The Fate of the Tearling

Mizan Publishing
Chapter #2

Buku 1: Regent

Bila ditinjau ke belakang, pemerintahan Regent Glynn sama sekali bukan pemerintahan regent. Peran regent kerajaan se­derhana: menjaga takhta dan menjadi penghalang bagi perebut takhta selama penguasa sah tak ada. Sebagai kesatria sejati, Mace sesuai untuk tugas semacam itu, tapi penampilan kesat­ria nya juga menyembunyikan pikiran politik yang tajam dan, ba rang kali lebih mengherankan lagi, keyakinan setia terhadap pan dang an Ratu Glynn. Menyusul gagalnya invasi Mort kedua, sang Regent tidak hanya duduk berpangku tangan, menunggu sang Ratu kembali; alih­alih, dia mengerahkan segenap bakat be sar nya untuk mewujudkan visi sang Ratu, Tearling sang Ratu.

Sejarah Awal Tearling, SEBAGAIMANA DIKISAHKAN OLEH MERWINIAN K elsea sempat berlatih membuka mata setiap kali wagon ber guncang. Kelihatannya itu cara yang cukup baik untuk me nandai berlalunya waktu, untuk memperhatikan sekilas perubahan lanskap. Tetapi, kini hujan telah berhenti, dan cahaya ma- ta hari terang membuat kepalanya sakit. Ketika guncangan wagon kembali membangunkannya dari tidur singkat yang sepertinya tak kunjung berakhir, Kelsea berusaha tetap memejamkan mata rapat-rapat, mendengarkan gerakan kuda di sekitarnya, geme rencing pelana dan derap kaki binatang itu.

“Tidak ada sekeping perak pun,” gerutu laki-laki di kiri Kel- sea dalam bahasa Mort. “Kita mendapat gaji,” sahut laki-laki lain.

“Gaji kita kecil.” “Itu benar,” timpal suara ketiga. “Rumahku butuh atap baru.

Gaji kecil kita tidak bisa menutupinya.” “Jangan menggerutu lagi!” “Kau sendiri bagaimana? Apa kau tahu kenapa kita pulang dengan tangan kosong?” “Aku prajurit. Bukan tugasku mengetahui sesuatu.” “Aku mendengar sesuatu,” suara pertama bergumam mu ram.

“Aku dengar semua jenderal dan kolonel peliharaan mereka, Ducarte dan anteknya, mendapatkan bagian mereka.” “Bagian apa? Tidak ada penjarahan!” “Mereka tidak butuh penjarahan. Dia akan membayar mereka langsung, dari kas kerajaan, dan menelantarkan kita yang lain di luar sini!” “Mustahil itu benar. Kenapa dia membayar mereka tanpa alasan?” “Siapa yang tahu kenapa Lady Merah Darah melakukan se suatu?” “Cukup! Apa kalian mau didengar Letnan?” “Tapi—” “Tutup mulut!” Kelsea memasang telinga semenit lagi, tapi tak mendengar apa-apa lagi, maka dia mendongakkan kepala ke matahari. Walau pun sakit kepalanya tak kunjung reda, cahaya terasa nya man bagi memarnya, seakan-akan meresap ke dalam kulit untuk me- nyem buhkan jaringan di bawah. Sudah cukup lama dia tak berada di dekat cermin, tapi hidung dan pipinya masih terasa bengkak The FaTe oF The Tearling27 saat disentuh, dan dia punya bayangan cukup baik mengenai seperti apa penampilannya.

Kami telah membentuk lingkaran penuh, pikir Kelsea, menahan kekehan muram selagi wagon kembali bergoyang. Aku melihat Lily, aku menjadi Lily, dan sekarang aku juga memiliki memar­me­marnya.

