Suyoto tiba diatas podium, menghadap microphone disana. Matanya memandang sekitar, melihat satu persatu mereka yang akan berjuang bersama mereka. Para pejuang dan sahabat yang memiliki misi penting untuk FRR dan ideologi kebebasan yang mereka usung.
"Pejuang dan sahabat-sahabat revolusi sekalian, saya tidak akan terlalu lama di podium ini. Namun begitu, dengarkanlah pesan revolusi yang dari hatiku yang paling dalam," Nyoto memulai pidatonya dengan suara yang memaksa setiap mata disana, menatapnya, "tiga hari yang lalu merupakan hari yang kelam bagi revolusi. Langkah revolusi kita di Jayakerto menemui lampu merah ditengah perjalanannya,"
"Tiga hari lalu, benteng kita di Kota Gemar tertembus dan hancur oleh serangan brutal militer sang Tiran. Pejuang-pejuang revolusi, bersama para sahabat yang menemani, sampai detik ini masih diburu dan dibunuh bagai binatang sebagaimana yang sahabat-sahabat lihat dan rasakan selama kita berjuang di Wilayah Lumbung Pangan ini!
"Mereka sejak awal kita berjuang, selalu menuduh kita dengan sebutan-sebutan yang merendahkan. Pengacau, biadab, bahkan ada yang menyebut kita teroris! Padahal kita, rakyat Isla yang teraniaya, hanya menginginkan kebahagiaan yang sama, kebahagiaan yang setara, dan kebahagiaan yang satu rasa dengan para bangsawan yang menginjak-injak kita!" pidato yang menggebu-gebunya terhenti. Ia kembali memandang para pejuang dan para sahabat yang memasang wajah menahan derita.
"Kita semua merasakan bagaimana kemiskinan di Giri Rangkep, tempat emas terkubur dibumi yang sama. Kita semua merasakan bagaimana hidup miskin meski Bengawan memiliki emas hitam tertanam di lautnya. Bahkan disini, sebagai pusat dari segala kemewahan makanan yang tersaji di Ibukota, kita sulit untuk mendapat makan satu kali sehari!"
"Sementara kekayaan emas, kekayaan minyak, dan kekayaan makanan hanya tersaji dan tersedia untuk mereka yang berkedudukan, mereka yang lahir dari keluarga darah biru, dan yang secara rakus menguasai seluruh harta dan tanah dipenjuru negeri walau semuanya mereka dapatkan dengan menganiaya kita!" semangat para pejuang dan sahabat semakin terpompa menuju puncak, menuju langit bercahaya.
"Hari ini kita, para pejuang dan para sahabat revoluai akan kembali mengobarkan perlawanan kepada mereka yang menginjak-injak rakyat yang telah teraniaya. Kepada militer, kepada bangsawan, dan kepada Tiran akan kita tunjukkan kekuatan tekat kita dalam Kampanye Pembebasan Kota Bawera demi Revolusi Negeri!" tangan Nyoto mengenggam keras ke udara
Dengan semakin memuncak semangat dalam jiwanya, sampai-sampai microphone dihadapannya itu terabaikan. Suaranya yang menggelegar menyatakan langsung bahwa, saat ini pengeras suara itu tidak diperlukan. Sebab kerasnya suara Nyoto, lebih keras dari suara microphone itu.
"HIDUP REVOLUSI!"
"HIDUP REVOLUSI!"
"HIDUP REVOLUSI!"
Serunya kepada mereka yang berdiri di tanah lapang berkeliling hutan itu. Suaranya begitu besar hingga menggema dan menggetarkan hati di penjuru mata angin. Tak terkecuali para prajurir dan sahabat yang mendengar disana.
