"Angkatan Perang menang! Angkatan Perang menang! Kota Gemar berhasil dikuasai kembali Kerajaan!" teriak pemuda penjual koran Kabar Negeri itu menarik perhatian khalayahk ramai.
Pemuda penjual itu meneriakkan kabar terbaru dari cetakan sore Kabar Negeri yang mengabari bagaimana Angkatan Perang Kerajaan berhasil memenangkan pertempuran di kota Gemar, kota terbesar di Jayakerto. Orang-orang yang tertarik untuk membeli, memperhatikan berita itu dengan senyum sumringah.
Hati dan raga mereka merasakan kebahagiaan dan kesenangan tak terkira. Setelah bayang-bayang akan teror FRR dari Jayakerto kepada mereka, wilayah yang hampir mereka kuasai seluruhnya, kini menghilang.
Angkatan Perang Kerajaan, bersama para sukarelawan yang bertempur habis-habisan, berhasil memukul mundur FRR menuju perbatasan Giri Rangkep. Koran Kabar Negeri itu mengabarkan bahwa prajurit dan sukarelawan pemberani tengah membangun tembok pertahanan terhadap FRR serta memburu mereka beserta telur-telur yang masih bersembunyi disekitar kota Gemar.
Selain itu diakhir cerita rubik utama, Istana Bumi Isra akan mengadakan perayaan kemenangan di Alun-Alun Utara Istana. Raja, Seri Baginda Maharaja Nareswara Mangkubumi sendiri yang akan memberikan ucapan selamat kepada Angkatan Perang sebagai wakil dari prajurit-prajurit pemberani itu.
Penduduk Isla Raya, terkhusus ibukota Bandarnegara segera menetapkan diri akan ikut dalam perayaan yang sudah pasti meriah dan mewah yang akan dimulai esok hari, sehari setelah Jayakerto berhasil dikuasai seutuhnya.
Laki-laki muda berkacamata itu sungguh senang melihatnya. Namun, satu hal yang membuatnya risau. Penduduk yang bersorak kegirangan itu tidak tahu harga yang dibayarkan penduduk Kota Utama Gemar atas kemenangan Kerajaan.
***
Kelusaan hari, saat panas mentari sesungguhnya belum sampai utuh, penduduk Isla Raya telah di Alun-Alun Utara. Tetapi, pagi pukul delapan disana begitu sesak akibat pertempuran manusia yang saling berebut oksigen meski pepohonan banyak disana. Di waktu itu pula, sebuah panggung besar telah terbangun di Alun-Alun Utara.
Panggung besar nan megah, yang terbuat dari kayu jati itu terhiasi ornamen Maharaja dan Kerajaan. Banner-banner Elang Jambul berada disisi kanan dan kiri dan rumput alun-alun ditutupi alas agar terjaga dari injekkan manusia. Disana, para penduduk yang hadir membawa sebuah selebaran berita yang isinya sama, memberitakan kemenangan Kerajaan dan Angkatan Perang di Jayakerto.
"HIDUP YANG MULIA BAGINDA NARESWARA!"
"HIDUP ANGKATAN PERANG!"
"HIDUP SELURUH PRAJURIT!"
"DEWI MELINDUNGI!"
Sorak sorai penduduk yang hadir. Sementara Maharaja, Seri Baginda Maharaja Nareswara Mangkubumi dan Putera Mahkota, Raden Putera Hutama Natta Mangkubumi yang berjalan menyelusuri lorong Balairung Tungga menghadapi dengan tenang. Mereka berjalan beriringan dengan menggenakam pakaian resmi, tunik emas kehitaman dan tunik putih.
Mereka berjalan memenuhi undangan perayaan yang mereka buat sendiri dengan wajah datar dan hati senang.
Penyebab mereka senang? Tentu kemenangan Kerajaan atas Kota Bawera bukan hal utama, tetapi karena sudah melalui aktivitas pagi yang mereka sukai:
Mencuim sayang Prameswari Nina dan putra pertamanya, Raden Osborn yang terbangun teriakan suka cita untuk Yang Mulia Maharaja hingga mata-mata hitam mengkilau mereka dapat diperlihatkan kepada mereka.
Sedang untuk Putera Mahkota menemani ibunda dan gadis muda, Ibu Suri Adwitiya dan Kangjeng Nadya yang cantik dan manis wajahnya serta hitam panjang menyentuh punggung milik mereka berdua, menikmati taman bunga melati sangat kucup baginya untuk tersenyum.
Sedangkan penyebab kakak-beradik itu bahagia ialah masing-masing keempat orang yang mereka sayangi tersenyum lebih lebar dari biasanya. Senyuman-senyuman lebar itu memiliki penyebab masing-masing. Ada yang ia melihat cahaya harapan akan keluarganya yang aman dari mara bahaya, ada yang kagum akan prajurit-prajurit dan sukarelawan pemberani, dan dua orang tersenyum melihat orang lain tersenyum.
Senyuman dari hati akan jatuh ke hati.
Bisa dibilang, kemenangan atas Kota Bawera membuat Maharja dan Putera Mahkota bahagia secara tak langsung.
"Kemungkinan hari ini kacau: mendekati nol"
Begitulah kira-kira pemikiran mereka.
Namun tentu ada Ying ada Yang. Bila seseorang mengalami kebaikan, pasti akan muncul keburukan sesudahnya. Walau begitu, sebagai bangsa Isla yang menyembah Dewi Doma, sang cahaya harapan mereka mengharapkan akan terus muncul cahaya-cahaya kebaikan dimasa depan.
Disaat berjalan sampai di gerbang pembatas dua kompleks, seorang Papera berjalan dengan cepat menuju kedua kakak-beradik penguasa negeri. Setelah bersujud sembah memohon ampun atas ketidaksopanannya, Maharaja yang sulit dibuat senang itu, kembali mendatarkan hatinya, memberi izin prajurit itu berdiri kembali. Ia diizinkan menyampaikan kabar darurat yang dibawanya, yang sudah mulai ia kira-kira.
"Senapati Angkatan Perang Kerajaan, Senapati Edi Jayant datang membawa kabar mendesak. Beliau telah menunggu di Ruang Tamu Balairung Asha," pesan singkat prajurit Papera tersampaikan. Dan itu tentu memastikan kebahagiaan hati Baginda Maharaja sirna. Termasuk kebahagiaan di hati Putera Mahkota yang berganti kewas-wasan
Dan dengan langkah berat, mereka menuju Ruang Tamu Balairung Asha, yang dekat dengan Ruang Singgasana, untuk mendengar kabar mendesak dari sang Senapati. Mereka berdua akhirnya sampai di Ruang Tamu Balairung Abdi. Mereka disamput dengan tunduk sembah sang Senapati.
"Semoga Dewi Doma selalu melindungi dan mengkaruniai cahaya harapan kepada anda, Yang Mulia," salam Senapati bertubuh 'kurus' itu masih mengenakan pakaian militer hitamnya.
"Semoga Dewi Doma selalu melindungi dan mengkaruniai cahaya harapan kepada anda juga, Senapati Edi" balas sang Maharaja dan Putera Mahkota pada Senapati dengan volume yang berbeda.
"Bangkitlah Senapati," ucap Maharaja maka bangkitlah Senapati dari posisi menunduknya itu.