang Dewa. Namun ingatan itu tidak tuntas. Hidupku seakan melompat jauh ke masa depan dengan lingkungan baru yang benar-benar asing. Tidak seperti semua tempat yang berakhir buruk setelah aku mulai merasa nyaman, setelah aku mulai berpikir bahwa tempat itu adalah rumahku. Desa itu perlahan memudar dalam ingatanku. Aku tak bisa lagi melihat wajah dan bagaimana bentuk tempat itu dalam benakku. Mustahil untuk pergi ke sana dengan teleportasi. Jika saja ingatan itu tidak terputus, mungkin aku akan kembali ke sana. Mungkin aku juga bisa mengetahui tentang kekuatan ini lebih banyak. Aku ingat mereka selalu membahas tentang takdir. Meski aku tidak benar-benar memahami apa yang mereka katakan.
Hanya satu hal yang membuatku khawatir sekarang. Aku tak ingin Calmora berakhir seperti panti asuhan dan fasilitas penelitian. Aku tak ingin tempat ini juga lenyap seperti itu. Meskipun Calmora memiliki sihir pelindung, serta keberadaan Seon yang aku yakin cukup berpengalaman untuk mengatasi berbagai masalah besar. Tapi, aku tak ingin mengambil risiko.
Mungkin aku memang harus pergi suatu hari nanti. Aku tak boleh menjadikan Calmora sebagai rumah.
Hujan semakin deras di luar. Aku duduk bersandar di tepi ranjang. Menatap bilah pedang yang kuambil dari gudang senjata. Setengah jam sudah berlalu sejak Layla pergi. Selagi derai hujan terus mengisi kekosongan, pikiranku juga berkecamuk. Memikirkan apakah ada cara agar kali ini bisa berakhir berbeda. Aku tahu tempat ini dalam bahaya jika aku terus berada di sini, tapi kemana aku harus pergi? Apa yang harus kulakukan?
"Kenapa kau disini?" Tanya suara seorang wanita yang langsung bergema di kepalaku.
Aku tidak melihat kedatangannya. Dia sudah berdiri di pintu tenda. Menatapku dengan wajah takut. Rambut coklat ikalnya tergerai sepanjang bahu. Kulitnya sedikit gelap. Wajahnya bulat dengan mata berwarna hijau gelap. Dia memakai jaket coklat tipis di atas kaos hijau gelap.
Aku berdiri dengan kaku. Rasanya canggung. Apa Layla salah menunjukkan tenda dan wanita ini adalah pemiliknya. Mungkin aku harus meminta maaf dan langsung pergi.
Tidak. Sebenarnya darimana dia datang? Jika dia datang dari luar, mengapa dia tidak basah?
Mungkin sihir. Itu yang paling masuk akal. Tapi... Mengapa tubuhnya terlihat tembus pandang?
Wanita itu menautkan alisnya, mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Apa yang sebenarnya kau lakukan, Seon?"
Lantas ratusan suara bergema di kepalaku. Saling bertumpuk dan berebut untuk mendominasi. Mereka berteriak. Mereka menangis. Mereka mengutukku. Suara-suara itu menekan kepalaku seperti bongkahan batu besar. Perutku seketika mual dan aku langsung jatuh berlutut. Memuntahkan isi perutku ke alas tenda.
Suara-suara itu mulai mereda. Aku tahu. Aku mengenal mereka. Orang-orang yang telah melebur. Aku yang membunuh mereka. Aku yang telah mengutuk mereka.
"Apa itu tidak cukup?" Kata wanita itu. Suaranya kembali bergema, melenyapkan ribuan suara lain. "Apa semua darah itu masih belum cukup untukmu?"