Detail lokasi: Kota Centaur, Bumi II
07.30 p.m.
Suara rintik hujan yang mengetuk jendela membuatku gusar. Entah mengapa, aku merasakan perasaan yang begitu menyiksa ini. Di bawah tudung hitam, aku menyembunyikan wajahku. Menyembunyikannya dari semua orang. Menyembunyikannya dari kebusukan pemerintahan kota Centaur.
Aku menerawang keluar. Terlihat beberapa orang berlarian mencari tempat berteduh, tanpa mempedulikan orang lain disekitar mereka. Terlihat jelas dua kelompok manusia disana. Terlihat jelas pula sebuah tembok besar yang membatasi mereka. Ketika satu orang sibuk berlarian menyelamatkan barang-barang dan melindungi perhiasan mereka dari air hujan, di satu sisi ada orang yang dengan sigap mencari kantong plastik sampah, lalu menengadahkannya pada air hujan, lalu meneguknya sebagai pelepas dahaga dengan wajah sumringah bagai telah menemukan harta tak ternilai. Inilah Centaur.
Halo. Apa kabar? Ini adalah sebuah kisah, dari Bumi, yang sudah hampir hancur lebur. Kiamat. Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang baru saja terjadi di Bumi ini.
Halo, yang disana. Apa kalian mendengarku? Apa kalian bisa mendengarku? Apa kalian mampu mendengar suara dari gerbang paralel ini? Bagaimana keadaan disana? Apakah Bumi disana masih ... indah?
Sudah lebih dari 12 tahun sejak berakhirnya Perang Dunia ke-3. Kemajuan teknologi yang semakin canggih, berubah menjadi alat pemusnah masal. Negara-negara besar saling berlomba menghancurkan satu-sama lain. Bertahun-tahun adu siapa yang membunuh paling banyak, bertahun-tahun berlomba siapa yang menjatuhkan bom lebih besar, berlomba siapa yang mampu membuat penyakit paling mematikan, bertahun-tahun mereka berlomba siapa yang mampu bertahan sampai akhir. Dan hasilnya? Tidak ada. Musnah. Hancur. Mereka semua hancur. Dan inilah Bumi sekarang.
Sudah lama sejak aku melihat hewan-hewan berkeliaran, yang ada hanya beberapa serangga mutan yang berhasil bertahan hidup. Tumbuhan? Hampir semuanya telah mengering. Tanah ini gersang. Baru hari ini akhirnya hujan turun setelah sekian lama, itupun airnya begitu coklat. Entah racun apa yang terbawa bersamanya. Dari desas-desus yang beredar, kini hanya tersisa kurang dari 5% populasi manusia yang mampu bertahan hidup.
Dan disinilah, Centaur, salah satu tempat dari 5 persen itu berkumpul. Disini termasuk salah satu wilayah aman yang tidak terkena dampak radiasi nuklir dari perang sebelumnya. Tapi manusia masih sama saja. Egois, ambisius, dan mudah curiga. Apalagi setelah perang berakhir, mereka yang masih bertahan hidup dan memiliki harta, semakin protektif kepada harta bendanya. Mereka membangun sebuah dinding tak kasat mata. Memangnya mau beli apa di dunia yang sudah tak ada apa-apanya ini?
Aku melesap tudung yang menutupi kepalaku, memperlihatkan rambutku yang hanya sedikit beruban di usiaku yang menginjak enam puluh tahun. Orang-orang biasa memanggilku Sam, si pria tua aneh—atau mungkin gila. Tapi terserah mereka. Bagiku, aku hanyalah seorang pria tua yang kurang berguna. Hidup sendirian, dan tanpa tujuan. Tapi aku memiliki sebuah mimpi disini, di dalam hatiku. Aku akan memanusiakan kembali mereka. Entah bagaimana caranya.
Disinilah aku tinggal. Sebuah blok bekas toko yang untungnya masih bisa berdiri meski dibeberapa bagiannya telah hancur. Tepat disebelah kiri, tak sampai 10 meter dari sini, ada sebuah persimpangan dan bekas stasiun bawah tanah yang juga menjadi tempat tinggal mereka yang tidak berhasil mendapat tempat lain.
Aku masih ingat betul cerita kakekku, mungkin saat itu umurku masih 5 tahun, bagaimana kota ini sebelum menjadi Centaur. Dulu, kota ini bernama Greenbay, adalah sebuah kota yang makmur, dimana masyarakatnya hidup saling berdampingan. Kekeluargaan yang masih kental, tertanam dalam setiap benak warga Greenbay. Tapi sejak terjadinya perang, dan Greenbay terkena dampak karena kota tetangga, Amsiffle, terjadi sebuah kudeta besar-besaran, Greenbay berada di ambang kehancuran. Wali kota Greenbay, Sir Fedderic, tewas dengan mengenaskan di bawah kaki Raymond, panglima perang Amsiffle. Kursi pemerintahan kosong untuk sementara.