The Elder: Perang Lima Tahun

Manu de Hart
Chapter #3

Merespon Gerakan Militer

"Nyoto, musuh dari Bandarnegara bergerak sangat cepat! Kita harus segera mundur dari kota in!" seorang pejuang dengan senjaga perang dunia II nya berteriak diantara rumah-rumah bata yang melindunginya.

Suyoto yang mengamini apa yang dimaksud kawan seperjuangannya itu berpikir untuk mengambil keputusan cepat. Ia melirik ke kawan-kawan para pejuang yang ketakutan dan mengintip musuh yang terus menembak sembari mempertahankan diri mereka dengan kendaraan baja. Kemudian terpikir olehnya.

"Bagas!" teriak Suyoto pada kawan bertubuh kekar dengan wajah kaku yang tertutup debu peperangan selama delapan tahun, "Tahan mereka lebih lama. Biarkan pejuang lainnya mundur!"

Perkataan Suyoto segera disetujui Bagas. Kepada para pejuang yang terus bersamanya selama pertempuran-pertempuran di wilayah bangsawan Keluarga Chand, ia hanya meminta dua orang diantara ditambah tiga orang dari Suyoto; sesama komandan namun lima tahun lebih muda daripadanya, untuk menemani memperlambat gerak musuh.

Suyoto sendiri akan menuntun para pejuang untuk mundur menuju markas berupa pondok sederhana ditengah hutan. Rencana pun dimulai. Bagas dengan tim penghambat menggunakan senjata bazooka dan bom-bom lempar sebagai pendamping AK47 mereka. Sementara Suyoto yang memimpin gerakan musuh, hanya menenteng senjata Soviet itu sebagai perlindungan diri maupun membuka jalan.

Sekilas rencana itu baik. Pertempuran dihari terik panas yang menyengat serta debu-debu semen dan bata bangunan yang bertebaran akibat senjata kedua pihak; yang bercampur dengan debu jalanan, akan mereka sudahi. Walau pasti pasukan Kerajaan akan mengejar sampai jarak tertentu, tapi mereka pasti akan selamat.

Atau begitulah pemikiran mereka sampai sesuatu muncul dari balik kendaraan baja pengangkut prajurit.

Dibalik nya, muncul sebuah kendaraan baja jenis lainnya. Kendaraan perang baja besar, dengan rantai yang melindungi roda tanpa ban, mengarahkan moncongnya pada kelompok Bagas maupun Suyoto yang masih belum kabur sepenuhnya dari kota. Bagas melihat kendaraan itu dengan mata membelalak dan mulut menganga.

Dengan cepat ia segera berpaling dari musuh dihadapannya dan kini menghadap hutan dibelakang.

"TANK! BERLINDUNG!" teriaknya dan kemudian terikut suara tembakan keras dari dalam kota.

Tank itu menembak.

Moncongnya yang dihadapkan pada tempat Bagas dan kelompoknya bersembunyi, membuat tempat itu hancur dan menerbangkan anggota kelompoknya. Suyoto dan para pejuang yang berusaha kabur juga terkena dampak tembakan. Peluru yang setelah ia menembus tembok rumah dan menghancurkannya, menimbulkan ledakan besar hingga melukai mereka.

Ditengah usaha Suyoto untuk bangkit, ia melihat sekeliling, mencari seluruh pasukannya; para pejuang yang bertempur bersama. Betapa terkejutnya Suyoto, bahwa kawan seperjuangannya yang masih bangkit bernafas hanya sebagian kecil dari mereka. Banyaknya para pejuang tergeletak tak bernyawa menjadi mayoritas di pemandangan itu.

Hanya mereka yang cukup jauh dari pusat ledakan, yang mampu bangkit kembali dan berjalan tertatih meninggalkan lokasi. Mereka yang bangkit itu tidak mempedulikan kawan-kawan seperjuangan yang gugur termasuk mereka yang bergabung dengan Bagas untuk menahan prajurit Kerajaan.

Suyoto terpaku melihatnya. Para pejuang yang berlindung dibalik tembok luar rumah, yang ditembakkan kepada mereka peluru besar milik mobil baja beroda rantai, mati dengan tubuh yang terpisah.

Ada yang kehilangan kaki kanan atau kiri.

Ada yang kehilangan tangan kanan atau kiri.

Dan ada yang kehilangan kedua kaki.

Dan Bagas, dirinya kehilangan kepalanya.

Mereka tewas di tempat dan tak ada yang dapat Suyoto lakukan terhadapnya.

Akhirnya Suyoto berdiri. Ia dan segenap tenaga sisanya, Suyoto berlari masuk hutan. Kaki-kakinya yang masih utuh menyambung, berlari sekuat tenaga hingga tiada yang bisa menahannya. Semakin lama semakin gelaplah penglihatan matanya. Tiada pantulan cahaya matahari dari benda-benda disekitarnya yang bisa matanya itu tangkap.

Hanya dengan keyakinan saja akan kebenaran jalan dan arah yang ia tuju, Suyoto terus berlari meskipun kakinya terkadang tersandung. Tetapi keyakinan akan kebenaran jalan yang ia tempuh terkikis sedikit demi sedikit saat sandungan di kakinya bertambah banyak.

Ia yang semula mengabaikan sandungan itu, kini mulai muncul perhatian akan apa yang mengganggu larinya. Masih posisi terus berlari, perlahan-lahan ia tatap jalan yang ia tempuh walau tiada cahaya matahari yang menyinari. Walau begitu, atas kekuatan adaptasinya, perlahan indera penglihatnya mampu melihat samar-samar benda yang menghalanginya.

Dalam tangkapan mata, sandungan dalam hutan itu terlihat bagai akar hutan yang berbagai ukuran. Panjang - pendek dan langsing - gemuk besar dirasakannya. Tetapi perasaan janggal akan akar hutan itu semakin bertambah seiring bertambah banyaknya akan yang menghalangi hingga salah satu akar pohon itu terinjak.

Bagaimana imajinasi akan pengalaman para pendaki baik ulung maupun amatir akan rasa akar pepohonan yang muncul? Keras dan kokoh akar untuk mencari rezeki serta sedikit basah akan embun hujan. Tapi yang dirasakan oleh Suyoto sangatlah berbeda.

Akar itu terasa lembek dan kenyal bila terinjak dan kering pada kaki yang menginjak namun basah pada kaki satunya. Keanehan akar itu semakin banyak terasa saat semakin banyak ia menginjaknya sampai ia tersungkur ke tanah.

Seluruh tubuhnya jatuh tengkurap hingga wajahnya mencium tanah. Bau harum tanah menyimuti hidungnya saat dirinya terjatuh lama kelamaan berganti bau menjadi bau amis yang menusuk. Lebih dari itu telapak tangan kiri Suyoto yang meraba tanah, menemukan sebuah serat yang basah akan minyak.

Serat itu pendek dan lebat hingga mudah ia genggam. Ia genggam dan ia seret seratnya mendekat, merasakan beratnya benda serat yang tertancap. Rasa penasaran akan serat itu dan tidak kuat akan bau amis, ia tegakkan kepalanya ke depan. Seketika matanya membelalak membesar; tersentak dengan apa yang tertangkap disana.

Sinar matahari yang hilang awalnya, muncul terang benerang memperlihatkan tubuh-tubuh yang tergeletak berbalut seragam hijau tipis dan pakaian sehari-hari berlumuran darah. Akar-akar yang menghalangi, yang membuatnya terjatuh, ialah bagian tubuh sahabat seperjuangannya. Ada yang tersambung dan ada yang teramputasi dari tubuhnya.

Lihat selengkapnya