Kelsea sudah sepuluh hari menjadi tawanan: enam hari di lewatkannya terikat di tiang dalam tenda Mort, dan empat hari terakhir dirantai dalam wagon ini. Prajurit berbaju zirah di pung gung kuda mengawalnya, menghalangi gagasan apa pun un tuk melarikan diri, tapi para penunggang itu bukan masalah se benarnya bagi Kelsea sekarang. Masalah Kelsea duduk di sisi seberang wagon, menatapnya, dengan mata menyipit melawan cahaya matahari. Kelsea tak tahu dari mana Mort menemukan orang ini. Dia tidak tua, barangkali tak lebih tua daripada Pen, dengan janggut dipangkas rapi yang melilit bagaikan tali di bawah dagu. Dia tak memiliki pembawaan seorang kepala sipir; malahan, Kelsea mulai bertanya-tanya apa dia memiliki jabatan resmi. Apa jangan-jangan seorang memberinya kunci belenggu Kelsea dan menugaskan- nya bertanggung jawab? Semakin lama Kelsea memikirkannya, semakin yakin dia bahwa itulah persisnya yang terjadi. Kelsea tak pernah lagi melihat Ratu Merah sejak pagi di tenda itu. Selu ruh operasi ini memiliki kesan spontan yang jelas. “Bagaimana keadaanmu, Cantik?” tanya sipir itu.

Kelsea tak mengacuhkannya meskipun sesuatu seolah-olah ber getar dalam perut. Laki-laki itu memanggilnya “Cantik”, tapi Kel sea tak tahu itu komentar pribadi apa bukan. Sekarang, dia me mang cantik, kembaran Lily, tapi dia rela memberikan apa saja demi mendapatkan wajah lamanya lagi, walaupun dia tak ta hu apakah menjadi biasa-biasa saja akan memungkinkannya lolos dari perhatian si Sipir. Setelah hari ketiga mereka di tenda, laki-laki itu melakukan pemukulan hati-hati dan menyelu ruh di wajah dan tubuh atas Kelsea. Kelsea tak tahu apa pemicu nya, atau bahkan apa orang itu marah; wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi, sepanjang waktu. Seandainya safirku ada, pikir Kelsea, balas menatap laki-laki itu, menolak menurunkan pandang agar dia tak menganggap sikap tersebut sebagai kelemahan. Kelemahan menyemangati si Sipir. Kelsea melewatkan berjam-jam dalam perjalanan ini dengan melamunkan apa yang akan dilakukannya jika mendapatkan safirnya kembali. Kehidupan singkatnya sebagai ratu menghadapi beragam bentuk kekerasan, tapi ancaman yang diwakili sipir ini benar-benar baru: kekerasan yang sepertinya tak berasal dari mana pun, tidak memiliki tujuan apa pun. Tidak masuk akalnya hal tersebut membuat Kelsea putus asa, dan ini, mengingatkan- nya juga pada Lily. Suatu malam, kira-kira seminggu lalu, dia memimpikan Lily, memimpikan Penyeberangan, mimpi buruk te rang dan riuh penuh api, lautan bergelora, serta fajar merah mu da. Namun, entah bagaimana kehidupan Lily terkandung da lam safir itu, dan keduanya telah hilang dari Kelsea, dan kini dia ber tanya-tanya, hampir dengan berang, mengapa dia harus men jalani itu, melihat begitu banyak. Kini, dia memiliki wajah Lily, rambut Lily, ingatan Lily. Tapi, apa gunanya semua itu jika dia tak bisa melihat akhir ceritanya? Row Finn mengatakan dia keturunan Tear, tapi dia tak tahu apa gunanya itu tanpa permata tersebut. Bahkan, tiara Lady Andrews kini lenyap, hilang di kamp.

Seluruh kehidupan lamanya telah ditinggalkan. Dengan alasan kuat.

