THE EYE: Secret In The Shadow

Bilqis Fatturahman
Chapter #3

Eye

Jawaban dari pertanyaanmu adalah Joana, Ran. Keluargamu, para pelayan di rumahmu, semua itu berkaitan dengan Joana. Agar tidak membuatmu kesulitan memilih, maka akan kukatakan satu hal padamu. Malam itu, alih-alih keluargamu, seharusnya Joana lah yang mati!

Perkataan itu terus berputar di kepala Ran. Bagaikan sebuah kaset yang diputar berulang-ulang. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa harus keluargaku? Dan kenapa itu bisa berkaitan dengan Joana?

Ran menghela napas panjang, dia beranjak dari meja belajarnya, kemudian menjatuhkan dirinya di atas ranjang, menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Namun, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang tak kunjung berakhir sejak pertemuannya dengan Heidi siang tadi.

Heidi adalah teman sekolah menengah pertama Ran, mereka tak sengaja bertemu kembali saat Heidi menjadi pramusaji di acara pelantikkan Leo —paman Joana dari pihak ayah— sebagai direktur divisi perencanaan satu tahun lalu. Saat itu, Ran tidak sengaja mendapati Heidi sedang memerhatikan Joana dengan begitu intens, dia menanyakan maksud dari tatapan Heidi pada Joana, dan sebuah jawaban tak terduga keluar dari mulut teman yang kembali ditemuinya setelah sembilan tahun lamanya itu, "Ran, kau tentu bertanya-tanya kenapa ayahmu melakukan hal gila itu pada keluargamu, 'kan? Maka jawaban dari pertanyaan itu adalah wanita di sana." Sembari menunjuk Joana yang sedang tersenyum bahagia si samping pamannya, dan juga Luke.

Sejak saat itu, Ran, dan Heidi jadi sering bertemu. Heidi juga terus menerus mengatakan hal yang sama pada Ran tentang Joana, seolah-olah Heidi benar-benar mengetahui sesuatu. Tapi, Ran terus berpikir, bagaimana Heidi tahu? Namun, meskipun begitu, Ran jauh lebih terusik dengan apa yang Heidi katakan padanya tentang keterkaitan Joana dengan hal buruk yang menimpa keluarganya daripada pertanyaan bagaimana Heidi mengetahui segala yang terjadi sepuluh tahun lalu.

Haruskah aku menuruti perkataan Heidi? Menyingkirkan semua jimat yang melindungi Joana. Tapi...,

"Ran."

Suara itu!

Ran menolehkan pandangannya pada sang empunya suara yang saat ini berdiri diambang pintu kamarnya.

"Oh, Joa. Kau ada perlu apa ke sini?" Ran mendudukkan tubuhnya. Joana melangkah masuk ke kamar Ran, dan duduk tepat di samping Ran.

"Ran, belakangan ini kau terlihat tidak begitu baik, apa ada sesuatu yang mengganggumu?" Tanya Joana.

Ran tersenyum kecil. Seperti apa yang dia katakan pada Heidi, Joana memang memerlakukannya bak saudari kandung. Dia memerhatikan segala hal tentang Ran, dia peduli, dan juga menyayangi Ran.

"Tidak ada apa-apa, aku hanya lelah dengan pekerjaanku," dusta Ran. Tidak mungkin baginya mengatakan pada Joana bahwa teman lamanya mengatakan padanya bahwa Joana bertanggungjawab atas hal buruk yang menimpa keluarganya. Hal itu pasti akan membuat Joana merasa bersalah tanpa sebab yang tidak diketahuinya.

"Benarkah?"

"Iya, benar."

"Hmm, kalau begitu aku iri."

"Iri?" Ran menatap Joana dengan tatapan tak mengerti.

"Ran bisa pergi bekerja, dan bekerja begitu keras sampai merasa lelah. Sedangkan aku?" Joana terdiam barang sejenak. Ada sedikit kesedihan tergambar di wajahnya. "Aku begitu takut menghadapi apa yang kulihat, sampai-sampai sebelum aku bisa berusaha keras, aku sudah lebih dulu menyerah. Paman, dan Luke pun merasa khawatir, dan terkadang membuat pekerjaan mereka terganggu. Aku..., benar-benar tidak berguna ya."

"Joa! Jangan berkata seperti itu. Itu tidak benar!" Tukas Ran.

Joana tersenyum ketir, "tidak benar apanya? Ran bukannya sudah melihat sisi pecundangku? Saat itu aku berhenti menjadi pianis karena tidak mampu menghadapi para makhluk astral yang menggangguku."

Tepatnya delapan tahun lalu, Joana memang telah memutuskan berhenti menjadi pianis karena para makhluk astral yang muncul dihadapannya membuat dia tidak pernah bisa fokus untuk bermain.

Ran ikut sedih mendengarnya. Dia teringat bahwa saat itu, jika saja Joana menyelesaikan permainannya, mungkin Joana akan menjadi pianis terkenal sekarang. Namun, tak diduga saat itu dia berhenti bermain, dan kabur dari atas panggung.

"Jika aku jadi Joa, mungkin aku tidak akan sekuat Joa saat ini. Melihat susuatu yang menakutkan pastinya sulit dihadapi. Joa, kau sudah sangat hebat. Orang lain belum tentu bisa sekuat dirimu," Ran mencoba menenangkannya. Namun, alih-alih tersenyum, Joana justru menitihkan airmata.

"Joa, apakah aku salah bicara? Maafkan aku, aku tidak bermaksud," sesal Ran.

Joana menghapus airmatanya, "bagaimana bisa kau salah bicara? Jelas-jelas perkataanmu itu cukup menenangkanku, hanya saja..., aku merasa amat bersalah setelah mendengarnya. Aku..., seharusnya aku mengatakan hal seperti itu pada kakakku."

Lihat selengkapnya