Kelompok utopis setia yang merupakan anggota orisinal Pe nye berangan bersama William Tear, semuanya memiliki im pi an be sar mengenai masyarakat hebat, damai, dan egaliter. Ber jum lah hampir dua ribu orang, mereka bermukim dalam naung an Pe gunungan Clayton, di dataran tinggi di kaki perbukitan yang men jadi cikal bakal London Baru modern. Mereka belajar ber tani, melakukan pemungutan suara dalam rapat kota, dan saling menjaga. Dalam lingkungan ideal ini, kota berkem bang pesat; populasi meningkat cepat, hampir dua kali lipat dalam ge nerasi setelah Penyeberangan. Agama menjadi urusan sangat pribadi, dan kekerasan terlarang. Di mata orang luar, William Tear telah mewujudkan impian besarnya.
— Sejarah Awal Tearling, SEBAGAIMANA DIKISAHKAN OLEH MERWINIAN
Pendakian bukit itu merupakan perjalanan panjang me le- lahkan. Katie Rice sudah sering melakukan perjalanan ini, mendaki jalur berkelok yang berzigzag di lereng bukit, dari sungai sampai ke Kota. Dia mengenal setiap tanda di sepanjang jalan: batu pecah yang menyambutnya mirip petunjuk arah setelah belokan ketiga, pohon ek muda yang baru mulai merunduk di atas tikungan di pertengahan jalan menanjak, lokasi di sisi yang berlawanan dengan arah angin tempat jalan terkikis setelah bertahun-tahun tertiup angin yang berembus dari dataran. Pada rapat minggu lalu, William Tear membahas lokasi ini; dia berkata mereka ha- rus mencegahnya runtuh, memperkuatnya entah dengan cara apa. Dia meminta sukarelawan, dan seratus tangan teracung ke udara.
Katie mengenal jalur ini, tapi tetap membencinya. Dia mem - benci perjalanan panjang, tak ada yang bisa dikerjakan selain berpikir. Tetapi, peternakan biri-biri terletak di kaki bukit, dan Katie menyukai wol sebesar dia membenci berjalan kaki. Dia ber - umur tiga tahun ketika Mum pertama kali meletakkan sepasang jarum rajut di tangannya, dan sekarang, pada usia empat belas, se lain menjadi perajut terbaik di Kota, dia juga salah satu pemintal dan ahli celup terhebat. Untuk membuat dan mewarnai wolnya, perjalanan inilah harganya.
Dia keluar dari tepi hutan dan Kota pun tampak: ratusan ru mah kayu kecil menutupi puncak bukit yang agak membu- lat. Rumah-rumah juga menyebar sampai ke celah antara bukit, hing ga tiba di tepi sungai yang melengkung ke dalam ke arah kota sebelum meliuk menjauh lagi, ke selatan kemudian barat. Menurut Mum, mereka awalnya menemukan tempat ini setelah menyusuri sungai dari lautan. Katie mencoba membayangkan seperti apa kelihatannya pemandangan ini bagi para pemukim Tear: hanya sekelompok perbukitan berselubung pepohonan. Enam belas tahun telah berlalu sejak Penyeberangan, yang terasa lama bagi Katie, tapi dia mengerti bahwa sebenarnya itu sangat singkat.
Dia berputar untuk berjalan mundur, karena inilah peman- dangan favoritnya: deretan pohon menyelimuti lereng bukit, ke mudian sungai biru terang di depan dataran pertanian hijau dan emas. Dari sini, Katie bisa melihat para petani, kira-kira lima puluh orang, menggarap barisan tanaman di lahan persegi panjang di sisi seberang sungai. Para petani akan bekerja sampai matahari terbenam, dan jika pekerjaan belum usai, mereka akan melanjutkannya dengan diterangi lampu. Sebelum Katie di l ahir - kan, ada dua tahun yang berat: periode kelaparan, Mum menye- butnya, saat para pemukim tak tahu cara bercocok tanam. Le bih dari empat ratus jiwa—hampir seperempat populasi—tewas. Sekarang, pertanian menjadi urusan paling serius di Kota.