Benar. Saat ini Tear lebih penting daripada dirinya. Ke matiannya pasti menunggu di suatu tempat pada akhir perjalanan dia bahkan tak yakin mengapa dia masih hidup tapi dia men ing- galkan kerajaan yang bebas, dipimpin laki-laki yang baik. Be nak- nya memunculkan citra Mace, muram dan tak tersenyum, dan sesaat Kelsea merindukannya teramat sangat sampai air mata ter an cam akan tumpah dari balik pelupuk terpejamnya. Kelsea mela wan dorongan itu, menyadari laki-laki yang duduk di seberang akan puas melihat kesengsaraannya. Dia yakin salah satu alasan sipir itu menghajarnya habis-habisan karena dia menolak untuk menangis. Lazarus, pikir Kelsea, berjuang meringankan suasana hati yang suram. Mace kini duduk di takhtanya, dan meskipun Mace tak memandang dunia persis seperti dia, laki-laki itu akan jadi penguasa yang baik, adil, dan layak. Tetapi, Kelsea masih merasakan penderitaan samar, semakin bertambah seiring semakin jauhnya perjalanan. Dia belum pernah berada di luar kerajaannya, tak sekali pun seumur hidup. Dia tak tahu apa sebabnya dia masih hidup, tapi dia hampir pasti pergi ke Mortmesne untuk mati.

Ada yang menyapu betis Kelsea, membuatnya tersentak.

Sipir nya menggapai ke seberang lantai wagon dan membelai kaki nya dengan satu jari. Kelsea tak bisa lebih jijik lagi dari ini se andainya dia menemukan kutu menggigit kulitnya. Sipir itu me nyeringai lagi, alisnya terangkat menunggu respons.

Aku sudah mati, Kelsea mengingatkan diri sendiri. Di atas kertas, dia adalah mayat hidup selama berbulan-bulan. Ada kebebasan besar dalam pikiran itu, dan kebebasan tersebut me mungkinkannya menarik kaki ke dalam seolah-olah akan me ringkuk di sudut wagon, dan kemudian, pada saat terakhir, me leng kung kan punggung dan menendang wajah si Sipir.

Laki-laki itu terjatuh, mendarat miring disertai debuk keras.

Penunggang di sekeliling mereka meledak tertawa, sebagian besar tawa mengejek; Kelsea merasa sipirnya tak terlalu populer di te ngah infanteri, tapi fakta tersebut tidak akan menolongnya di sini. Dia menyelipkan kedua kaki di bawah tubuh dan memaju kan tangan yang dirantai, siap melawan sekuat tenaga. Sipir itu duduk, darah meleleh dari salah satu lubang hidung, tapi dia seakan-akan tak menyadarinya, bahkan tidak repot-repot mengusapnya sementara darah mengalir turun ke bibir atas.

“Aku cuma main-main,” dia berkata, suaranya merajuk. “Apa Cantik tidak suka permainan?” Kelsea tak menyahut. Perubahan suasana hati yang cepat men jadi petunjuk awal baginya bahwa si Sipir agak sinting. Tidak ada pola perilaku yang bisa diantisipasinya. Marah, bingung, geli ... setiap kali, reaksi si Sipir selalu berbeda. Sekarang, dia menyadari hidungnya berdarah, dan dia mengusap darah dengan satu ta ngan, mencorengkannya ke lantai wagon.

“Cantik seharusnya bersikap baik,” omelnya, nada suaranya mirip guru yang menghadapi murid bandel. “Sekarang, akulah yang mengurusnya.” Kelsea meringkuk di sudut wagon. Dia kembali memikirkan safirnya dengan sedih, dan dengan kaget menyadari dia sebenarnya entah bagaimana ditakdirkan selamat dari perjalanan ini.

Sipir itu hanya salah satu dari serangkaian halangan untuk diatasi.

Pada akhirnya, dia ditakdirkan untuk pulang. Ratu Merah tidak akan mengizinkan itu terjadi, Kalau begitu, kenapa dia membawaku ke Demesne? Untuk membunuhmu. Dia mungkin berniat memajang kepalamu di tempat kehormatan Jalan Pike. Namun, kelihatannya ini terlalu mudah bagi Kelsea. Ratu Merah perempuan yang blakblakan. Jika dia menginginkan Kelsea mati, mayat Kelsea pasti sudah membusuk di tepian Caddell.

