Tak butuh waktu lama, ketika mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhenti di depan sebuah reruntuhan bangunan. Meski begitu masih ada beberapa bangunan besar yang masih berdiri cukup kokoh.
Beberapa tentara turun dan memeriksa sekitar, diikuti oleh Leo di belakang. Ia dapat melihat seorang tentara yang belum pernah dilihatnya berlari dari arah bangunan di hadapan Leo, berhenti, lalu memberi hormat singkat kepada Simon.
“Di dalam aman, Pak,” ujarnya singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Leo sejenak, sebelum kembali menatap Simon yang mengangguk. “Beberapa tetap berjaga di luar. Sisanya ikut aku,” ujar Simon lalu menatap Leo. “Kau tetap di belakang,” lanjutnya.
Dengan total enam orang termasuk Simon dan Leo, mereka dengan agak bergegas masuk ke dalam bangunan bekas mall itu. Udara pengap bercampur debu cukup menyesakkan. Langit sudah semakin gelap dan angin dingin yang berhembus melalui celah-celah bangunan yang roboh semakin membuat suasana terasa mencekam.
“Tetap waspada. Kita tidak tahu apa yang mungkin bersembunyi di sini,” ujar Simon.
“Roger, Pak,” balas anggota lain dengan kompak.
Dengan tetap waspada dan senjata di tangan, mereka berenam masuk semakin dalam ke bangunan hingga akhirnya tiba di sebuah hall melingkar yang sepertinya adalah pusat dari bangunan itu, dengan atap terbuka yang nampaknya telah runtuh, menampilkan pemandangan langit yang sudah menghitam dan bulan purnama yang sudah mulai tampak bersinar di sebelah selatan.
“Pak, di sebelah sini,” tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah atas. Leo mendongak, mendapati seorang tentara sedang melambaikan tangan dati lantai dua. Simon mengangguk. “Ayo,” ujarnya sambil memberi isyarat untuk maju dan berjalan menuju arah eskalator yang sudah tidak lagi bergerak.
“Pak,” tantara yang tadi memanggil mereka menyapa Simon sambil memberi hormat. Tatapannya lalu beralih ke arah Leo. “Prof,” sapanya. “Ah, a-aku bukan profesor. Panggil saja Leo,” balas Leo dengan sedikit terkejut. Meski dengan cahaya remang-remang dari rembulan di atas dan senter kecil di genggaman salah seorang tentara, Leo dapat merasakan wajah tentara itu berubah merah.
“Di sebelah sini,” ujar tentara itu kemudian sambil memalingkan tubuh dan mulai berjalan. Di sebelah kanan terdapat jajaran bekas-bekas tenant dengan bagian pintu atau kaca yang sudah rusak dan hancur, sedangkan di sebelah kanan adalah bagian terbuka yang memungkinkan mereka untuk melihat ke bagian bawah atau atas.
Tentara itu terus berjalan, kemudian berbelok kiri ke sebuah lorong di mana di bagian ujung Leo dapat melihat satu orang tentara lain sedang berdiri sambil menenteng senjatanya. “Itu pusarannya,” ujar tentara tadi sambil menunjuk ke suatu titik di ruangan dan menatap Leo. Leo masih sibuk memperhatikan ruangan itu. Beberapa rak kayu yang lapuk dan patah tercecer di sana-sini. Tidak ada barang lain selain rak-rak itu, membuat Leo penasaran tempat apa ini sebelumnya. Mungkinkah barang-barang di sini sudah dijarah? Di bagian agak tengah belakang, terdapat sebuah bongkahan dinding besar yang sepertinya telah roboh dan menampakkan pemandangan langit yang gelap. Dari posisinya, Leo yakin ruangan ini ada di ujung bangunan. Tatapannya lalu beralih ke pusaran aneh yang dimaksud. Sambil mengernyitkan dahi, Leo berjalan mendekat.
“Jangan terlalu dekat, kita tidak tahu apakah benda itu berbahaya,” Simon memperingatkan Leo. Sedangkan anggota lainnya berdiri menyebar, tetap waspada dengan keadaan sekitar. Pusaran misterius itu berbentuk elips dengan tinggi kira-kira seukuran anak remaja. Benda itu tampak melayang beberapa senti dari permukaan tanah. Meski dalam gelap, Leo dapat melihat pusaran itu terlihat seperti sebuah pusaran angin berwarna putih-abu-abu. Bedanya, benda ini berputar secara vertikal dan datar. Samar-samar dia juga dapat mendengar benda itu mengeluarkan suara yang sangat mirip dengan suara pusaran angin, atau mungkin seperti suara dengungan kipas angin.
Leo berjalan mengelilingi pusaran itu, dan dari pengamatannya, bagian depan dan belakang tampak tidak berbeda. Sedangkan dari samping, hanya terlihat seperti sebuah garis tipis yang mengambang di udara. Ia lalu meraih beberapa pecahan dinding kecil seukuran kerikil dan melemparkannya ke tengah pusaran. Tidak terdengar suara benda jatuh, justru pecahan itu seolah tersedot dan menghilang ke dalam pusaran, entah kemana. Leo mencoba melempar lagi dari sisi sebaliknya, dan hasilnya sama.
“Tidak mungkin ini lubang cacing,” gumam Leo.