Tahun depan, Katie akhirnya cukup umur untuk menjadi pe - magang sepulang sekolah, dan dia boleh bekerja di ladang ka lau mau, tapi menurutnya dia tidak akan melakukannya. Dia ti dak menyukai pekerjaan kasar, mengangkat dan mengang kut. Tetapi, pada September dan Oktober semua orang beker ja di pertanian, kecuali bayi dan orang tua yang menderita rema tik. Mereka belum memiliki cukup petani karier, dan hasil bumi ha rus segera dipanen sebelum membeku. Jika ada yang mengeluh—dan pasti ada—orang-orang dewasa pasti langsung mengung kit pe riode kelaparan, dan semua cerita lama pun dituturkan: ba gai mana mereka terpaksa membunuh dan memakan semua an jing kecuali yang masih kecil; bagaimana beberapa kelompok melarikan diri malam-malam, mencari makanan di tempat lain, dan mungkin tewas di tengah salju; bagaimana William Tear me ngorbankan jatah makanannya untuk yang lain sampai dia ku rus kering dan kurang gizi, lalu terserang pneumonia dan nyaris tewas. Kini, mereka memiliki hasil panen melimpah; kentang, wortel, stroberi, kubis, dan labu, begitu juga populasi besar ayam, sapi, dan domba, dan tidak ada lagi yang kelaparan. Namun, se tiap musim gugur Katie tetap saja dipaksa mengenang kembali periode kelaparan, dan sekarang, bahkan membayangkan panen membuat perutnya mual.
Pada rapat tahun lalu, William mengatakan sesuatu yang tak akan dilupakan Katie: bahwa suatu hari nanti seantero dataran akan diselimuti lahan pertanian, sejauh mata memandang. Katie tak kuasa membayangkan padang rumput seluas itu dijinakkan menjadi deretan tanaman. Dia berharap hari itu takkan tiba da lam masa hidupnya. Dia menginginkan pemandangan tetap se perti sekarang.
“Katie!”
Dia menoleh dan melihat Row, sekitar seratus meter di depan. Katie bergegas mendekat, merasakan getaran dalam dirinya. Row akan membuat perjalanan menarik; dia selalu begitu.
“Kau dari mana?” tanya Katie.
“Lereng selatan. Aku mencari logam.”
Katie mengangguk, langsung mengerti. Row perajin lo gam, salah satu yang terbaik di kota. Dia magang di bengkel logam Jenna Carver, dan orang-orang selalu membawakannya perhias an untuk diperbaiki, begitu juga barang yang lebih sederhana, con- tohnya ketel teh dan pisau. Tetapi, memperbaiki hanya pekerjaan bagi Row. Yang sangat disukainya adalah membuat karya sendiri: ornamen dan gelang, tongkat perapian berukir, pisau serbaguna bergagang indah, patung kecil untuk diletakkan di meja. Untuk ulang tahun Katie yang lalu, Row membuatkannya patung perak kecil berwujud perempuan duduk di bawah pohon ek. Ukiran daunnya saja pasti memakan waktu berhari-hari, dan patung itu menjadi benda yang paling disayangi Katie; diletakkan di nakas, tepat di samping tumpukan bukunya. Row seorang seniman ber bakat, tapi logam untuk bahan kerajinan kesukaannya sulit di temukan di Kota. Row kerap pergi, terkadang berhari-hari, dan mencari logam itu di luar kota, di hutan dan dataran. Suatu hari dia mendaki ke utara selama seminggu dan menemukan hutan lebat, yang pinggirannya menyimpan kandungan tembaga yang mengesankan. Row mendambakan kembali ke hutan ini, bahkan meminta izin William Tear untuk memimpin ekspedisi ke utara. Sejauh ini, Tear belum memberinya jawaban.
Mereka melewati pekuburan, sepetak tanah datar kira-kira setengah hektare di bawah pepohonan pinus, dikelilingi oleh pagar kayu yang baru dibangun. Ada yang memasuki permakaman itu, serigala atau barangkali hanya rakun; dalam beberapa minggu terakhir, Melody Banks, yang bertugas menjaganya, menemukan beberapa kuburan terbongkar, isinya berhamburan di seante ro permakaman. Melody enggan menyebut kuburan siapa, dan ja sad mereka sudah kembali dikebumikan. Katie tak terlalu takut pada pekuburan, atau mayat, tapi bahkan dia tak senang membayangkan ada binatang menggali makam orang-orang. Dia lega ketika pemungutan suara dalam rapat Kota memutuskan memagari lokasi itu.
“Suatu hari nanti,” ujar Row, “saat aku berwenang, aku akan menggali tempat ini, dan membakar seluruhnya.”