Pasti ada yang diinginkan Ratu Merah darinya, dan kalau itu benar, dia mungkin bisa pulang. Pulang. Kali ini bukan kerajaan yang dipikirkannya, tapi orang-orang. Lazarus. Pen. Fetch. Andalie. Arliss. Elston. Kibb. Coryn. Dyer. Galen. Wellmer. Bapa Tyler. Sejenak Kelsea bisa me lihat mereka semua, seakan-akan mereka mengelilinginya.

Kemudian, bayangan itu raib, dan hanya ada cahaya matahari menyilaukan di matanya, membuat kepalanya sakit. Bukan penglihatan, hanya benaknya, berusaha membebaskan diri. Tidak akan ada sihir, tidak lagi kenyataan adalah wagon berdebu ini, meluncur maju dengan pasti, membawanya menjauh dari rumah.

Mace tidak pernah duduk di singgasana.

Terkadang, Aisa mengira dia akan duduk di sana. Hal itu su dah jadi bahan gurauan di antara Pengawal: cara Mace me naiki podium dengan langkah mantap … kemudian duduk di un dakan puncak, lengan kekar ditopangkan di lutut. Jika itu hari yang melelahkan, dia mungkin berkenan memakai kursi berlengan yang lusuh di dekat sana, tapi singgasana sendiri tetap tak berpenghuni, monolit kosong dari perak mengilap di puncak ruangan, mengingatkan mereka semua akan ketidakhadiran Ratu.

Aisa yakin memang itu persisnya niat Mace. Hari ini, Mace bahkan mengabaikan podium dan memilih duduk di kepala meja makan Ratu. Aisa berdiri tepat di belakang kursi Mace. Beberapa orang harus berdiri; meja besar itu tak muat menampung mereka semua. Aisa merasakan kecil peluangnya akan ada kekerasan di sini, tapi tetap saja dia meletakkan tangan di pisau. Dia jarang melepaskannya, bahkan selagi tidur. Pada malam pertama setelah jembatan kehidupan mental Aisa kini seolah-olah terpisah menjadi Sebelum dan Sesudah peristiwa Jembatan Mace memberinya kamar tepat di luar Bangsal Pengawal. Meskipun menyayangi saudara-saudara nya, Aisa lega bisa bebas dari mereka. Bagian dari kehidupan nya itu, bagian yang lama, bagian keluarga, seperti telah terpenggal be gitu dia bekerja dengan Pengawal. Tidak ada ruang untuk itu. Aisa merasa aman di kamar barunya, lebih aman daripada yang pernah dirasakannya, tapi terkadang dia masih terbangun pagi hari dan menemukan pisau dalam genggaman.

Arliss duduk di sebelah Mace, salah satu rokok menjijikkannya mencuat dari gigi, seraya menggeser-geser setumpuk kertas di depannya. Arliss hidup dengan fakta dan angka, tapi Aisa tak tahu apa guna catatannya di sini. Masalah Ratu tidak bisa diselesaikan di atas kertas. Di sebelah Arliss duduk Jenderal Hall, didampingi tangan kanannya, Kolonel Blaser. Keduanya masih memakai baju zirah lengkap karena baru saja datang dari garis depan. Selama ming gu lalu, tentara Tear yang tersisa membuntuti iring-iringan pasukan besar Mort yang menyeberangi Caddell dan memulai perjalan an perlahan tapi pasti, melintasi dataran Almont. Meskipun kelihat annya mustahil, pihak Mort mundur, mengemasi perangkat pengepungan dan bertolak pulang. Tapi kenapa? Tidak ada yang tahu. Pasukan Tear telah dihancurkan, dan pertahanan London Baru setipis kertas kata Elston bala tentara Mort bisa mengubrak-abrik mereka. Tentara Tear tetap mengawasi pasukan penyerbu dengan saksama, siapa tahu itu sekadar siasat, tapi kini bahkan Mace sepertinya yakin bahwa mundurnya barisan Mort benar-benar nyata. Memang tidak masuk akal, tapi itu tetap saja terjadi. Menurut Jenderal Hall, tentara Mort bahkan tak menjarah dalam perjalanan pulang. Semua ini berita bagus, tapi suasana di meja jauh dari bersemangat. Belum ada kabar mengenai Ratu. Jasadnya tak di tinggalkan ketika pasukan Mort pergi. Kata Maman, Ratu men jadi tawanan, dan pikiran itu membuat darah Aisa mendidih. Tugas pertama Pengawal Ratu adalah melindungi penguasa dari bahaya, dan bahkan seandainya Ratu belum tewas, dia masih dalam kekuasaan Mort. Bahkan, Maman tak bisa mengetahui apa yang terjadi pada Ratu di kamp mereka. Pen duduk di sisi lain Mace, wajahnya pucat dan cekung.

