The Elder: Perang Lima Tahun

Manu de Hart
Chapter #1

Upacara Siwadak Dina

Suara-suara gemuruh para peserta pesta memenuhi seluruh Ruang Singgasana Istana Bumi Isra. Kombinasi warna emas dan putih menghiasi dinding dan langit ruangan, melambangkan kejayaan dan kesempurnaan Kerajaan. Lambang Kerajaan berupa burung elang jambul berwarna emas yang membengangkan sayapnya, bukti keperkasaan Kerajaan di bumi, tergambar jelas di langin-langit ruangan dan di banner-banner yang menggantung pada tiang disetiap sisi ruang itu.

Seri Baginda Maharaja Mahesh Mangkubumi, Raja Isla Raya ke-13 berusia hampir empat puluh, tiba di dalam ruangan dari pintu di sebelah timur. Ditemain isteri satu-satunya, Seri Gusti Prameswari Adwitiya Mangkubumi yang menggendong mesra puteri pertamanya yang baru lahir, Kangjeng Nadya Mangkubumi dalam balutan kain sutera. Putera pertama dan kedua, Raden Putera Hutama Nareswara Mangkubumi dan Raden Putera Natta Mangkubumi yang berusia 26 serta 21 tahun berjalan dibelakang mereka, mengekor kedua orang tua mereka.

Sang Maharaja berperawakan tinggi tegap dalam usia 46 tahun itu memiliki aura bahagia dalam wajah berjambang yang menyambung pada kumis dan janggutnya. Aura terang benerang itu menyinari penjuru ruangan hingga yang memandangnya perlu sebuah kacamata ahli pijat. Tatapan mata yang penuh kelembutan dan kasih sayang ia hanturkan pada sang Permaisuri, kedua puteranya dan puteri pertama yang lahir dua bulan sebelumnya.

Walau ia menggenggam kekuasaan tertinggi negeri dengan Mahkota Keningratan, kasih sayang terhadap permaisuri dan anak-anaknya tetap terpelihara. Mahkota hitam tinggi dengan perhiasan emas yang melingkar dan permata merah didepan membuktikan dirinya sebagai penguasa negeri. Mahkota itu bertemu serasi dengan jas tunik emas kehitaman yang bertabur perhiasan emas berupa kalung, pin melati di dada kiri, dan perhiasan lengan di kedua tangan.

Wajah penuh kasih sayang tidak lepas dari Permaisuri Adwitiya. Ratu keturunan Abimanyu berparas cantik dengan usia 41 tahun; atau lima tahun lebih muda dari Maharaja, berkebaya emas dan berselendang sutra, terkenal akan kelembutan hatinya. Kelembutan hati serta parasnya membuat Maharaja yang terkenal keengganannya menikahi puteri bangsawan manapun luluh hatinya. Ia juga menularkan hal itu pada R.P.H. Nareswara dan R. Natta sejak kecil.

Akibat didikan sang Permaisuri, R.P.H. Nareswara; walaupun terdidik dalam Angkatan Perang Kerajaan, dan beberapa kali menghadapi beberapa riak kecil Kerajaan, dikenal sebagai prajurit pengasih. Persoalan selalu dia hadapkan dengan ketenangan dan dialog hingga tercipta kesepakatan dan perdamaian. Namun tetap saja, bila harus bersikap keras, maka Jiwa Elang pemilik tunik putih dengan pin melati dan perhiasan lengan berwarna emas yang tertidur akan bangkit kembali.

Sementara adiknya, R.P. Natta menjadi seorang cendikia yang disegani karena kedermawanannya kepada rakyat biasa untuk berbagi ilmu yang dimiliki. Tubuhnya tinggi ramping bila dibandingkan dengan Kakandanya. Memakai kacamata berbentuk kotak dengan kumis lele diantara hidung dan mulut serta berambut hitam yang tersisir membentuk garis-garis kebelakang tanpa poni. Wajah nya mengikuti wajah keluarga yang kuning langsat; yang dirawat sangat baik.

Diujung jalan dekat Singgasana, terdapat seorang pandit berkepala plontos mengenakan jubah coklat berselendang yang dipakai menutupi tubuh sedangnya keseluruhan. Pakaian itu walau terlihat jauh sangat rapih, tapi bila didekati tampak lusuh dibeberapa tempat. Seseorang tampak berusah sangat keras merapikan seluruh sudutnya dalam waktu singkat demi tampilnya sang Pandit di Istana.

Dihadapan pandit itu, terdapat sebuah guci tanah tertutup berisikan air melati. Walau tanpa melihatpun, orang-orang dengan hidung yang baik akan tahu itu dari wangi yang menyerbak ke seluruh ruangan walau sedang keadaan tertutup. Selain itu, terdapat pula altar ceper dengan cawang sebagai bentuknya.

"Semoga Dewi Doma selalu melindungi dan mengkaruniai cahaya harapan kepada anda," salam sang Pandit yang dibalas dengan tundukkan kepala Maharaja dan keluarga; sesuau yang tidak mungkin terjadi kecuali pada Tetua Kuil Hasha, Biksu Yuhendra Bhadrashree.

Lihat selengkapnya