“Apa yang membuatmu berpikir kau akan memiliki wewe- nang?” tanya Katie. “Mungkin akulah yang berwenang.”
“Mungkin kita berdua,” sahut Row, tersenyum lebar, tapi Ka- tie merasakan nada serius di balik cengiran itu. Dia tak tertarik me mimpin Kota, menangani delapan ratus tugas yang diurus William Tear setiap hari. Namun, ambisi Row nyata. Bahkan di umur lima belas, dia tak senang dengan ketidakefisienan Kota, meyakini dia mampu mengurusnya dengan lebih baik. Dia men - dambakan tanggung jawab, dan menurut Katie dia pasti he bat dalam hal itu; Row terlahir sebagai pemecah masalah. Te tapi sampai saat ini, tak satu pun orang dewasa di Kota yang menge- tahui kualitas tersebut, dan kurangnya pengakuan menjadi subjek yang menjengkelkan bagi Row. Akar ketidakpuasaan Katie agak berbeda. Dia menyukai Kota, menyukai keindahan gagasan sederhana mereka saling men jaga satu sama lain. Tetapi, beberapa tahun terakhir ini, ter ka dang dia merasa terkurung oleh komunitasnya, oleh ke- baikan yang berlebihan, fakta bahwa semua orang seharusnya menjaga yang lain. Katie tak menyukai banyak tetangganya; ba- ginya mereka membosankan, atau bodoh, atau, yang terburuk, munafik, berpura-pura baik lantaran itulah yang diharapkan dari mereka, karena Tear mengawasi. Katie lebih memilih kejujur an meskipun harus mengorbankan sikap sopan. Dia mendamba kan keterbukaan.
Bagian dirinya yang lebih baik menurut Katie berasal dari Mum, yang menjadi salah satu penasihat terdekat Tear, peng- ikut nya yang sangat setia. Katie tak tahu siapa ayahnya; Dia tak me musingkan identitas sang Ayah, tapi kerap bertanya-ta nya apa dari laki-laki misterius dan tak dikenal inilah asal ketidak- puasannya, asal ombak ketidaksabaran yang kian meninggi yang dirasa kan di dalam dirinya, ketidaksabaran yang terkadang ber- batasan dengan kebencian.
“Sempoyongan lagi?” tanya Row, dan Katie tergelak.
“Bukan sempoyongan, hanya berpikir. Tidak ada ruginya.”
Row mengangkat bahu. Kebutuhan Katie untuk menganali sis kedua sisi masalah, bersikap adil dalam pikirannya— sempoyon gan, Row menyebutnya—merupakan naluri yang tak dimiliki pemu da itu. Apa pun yang menurut Row benar, dia tak pernah merasa per lu memikirkannya lebih dalam lagi. Terkadang, itu mem buat Katie marah, tapi juga ada kelegaan di dalamnya. Row tak pernah perlu menengok ke belakang, bertanya-tanya apa dia mengacau, apa sikapnya tak adil. Kesalahan kecil yang diperbuatnya tidak menghantuinya pada malam hari.
Mereka berbelok memasuki Jalan Tinggi, melewati per pus- takaan, tempat pustakawati, Ms. Ziv, baru saja menggiring keluar orang terakhir dari pintu. Perpustakaan berupa bangunan besar, satu-satunya gedung dua tingkat yang bisa dibanggakan Kota. Tidak seperti mayoritas bangunan kota, yang terbuat dari kayu ek, perpustakaan didirikan dari batu bata. Tempat ini adalah kesukaan Katie, selalu gelap dan sepi, dengan buku di mana-mana. Row juga menyukainya meskipun seleranya berbeda dengan Katie; Row selalu menyambangi bagian buku tentang okultis me yang hanya sedikit, tapi itu tak mencegahnya memeriksa dua kali, dan tiga kali. Ada peraturan ketat dalam menyentuh dan mem per lakukan buku, Ms. Ziv akan menukik bagaikan rajawali bila me mergoki ada yang melipat halaman buku atau, amit-amit, melepas sampul plastiknya. Katie pernah bertanya berapa banyak buku di sini, dan Ms. Ziv memberitahunya sambil berbisik bahwa ada hampir dua puluh ribu. Jelas dia berniat membuat Katie terkesan, tapi Katie tak terkesan. Dia menghabiskan dua atau tiga buku per minggu. Jika dia terus melakukannya seumur hidup, dia akan memiliki cukup bahan bacaan, tapi bagaimana kalau dia tak menyukai sebagian besar buku itu? Bagaimana kalau buku yang belum dibacanya dipinjam orang lain? Tidak akan ada buku lagi, tapi jelas akan ada lebih banyak orang. Sepertinya hanya Katie yang memahami bahwa dua puluh ribu itu tidak banyak, bahwa jumlah itu bisa dibilang tidak ada apa-apanya.