Penderitaan apa pun yang ditanggung Aisa dan pengawal lain mengenai keselamatan Ratu, tidak ada yang lebih merana daripada Pen, yang menjadi pengawal pribadi ratu … dan lebih dari itu, pikir Aisa. Dia tak banyak berguna belakangan ini, lantaran kelihatannya tak mampu berbuat apa-apa selain bermuram durja dan minum-minum, dan bila ada yang memanggil namanya dia hanya mendongak dengan sikap agak bingung. Sebagian diri Pen hilang pada hari Ratu menghancurkan Jembatan, dan walaupun dia duduk di sebelah Mace, di tempat pengawal pribadi, tatapannya terpaku di meja, linglung. Coryn, yang duduk di sebelahnya, waspada seperti biasa, jadi Aisa tak cemas, tapi dia bertanya-tanya berapa lama lagi Elston mau memberi kelonggaran kepada Pen. Apa yang dibutuhkan bagi seseorang un tuk menyuarakan kebenaran: bahwa Pen tak lagi layak untuk pekerjaan itu? “Mari kita mulai,” Mace mengumumkan. “Ada berita apa?” Jenderal Hall berdeham. “Aku sebaiknya memberi laporan duluan, Sir. Ada alasan kuat.” “Silakan, kalau begitu. Di mana pasukan Mort?” “Lokasi mereka saat ini di Almont tengah, Sir, hampir tiba di ujung Crithe. Mereka menempuh jarak setidaknya delapan kilometer per hari, hampir enam belas kilometer per hari sejak hujan berhenti.” “Tidak ada yang ditinggalkan?” Hall menggeleng. “Kami sudah mencari perangkap. Aku yakin penarikan mundur pasukan mereka itu sungguh-sungguh.” “Yah, itu melegakan, setidaknya.” “Benar, tapi Sir” “Bagaimana mengenai para pengungsi?” tanya Arliss. “Bisakah kita mulai mengirim mereka pulang?” “Aku belum yakin itu aman, jelas tidak langsung di belakang iring-iringan pasukan perang Mort.”

“Salju sudah turun di Reddick utara, Jenderal. Bila kita tak segera memanen hasil bumi, takkan ada yang tersisa untuk dituai.” Arliss diam sejenak untuk mengepulkan asap. “Kita juga memiliki semua masalah yang dihadapi kota yang terlalu padat: kotoran, pengolahan air, wabah penyakit. Semakin cepat kita mengosongkannya, semakin baik jadinya. Barangkali jika kau” “Kami melihat Ratu.” Seluruh meja memusatkan perhatian. Bahkan, Pen seakan- akan terjaga. “Apa lagi yang kau tunggu?” sergah Mace. “Laporkan sekarang!” “Kami melihatnya kemarin pagi, di delta Crithe. Ratu masih hidup, tapi dibelenggu, dirantai di wagon. Tidak ada kesempatan bagi Ratu untuk melarikan diri.” “Dia menghancurkan Jembatan London Baru keparat itu jadi dua!” tukas Arliss. “Rantai apa yang bisa menahannya di wagon?” Nada suara Hall tenang. “Kami tidak bisa melihatnya dengan sangat jelas; kavaleri Mort terlalu banyak. Tapi, aku punya orang bernama Llew yang penglihatannya setajam rajawali. Dia cukup yakin Ratu tidak lagi memakai kedua safir Tear itu.” “Bagaimana kondisinya?” Pen menyela.

