Suasana siang di Istana Bumi Isra sangatlah menenangkan. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Dengan kehadiran angin semilir, suasana yang cocok untuk bersantai oleh siapa saja termasuk keluarga Kerajaan. Duduk di Taman 7 Rupa sebelah timur Balairung Tungga, Prameswari dan Ibu Suri bermain bersama dengan Raden Osborn dan Kangjeng Nadya yang berusia 10 dan 3 tahun. Sementara Maharaja dan Putera Mahkota memandangnya sembari menikmati teh hangat dan kacang kulit yang tersedia diatas meja.
Mereka semua bermain masih menggenakan pakaian Kerajaan mereka, tunik dan kebaya dengan warna yang berpasangan. Tunik dan kebaya emas kehitaman untuk Maharaja dan Prameswari, putih untuk Ibu Suri dan Putera Mahkota, dan biru untuk Raden Osborn dan Kangjeng Nadya. Dengan pakaian itu, permainan yang mereka lakukan ialah permainan ringan, yaitu congklak.
Bermain dengan membentuk tim dewasa dan muda, mereka duduk bercanda ria di depan sebuah patung Elang Jambul dari tanaman yang dibentuk dengan topiari. Walau pada awalnya mereka bermain demi melepas penat sang Raden yang sedari pagi tadi belajar di Ruang Ajar Balairung Tungga, kini mereka terbawa suasana dan tidak mau berhenti. Memang mereka memiliki beban masing-masing yang mesti dikeluarkan
Raden Osborn dengan kewajiban belajar ilmu bahasa dan sastra yang menjadi bahan ajar hari itu cukup intens. Prameswari dan Ibu Suri yang bermain demi menjaga kesehatan kandungan anak pertama Maharaja. Dan Kangjeng Nadya yang hanya ingin bermain.
Yah, puteri pertama Ibu Suri itu baru berusia 3 tahun, what do you expect?
Ditemani angin semilir, keluarga tiga generasi itu bermain dengan penuh canda tawa. Maharaja yang melihatnya, berusaha menghiasi wajah kakunya dengan senyuman dari hati. Sungguh pemandangan sempurna yang tidak bisa penguasa dapatkan selalu selama perang melawan teroris berlanjut. Ia berharap ketenangan dan kebahagiaan ini bertahan tidak hanya satu pekan, tetapi selamanya.
"Terima kasih sudah mengusulkan hal ini, Natta," kata-kata terima kasih terucap dengan tulus dari hati Maharaja Nareswara kepada adiknya, memecah kesunyian diantara mereka berdua secara tiba-tiba. Mungkin karena terbawa suasana santai hingga ucapan terima kasih mengalir begitu saja keluar.
Putera Mahkota itu menolehkan kepalanya. Sempat terkejut dirinya menerima ucapan terima kasih dari Maharaja, lalu kemudian menunduk hormat kemudian berkata, "tidak Kakanda. Usulan yang saya berikan ini hanya untuk refleksi bagi Raden Osborn sebab dirinya terlihat bosan akan pembelajarannya. Terlebih hari ini saat yang tepat untuk duduk bersantai menikmati hari jadi mengapa tidak sekalian saja semua berkumpul,"
Maharaja diam saja. Dia tidak merespon sama sekali perkataan penerus tahta bila Raja itu tak mampu memimpin negeri lagi. Maharaja kemudian memutuskan untuk hanya terus bersantai menikmati suasana saat ini. Beliau mengambil sebiji kacang kulit, kemudian memakan isinya. Membuat gigi-gerigi bekerja. Bersantailah selagi bisa.
R.P.H. Natta kemudian bertanya kepada Kakandanya sebelum kesempatan bincang-bincang mereka berakhir, “Bagaimana kalau Kakanda ikut bermain bersala Raden Osborn dan Prameswari? Hitung-hitung sedikit meringankan beban Kakanda akibat situasi belakangan,”
Walau saat ini sedang bersantai, R.P.H. Natta tidak ingin percakapan yang dimulai Kakandanya itu berhenti begitu saja. Namun, ucapan Putera Mahkota itu disambut tatapan curiga sang Maharaja.
Maharaja melirik dari sudut mata, beliau melihat R.P.H. Natta dengan maksud menyelidiki adiknya. Sebagai laki-laki yang sudah makan asam garam sejak dalam Angkatan Perang, mengatakan kata-kata R.P.H. Natta mengandung maksud dan tujuan tersembunyi. Dan sang Putera Mahkota paham akan hal itu.
Mahraja memutuskan untuk mengikuti sementara arus yang dibawa R.P.H. Natta dengan menjawab, “Aku tidak mau mengganggu waktu bermain bersama yang mereka jarang dapatkan. Biarlah mereka menikmati hari ini,”
R.P.H. Natta mengangguk. Dirinya dipenuhi kesenangan sebab Kakandanya itu merespon pertanyaan yang dia ajukan walau mengundang kecurigaaan. Tetapi, karena pembicaraan mereka terus tersambung, maka itu sudah cukup. Tujuan mengadakan acara bersantai bersama ini masih sanggup dia capai.
“Benar sekali Kakanda. Saya juga ingin membiarkan ibunda, Prameswari, Raden Osborn, dan Nadya menikmati waktu-waktu menyenangkan yang jarang mereka dapatkan selama setahun belakang. Ku harap juga kita semua menikmati hari ini selamanya, dimanapun kita berada di penjuru negeri,”
“Aku juga berharap sepertimu, Natta. Ku ingin semoga kekacauan ini cepat berakhir dan tercipta kembali bumi yang penuh harapan,”
“Benar Kakanda, aku juga ingin negeri ini menjadi negeri harapan bagi seluruh penduduknya. Tidak hanya untuk kita, tapi bahkan juga untuk penduduk-penduduk yang kurang beruntung. Sebagaimana Dewi Doma menciptakan,”
Maharaja memasang senyum diwajahnya sembari menatap kepada adiknya disana sembari berkata, “Lalu menurutmu Natta, apakah kita meski buat perayaan di penjuru negeri? Perayaan untuk penduduk negeri sekaligus sebagai wujud terima kasih kepada sang Dewi?”
Sang Putera Mahkota membalas senyum kakandanya, lalu menjawab, “saya rasa ketenangan seperti ini sudah cukup Kakanda. Akan sangat baik bila penduduk seluruh negeri menikmati kedamaian sebagaimana hari ini,”
'Oh' kata Maharaja dalam hatinya. Perkataan Putera Mahkota, kini ditangkap dengan jelas oleh dirinya. Penguasa Isla Raya itu kini paham maksud dan tujuan mereka bermain dan bersantai hari ini.
“Hahaha,” tawa pendek Maharaja, “tentu kedamaian kepada penduduk seluruh negeri akan sangat baik untuk kita berikan. Sang Dewi pun juga akan senang bila kedamaian hadir kembali disini,”
Tawa Maharaja itu, R.P.H. Natta menangkap sebagai peringatan waspada. Dia harus berhati-hati berkata mulai saat ini.
“Benar Kakanda, Dewi Doma saya yakin akan terus memberikan berkah cahaya harapan bila kita mampu menjaga kedamaian ini,”
Mata Maharaja menutup senang dan senyum dibibirnya semakin mengambang lebar. Beliau mengiyakan perkataan Putera Mahkota itu,
“Baiklah Natta. Mari kita segera kembalikan kedamaian yang dihancurkan iblis-iblis itu dan menghadiahkannya ke penjuru negeri dan kehadapan sang Dewi. Semakin cepat mereka musnah, semakin cepat kedamaian dahulu kembali,”