Ms. Ziv akhirnya berhasil menyingkirkan pengunjung yang tersisa. Katie melambai padanya, dan pustakawati bertampang cemas itu balas mengangkat tangan, lalu menghilang ke dalam, me nutup pintu perpustakaan di belakangnya.
“Row!”
Katie menoleh dan melihat Anita Berry mendekati mere- ka, hampir terguling dari undakan teras rumahnya. Katie tak ter lalu menyukai Anita, tapi tetap tersenyum, karena efek Row ter ha dap gadis lain tak pernah gagal menghiburnya. Row sangat tampan, bahkan Katie menyadarinya; itu terkadang melintas da lam benaknya, pada kesempatan sangat langka ketika dia me - natap Row dari luar lensa persahabatan mereka. Alam meng anu- gerahinya wajah malaikat: tulang pipi tinggi dengan ce ruk lem but di bawahnya, dan mulut lebar tapi entah mengapa tam pak in dah.
Rambutnya lebat, sangat cokelat sampai nyaris hitam, menjuntai di dahi, hampir menutupi mata hitamnya. Row memiliki daya mag net yang menarik sederetan pemuja, tidak semuanya remaja. Lebih dari sekali, Katie menyaksikan perempuan yang le bih tua merayunya, dan sesekali juga laki-laki yang lebih tua.
“Hai, Anita,” balas Row. “Kami sedang buru-buru; kita bicara di sekolah saja.”
Katie menyembunyikan cengiran selagi mereka berlalu, me ninggalkan Anita yang tampak kecewa. Row menyikut rusuk Katie, dan dia tersenyum lebar pada pemuda itu. Row tahu apa yang diakibatkannya pada para perempuan; itu permainan bagi - nya. Katie merasakan kebanggaan ganjil dalam perhatian ini, ke- banggaan yang tak sepenuhnya dia mengerti. Dia dan Row telah melewatkan ketertarikan sepenuhnya, beralih ke sesuatu yang lebih baik dan lebih kuat daripada seks: persahabatan: erat, setia, dan mengikat, bukan persahabatan seperti yang dilihat Katie di an tara gadis sebayanya, yang tampaknya hanya tertarik bergosip dan menikam dari belakang. Katie tidak pernah tidur dengan laki- laki—hanya sampai pada rabaan sekilas dan canggung bersa ma Brian Lord—tapi persahabatannya dengan Row begitu dalam se hingga dia merasa seks hanya akan memisahkan mereka.
Begitu mereka tiba di rumah Row, pemuda itu berhenti, me natap pintu depan dengan kesal, tempat sang Ibu menunggu. Terlepas dari popularitas Row, tidak ada yang menyukai Mrs. Finn. Dia perempuan penggugup dan cengeng, selalu salah bicara.
Row tak mungkin melakukan kesalahan di mata sang Ibu, tapi dia tak menyayangi ibunya karena kesetiaan itu; perasaan paling mak si mal yang dimilikinya untuk sang Ibu hanya ketidakpe duli- an ber cam pur cemoohan.
“Belum mau masuk?” tanya Katie.
Row tersenyum muram, memelankan suara. “Kadang-ka- dang, aku ingin pindah saja, tahu tidak? Membangun rumah sendiri, di seberang kota … tapi menurutku dia akan mengikutiku ke sana, mengetuk pintuku siang dan malam.”
Katie tak merespons, tapi dalam hati menurutnya Row benar. Ayah Row salah satu sahabat baik Tear, tapi Mr. Finn meninggal tak lama setelah Penyeberangan, dan Mrs. Finn menggelayuti Row dengan keputusasaan yang hampir memalukan. Mrs. Finn memberi gambaran lebih jelas bagi Katie; ibu kandung Katie tak menoleransi omong kosong, tapi dia tegas dan adil, salah satu perempuan paling disegani di kota. Mum hanya memberi Katie sedikit sekali kelonggaran, tapi dia juga tidak mengekang atau mempermalukan Katie di depan orang lain.
“Kita bisa melarikan diri,” Katie menyarankan. “Kabur ke pa dang rumput dan mendirikan tenda. Dia tidak akan pernah menemukan kita di sana.”
