The Fate Interwoven in Time: A Whisper of the Lost Hour

Aurelyn
Chapter #2

Siapa Dia?

Langit di atasnya masih sama, bergelimang bintang, tapi bagi Nara, malam itu tak ada bedanya seperti jurang tanpa dasar.

Ia terduduk di akar pohon besar, memeluk lututnya sendiri. Nafasnya terengah, pipinya dingin oleh embun, dan matanya mulai panas menahan tangis. Hening menggantung berat di udara, seolah waktu kembali membeku, tapi kali ini bukan karena keindahan seperti dalam mimpinya melainkan karena ketakutan.

“Aku bodoh… Kenapa aku lari…?” Bisiknya pada dirinya sendiri. Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. “Setidaknya, jika aku masih berada di sana, aku masih memiliki rumah, tempat tinggal yang nyaman, tidak seperti ini. Aku bahkan tidak tau ada bahaya apa saja di hutan ini” ucap nara sambil memainkan batu didepan kakinya

Tangannya mengepal erat, jari-jarinya bergetar. Ia mencoba menghapus air mata yang mulai mengalir tanpa bisa dikendalikan, tapi percuma tangis itu pecah juga. Terisak dalam kesunyian, ia menangis seperti anak kecil yang hilang di tengah pasar malam.

“Bahkan aku… Tak tahu nama tempat ini… Tanpa mengenal siapapun…”

Hatinya terasa hampa. Dunia ini terasa begitu besar dan asing, dan ia hanyalah seorang gadis dari masa yang entah sudah tertinggal jauh. Setiap detak jantungnya seperti menggedor pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang memenuhi pikirannya. Siapa pria bertopeng itu? Siapa para penyerang tadi? Dan siapa Lian Rou yang terus dipanggil semua orang?

Angin malam meniup rambutnya lembut, membawa aroma tanah basah dan jejak darah yang mulai memudar. Di kejauhan, suara festival sudah tak terdengar. Yang tersisa hanya suara jangkrik, dan… Langkah kaki ringan?

Nara mendongak cepat, tubuhnya menegang.

“Nona…” terdengar suara pelan, penuh kecemasan. “Nona Lian Rou…?”

Jantung Nara melompat. Ia mengenal suara itu dayang perempuan yang sebelumnya membawakan pakaian untuknya. Suara itu kini terdengar gemetar, seolah nyaris menangis.

Nara ingin menjawab, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia hanya bisa menatap ke arah suara itu dengan mata berkaca-kaca.

Beberapa detik kemudian, sosok kecil itu muncul dari balik semak, membawa lentera kecil yang berayun lemah dalam genggamannya. Saat matanya menangkap sosok Nara yang duduk sendiri di bawah pohon, wajahnya berubah pucat.

“Nona!” serunya lirih, berlari kecil menghampiri, lututnya nyaris roboh karena lega dan takut yang bercampur jadi satu.

“Apa yang Anda lakukan sendirian di sini? Anda… Anda tidak apa-apa?” ucapnya sambil menggenggam tangan Nara erat, suaranya nyaris pecah.

Nara hanya bisa memandangi wajah si dayang. Lalu pelan, ia menyentuh tangan gadis itu, dan seperti anak yang ketakutan, ia berbisik lirih, “Maaf… Maafkan aku” ucap nara menyesal

Dayang itu menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. “Aku mencarimu sejak tadi… Tuan muda pasti sangat marah… Kita harus segera Kembali. Ayo kita kembali, Nona,” Ucap sang dayang dengan cepat dan lembut, sambil membantu Nara berdiri. Dayang itu perlahan menuntun nara keluar dari hutan itu dengan lentera kecil miliknya.

Saat mereka mulai melangkah, Nara menoleh sekali lagi ke arah kegelapan tempat pria bertopeng itu menghilang. Hatinya masih penuh tanda tanya. Tapi untuk sekarang, ia hanya ingin pulang. Bahkan jika ia tidak tahu rumah yang mana, ia ingin kembali ke tempat di mana ia bisa merasa… Setidaknya sedikit lebih aman.

Kabut malam turun perlahan, sementara angin dingin menyusup di antara pepohonan tinggi yang berdiri seperti penjaga sunyi di sepanjang jalan berbatu. Di atas sana, bulan sabit menggantung tipis serupa serpihan perak yang tergores di langit gelap.

Langkahnya ragu-ragu, seolah setiap pijakan bisa membawanya tersesat di dunia yang belum ia kenali. Ia menggenggam tangan dayangnya erat, hampir bersandar, karena rasa takut membuat kakinya lemah.

Tak lama, gemericik suara keramaian dan temaram cahaya muncul di kejauhan. Hatinya sedikit lega. Ia mengenali tempat itu tempat terakhir yang ia ingat sebelum semuanya menjadi kabur.

Akhirnya, ia kembali.

Meski belum mengerti apa yang menunggu, setidaknya ia tidak lagi melangkah dalam gelap sepenuhnya.

Di tengah cahaya lentera yang mulai memenuhi jalan, dua sosok muncul tergesa-gesa dari arah keramaian. berada di depan, napasnya memburu seakan ia berlari tanpa henti. Di belakangnya, seorang pria mungkin bawahan kepercayaannya ikut terengah, namun tetap menjaga jarak hormat. Nara takut karena pria itu membawa pedang.

Pakaian pria yang memanggil Nara dengan sebutan ‘Adik’ itu tampak sedikit berantakan,

Matanya menyapu sekeliling, gelap, tajam sebelum akhirnya berhenti pada Nara.

Sorot marah yang berusaha ia tahan tampak jelas. Rahangnya mengeras. Anehnya, bukan hanya amarah yang terlihat di sana, melainkan lega yang cepat ia sembunyikan.

Lihat selengkapnya