The Elder: Perang Lima Tahun

Manu de Hart
Chapter #2

Tahun Ketiga Perang

'Maharaja telah mati!'

'Baginda Maharaja ditembak pelayan istana!'

'Penembak dipenjara!'

'Pelayan penembak mati bunuh diri!'

'Pelayan terafiliasi kelompok pengacau bersenjata, kata intelejen!''

'Tegas, Kerajaan menetapkan kelompok ini jadi teroris!'

'Mereka yang terindikasi FRR ditangkap dan diinterograsi!'

'FRR melawan, serangan serentak seluruh negeri!'

'Maharaja Nareswara menyatakan darurat militer diseluruh negeri!'

'GENDERANG PERANG KERAJAAN DAN FRONT REVOLUSI RAKYAT DITABUHKAN!'

Begitulah koran-koran lama dan bekas persis tiga tahun lalu beralur maju beruntun. Mereka bertumpuk tak karuan di pojok ruangan kamar tidur yang bersih, rapih, dan besar. Sangat berbeda kontras bagi mata yang memperhatikan ruang itu sampai sepojok-pojoknya. Saking terpojoknya koran-koran itu, cahaya mentari yang baru bangun tidak menyentuh mereka.

Semenjak ditetapkannya darurat militer, tidak ada koran-koran swasta apalagi yang dekat dengan teroris yang boleh terbit. Hanya koran-koran dan berita radio maupun televisi milik Kerajaan; baik yang dikuasai modal atau kantornya, yang bisa terbit atau mengudara. Pemblokiran internet dan segala bentuk VPN tak luput dari perhatian.

Hati para penduduk pun dibuat tidak nyaman. Kerajaan kepulauan di khatulistiwa yang pada awalnya tenang dan damai, kini dipenuhi ketidakpastian dan ketakutan. Setiap saat ada saja peluru maupun bom yang meledak, yang mengganggu kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya, Kerajaan ingin segera menumpas teroris Front Revolusi Rakyat atau disebut FRR dan telur-telur secepatnya.

Maharaja terbangun lebih dahulu dari keluarganya yang lain. Bangkit dari tempat tidur, ia mencium mesra di dahi dan perut membuncit permaisuri cantik jelita yang sedang hamil tua atas kemungkinan putri pertamanya. Rasa sayang pada permaisuri beserta calon putrinya itu mengendurkan sejenak otot wajah kakunya yang tidak bisa tersenyum sejak peristiwa penembakan itu.

Kecupan ketiga ia berikan kepada anak pertamanya, seorang putranya berusia 10 tahun yang sangat tampan dengan rambut hitam yang dibiarkan lebat menutup dahi dan tungkuknya. Kepada putranya itu ia berikan kecupan panjang di dahi yang ia buka sebagaimana ia ingin rasa sayangnya itu langsung menyentuh kulit sang putra. Tak lupa pula kedua pipi laki-laki muda itu ditanamkan pula ciuman rasa cinta dari seorang ayah.

Hatinya timbul rasa senang sejenak melakukan rutinitas itu. Rutinitas setiap hari yang melupakan, yang membebaskan pikiran nya dari kenyataan dan segala beban pertempuran, Lalu Maharaja Nareswara mengambil mahkota hitam berhiasan emas dan dari sana Maharaja bergerak membuka jendela, membiarkan cahaya dan angin pagi masuk ke kamar tidur utama di Balauring Tungga.

Ia sempat melihat tumpukkan koran-koran bekas itu kemudian menyengir kepada mereka. Mengingat-ingat peristiwa penembakan, awal peperangan dan bagaimana jalannya peramg selama tiga tahun ini telah menguras tenaga dan kekayaan Kerajaan yang akhirnya hanya digunakan untuk membiayai perang dan membeli peluru. Pandangannya kini teralihkan pada sebuah jam dinding emas yang menunjuk angka lima, saatnya ia mendengarkan kabar gembira yang akan dibawakan Senapati Edi Jayant, Panglima Angkatan Perang Kerajaan.

Setelah melepas piama sutra nya dan menggantinya dengan seragam militer hitam, Maharaja bergelar Seri Baginda Maharaja Nareswara Mangkubumi itu berjalan menuju pintu ruangan. Baju itu ialah baju yang sama yang Ayahandanya kenakan; jubah sutera berwarna merah dengan jas tunik emas kehitaman yang bertabur perhiasan emas berupa kalung, pin melati di dada kiri.

Mungkin bagi mereka ialah suatu keanehan Maharaja mengenakan pakaian Kerajaannya sendiri tanpa pelayan, namun itu hal yang dibiasakan Maharaja Nareswara. Maharaja memerintahkan pelayan yang berbeda ruangan, yang ingin ditemuinya harus diperiksa seluruh tubuh mereka. Meski hal itu termasuk menelanjangi pelayan.

Alasan sederhana: Pembunuh ayahandanya adalah pelayan. Silly, right?

Akhirnya pintu ruangan dibuka. Dibalik pintu, dirinya telah ditunggu oleh seorang pelayan istana.

1. Pelayan perempuan

2. Muda dan cantik

3. Dan telah mengabdi sejak perang remaja saat perang baru berkecambuk.

Pelayan perempuan muda itu berdiri dengan wajah setengah malu. Maklum saja, ia baru selesai memakai pakaiannya kembali setelah diperiksa oleh Prajurit Penjaga Maharaja, Papera.

"Selamat pagi, Yang Mulia Seri Baginda Maharaja. Senapati Edi telah menunggu di Kompleks Madya Utara sebagaimana perintah Yang Mulia," ucap pelayan yang masih muda.

Maharaja berjalan saja ke pusat bangunan satu lantai itu, lalu akan berpindah arah menuju utara, tempat yang dimaksud pelayan yang ia acuhkan salam pagi. Kemudian dengan acuh kembali ia bertanya tentang kesiapan makan pagi kepada pelayan itu.

"Sebagaimana perintah Yang Mulia, sarapan akan tersedia pukul enam saat semua sudah terjaga," jawab saja pelayan itu dengan nada sangat rendah

"Bagaimana dengan ibunda dan Nadya?"

Lihat selengkapnya