Rencana Pembebasan Kota Bawera dimulai hari ini
***
"Ledakan bom terjadi di pusat ibukota Bandarnegara. Sebuah rumah penduduk yang dekat dengan Istana Bumi Isra menjadi sasarannya. Pelaku teroris yang bernama Handayani, telah ditembak mati oleh anggota Penjaga Keamanan Ibukota," suara seorang pengabar berita perempuan terdengar dari kotak bergambar.
Kotak itu menampilkan Peka tengah berjaga diluar garis pengaman kuning yang membatasi sebuah rumah tinggi yang luluh lantah sepenuhnya dan rumah tetangganya yang rusak dindingnya.
"Wartawan Negeri TV mewartakan di lokasi ledakan bahwa korban meninggal dari serangan ini berjumah tujuh orang dari orang dewasa dan anak-anak. Seluruh korban luka berjumlah 50 orang, termasuk pejalan kaki yang terkena ledakan, telah dibawa ke Rumah Rawat Prameswari Athalia untuk disembuhkan,
"Tindakan teror ini adalah sal-,"
Kata-kata perempuan terhenti ditengah jalan. Kotak televisi yang tadinya berwarna, kini menjadi hitam dan berisi pantulan laki-laki yang duduk menatap. Disana Suyoto masih mematung di depan layar televisi. Tidak bergerak dari sana untuk beberapa saat.
Hatinya yang biasa diisi ketenangan, kini dipenuhi rasa kesal bercampur dengan penyesalan akan apa yang ia lihat di layar televisi itu. Ia tidak menyangka pengalih perhatiannya harus menyebabkan tujuh jiwa rakyat biasa harus hilang begitu saja. Sewaktu duduk bersama merencanakan pengalihan dengan Bagas, dia tak menyangka harus disertai api ledakan disana.
Sungguh, tujuan utamanya hanyalah membuat kepanikan pada militer kerajaan dengan memotong kepala ular dihadapan mereka. Bila tidak bisa, setidaknya Tiran itu harus terbaring koma selama Rencana Pembebasan Bawera selesai. Namun, sekarang sudah pasti rencana peledakan itu hanya akan meruncingkan sisi dalam pedangnya; menambah pembenaran penumpasan pejuang kepada rakyat.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dia hanya bisa memegang pidatonya tadi pagi kepada para pejuang dengan raut wajah kesal.
Pemimpin Utama FRR itu bangkit berdiri. Ia keluar dari ruang pribadinya di dalam ruang koordinasi yang merupakan hasil modifikasi rumah sahabat revolusi. Sembari menuju ruang koordinasi, ia remas kertas yang membuatnya duduk mendengarkan berita di televisi itu dan membuangnya ke kumpulan sampah.
Suyoto tiba meja komando. Disana Bagas dan pejuang lainnya memperhatikan peta besar disana. Peta itu, yang diisi oleh orang-orangan monopoli merah dan biru, terlihat tertata pada ujung utara, ujung selatan, dan tengah.
Bagas, koordinator komando lapangan yang juga Pemimpin Pembebasan Lemaharjo memanggil. Laki-laki berusia 42 tahun berubuh kekar yang dilapisi pakaian mirip militer dan berwajah kaku coklat kegelapan melirik, melihat Suyoto yang menghampiri. Para pejuang lainnya mengikuti lirikan Bagas dan memberi jalan Suyoto agar Bagas berada disisinya. Namun nampaknya para pejuang disana enggan menatap langsung pada Suyoto yang datang.
"Bagaimana situasinya?" tanya Suyoto pada Bagas.
"Situasi lancar. Total 3000 pejuang dan sahabat di Ngading dan Gedhebong bergerak lancar. Memang terdapat perlawanan dari militer, namun hal itu dapat diatasi hingga mereka hampir menguasai pusat residen masing-masing sementara pejuang dari Bengawan dan dari Danau Gedhe masih mendapat perlawanan sengit," Bagas menjeda, ia perhatikan sang Pemimpin Utama dengan lirikan seksama. Ia amati Suyoto dalam-dalam dari raut wajah hingga sikap tubuhnya.