Titik-titik rona menggelapkan pipi Hall, dan dia menoleh ke arah Mace. “Barangkali sebaiknya kita membahas” “Kau membahasnya sekarang juga.” Suara Pen berubah sangat rendah. “Apa dia terluka?” Hall menatap Mace tak berdaya, sang Regent mengangguk.

“Ya. Wajah Ratu memar; bahkan aku bisa melihat itu lewat teropong. Dia dipukuli.”

Pen kembali terenyak di kursi. Aisa tak bisa melihat wajahnya, tapi itu tidak perlu. Bahu Pen yang terkulai mengutarakan segalanya. Seantero meja membisu sejenak. “Dia tegak di dalam wagon, setidaknya,” Hall akhirnya melanjutkan. “Cukup sehat untuk berdiri. Kurasa tulangnya tidak ada yang patah.” “Di mana wagon ini?” tanya Mace.

“Tepat di tengah pasukan kavaleri Mort.” “Tidak ada peluang untuk serangan langsung?” “Tidak. Bahkan, seandainya pasukanku tak berkurang drastis, pihak Mort tidak mengambil risiko. Setidaknya tiga puluh meter kuda perang mengelilinginya di segala arah. Mereka menggiringnya di sepanjang Jalur Mort, mendahului tentara infanteri.

Aku hanya bisa berasumsi mereka langsung menuju Demesne.” “Penjara bawah tanah Palais.” Pen menopangkan dahi di satu tangan. “Bagaimana kita bisa membebaskannya dari sana?” “Pemberontak Mort siap bergerak ke Demesne,” Mace mengingatkannya. “Orang-orang Levieux akan berguna.” “ Dari mana kau tahu kau bisa memercayainya?” “Aku tahu.” Aisa menaikkan alis. Dia tak banyak memikirkan tentang Le vieux, yang meninggalkan Benteng seminggu lalu. Laki-laki itu tampan, tapi penampilan menarik tak ada artinya dalam per- tarungan. Anak buahnya, Alain, memang menguasai trik kartu bagus, tapi bukan tandingan Bradshaw. Pesulap barangkali bisa menyelundup ke penjara bawah tanah Mort Palais, tapi Mace tak memercayai pesulap. “Ratu Merah pasti akan menghadapi masalah di sayap kanannya,” renung Arliss. “Tidak ada penjarahan … tidak ada emas, tidak ada perempuan. Aku tak tahu bagaimana dia membuat pasukannya pergi, tapi mereka tak akan senang.”

“Levieux sudah menduganya. Prajurit yang tidak dibayar akan menjadi pemberontak yang hebat. Dia memperkirakan bisa merekrut besar-besaran begitu pasukan itu tiba di rumah.” “Dan apa artinya itu bagi kita,” desak Pen, “jika kita tidak mendapatkan Ratu?” “Kita akan membahas itu nanti, Pen,” kecam Mace. “Sabarlah dulu.” Aisa mengernyit. Mace terus-terusan memanjakan Pen, mencoba membujuknya agar suasana hatinya tak buruk, mengabai kan ketika Pen tak patuh. Aisa sendiri pasti sudah menskors Pen lama dan, bila gagal, memberinya tamparan keras di wajah. “Terus kabari aku mengenai penarikan mundur pasukan itu,” kata Mace pada Hall, “tapi fokusmu pada Ratu. Pilih dua anak buah terbaikmu untuk mengikutinya ke Mortmesne. Pastikan kita tidak kehilangan dia. Pertemuan selesai.” Hall dan Blaser bangkit dan membungkuk hormat, lalu menuju pintu. “Kita perlu membahas mengenai Arvath,” kata Arliss.

“Ada apa?” Arliss mengumpulkan kertas-kertas, lalu menyisihkan nya.

Lihat selengkapnya