Hari ini, sepuluh tahun sudah berlalu sejak percakapan itu terjadi antara Xena dan Adis—dua orang gadis SMA yang telah bersahabat sejak masuk sekolah menengah pertama. Seminggu setelah Revan—laki-laki yang selama lima tahun adalah laki-laki nomor satu bagi Xena—itu memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Xena, Xena menyadari bahwa ia benar-benar serius terhadap ucapannya. He’s never showed up since that day—and yes, she hates him so much.
Delapan tahun Xena hidup tanpa rasa ingin memiliki pasangan, membenamkan diri dalam kuliah dan pekerjaan—sampai akhirnya ia mati rasa. Dan dua tahun yang lalu, perlahan ia menemukan setitik cahaya dalam gua tempatnya bersembunyi. Di luar dugaan, ia berhasil keluar dari gua itu lebih cepat dari yang ia bayangkan. Cahaya itu benar-benar menuntunnya dengan sabar dan penuh kelembutan, hingga akhirnya ia bisa menghirup udara luar yang begitu ia rindukan.
Tristan. Mereka bertemu di sebuah hotel di Jakarta, saat keduanya akan menghadiri pertemuan perusahaan tempat mereka bekerja. Xena datang terlalu awal untuk pertemuan hari itu, belum ada rekan kerja yang datang, bahkan pintu ballroom masih tertutup rapat. Ia berakhir duduk di sofa lobby hotel, berharap semenit setelahnya ada wajah familiar menyapanya.
Tak lama kemudian, datang seorang laki-laki menggunakan setelan jas rapi, menghampiri sofa tepat di hadapannya. Ia membuka kancing jasnya, lalu duduk dengan meletakkan tas laptop hitam di atas pangkuannya. Ia tersenyum pada Xena. Xena balas tersenyum.
“Dari DN Logistic cabang mana?” katanya tiba-tiba melontarkan pertanyaan.
“Hah? Oh, bukan-bukan,” jawab Xena sambil tersenyum canggung.
“Oh maaf, saya kira mau ikut pertemuan DN Logistic juga,” katanya malu sambil menggaruk samping kepalanya.
Xena merespon tersenyum, “Saya juga ada pertemuan kantor di sini. Di ballroom E,” kata Xena sambil menunjuk ke arah pintu ballroom yang berada di belakang laki-laki itu.
“Oh, saya di ballroom D,” katanya tanpa ditanya.
Kemudian mereka terdiam, saling melempar pandangan ke arah berbeda. Kemudian laki-laki itu berinisiatif berbicara.
“Kerja di mana?”
“Oh, saya di Fitcloth,” jawab Xena.
“Wow, fashion designernya?”
“Bukan, bukan. Saya Sales and Marketing Manager, pegang yang di Jakarta.”
“Dia baru dapat funding 10 miliar bulan lalu, kan?”
“Iya, betul. Hari ini kami pertemuan besar dengan para perusahaan cabang dan investor.”
“Wow, that’s so cool.”
“DN Logistic juga perusahaan besar, kan? Jadi apa di sana?” tanya Xena.
“Business Development Supervisor. Pertama kali masuk, ditempatin di bagian Cargo Staff, panas-panasan di landasan, pelabuhan, ngecek gudang. Nggak keren deh.”
“Kedengarannya keren kok. Lebih seru turun ke lapangan daripada di belakang meja.”
Laki-laki itu tertawa, “Kamu orang pertama yang ngomong gitu ke saya. Orang lain biasanya mengasihani saya.”
Xena hanya tertawa menanggapinya.
Tak lama setelah mereka mulai mempelajari satu sama lain, Gia—rekan kerja Xena—menghampirinya. Saat Xena baru saja berdiri dari tempat duduknya, laki-laki itu sontak ikut berdiri, lalu dengan cepat mengulurkan tangannya.
“Saya Tristan. Dari tadi kita belum kenalan.”
“Oh iya, saya Xena, with X,” katanya dengan menggambarkan huruf X di udara, “Nice to meet you, Tristan.”
Ia masih berdiri ketika Xena dan Gia berlalu menuju ballroom. Pandangannya Xena rasakan terus mengikutinya dari belakang.
Sebulan setelah pertemuan tidak disengaja itu, nama Tristan muncul di daftar pending invitation akun LinkedIn Xena.
Tristan Wiguna
Business Development Supervisor at DN Logistic
Jakarta, Indonesia
Begitu tulisan yang tertera. Tanpa pikir panjang, Xena menekan tombol Accept—dan sebuah pesan otomatis langsung masuk ke panel messaging akunnya.