“Ah, Rapunzel.” Row memegang pipinya, dan Katie tersenyum tanpa sadar. Pertama kali mereka berkenalan, dia sedang me- nangis di belakang sekolah gara-gara Brian Lord menjam bak ram butnya, menjambak keraskeras, dan Katie tak mau masuk la gi setelah jam istirahat karena Brian pasti ada di sana—Brian du duk di belakangnya, dan menarik rambutnya setiap saat. Mrs. Warren sudah menegur Brian, tapi dia hanya menunggu sampai Mrs. Warren tak melihat sebelum mengulangi lagi. Ketidakadilan situasi ini, kekejamannya, membuat Katie yang berusia enam ta hun menangis, dan dia sedang mempertimbangkan memo- tong rambut, membuatnya sependek rambut Bibi Maddy, ketika Row duduk bersandar di dinding sekolah di sebelahnya. Katie takut padanya—Row anak kelas tiga—tapi Row mendengarkan keluhannya dengan sabar, memeriksa kepalanya, lalu menuturkan cerita Rapunzel, yang rambut panjangnya memungkinkan dia me loloskan diri dari penjara.
Seandainya saja kami bisa, pikir Katie sekarang, gaung dari ketidaksabarannya sebelumnya terhadap Kota. Seandainya saja.
“Row!” Mrs. Finn kini sudah ke luar ke beranda. Dia perem- puan kurus, dengan mata lebar dan memelas, sudut mulutnya me lengkung turun tanda tak senang. Katie, yang berpikir untuk meng undang diri sendiri makan malam di sana, mendadak me- mutuskan pulang. “Row, masuk sekarang!”
“Ibuku barangkali tak bisa menemukan kita,” lanjut Row.
“Tapi ibumu pasti bisa.”
“Kau benar. Mum itu anjing pemburu.”
“Row!” panggil sang Ibu lagi. “Dari mana saja kau?”
Row tersenyum, terjebak, dan tersaruk-saruk melangkah me nuju beranda. Katie berbalik dan melanjutkan menapaki jalan. Row tinggal di salah satu lereng yang lebih tinggi, tapi rumah Katie di puncak bukit, tepat di sebelah rumah William Tear. Tear terlindung dengan baik, diapit rumah Mum dan Maddy Freeman. Tidak seorang pun di kota yang ingin berurusan dengan salah satu dari keduanya.
“Katie!”
Mrs. Gannett, memanggil dari terasnya. Katie ingin terus ber - jalan—Mrs. Gannett gemar bergosip—tapi hal seperti itu selalu sam pai ke telinga Mum. Katie pun berhenti dan melambai.
“Dia di rumahmu,” Mrs. Gannett memberi tahu Katie.
“Siapa?”
“Kau tahu.” Mrs. Gannett memelankan suara sehingga ham - pir berbisik. “Dia. Tear.”
Dengan susah payah, Katie menahan diri agar tak memutar bola mata. Dia sadar dia seharusnya memuja Tear, seperti semua orang, tapi setiap kali mendengar ada yang menyebut nama Tear dengan takzim, sisi pemberontak dalam dirinya ingin menghina Tear dan membuktikan Tear tidak terlalu berarti. Namun, Katie tak berani. Ada sesuatu pada diri Tear, barangkali hanya karena caranya menatap Katie, mata kelabunya tajam menusuk. Mata itu membuat Katie ngeri. Mata itu seolah-olah bisa melihat menembus inti dirinya, hal-hal yang dia tak ingin diketahui orang lain. Katie tak pernah mencoba berbicara langsung pada Tear.
Katie menyukai Lily, istri Tear—bukan istri, benaknya meng- ingatkan; William Tear dan Lily tak pernah menikah—tapi se- mua orang menyukai Lily. Dia salah satu perempuan jujur yang dikenal Katie, tapi Katie merasakan kejujuran Lily diperoleh dengan upaya keras, sebab juga ada penderitaan pada diri Lily, ke sedihan yang sesekali dipergoki Katie saat Lily mengira tidak ada yang memperhatikan. Apa William Tear juga melihatnya? Tentu saja karena Tear tampaknya melihat segalanya. Matahari baru mulai terbenam ketika Katie mendaki bu kit, tapi semua lampu telah menyala, berkelip lembut saat lilin di da- lamnya tertiup angin malam sepoi-sepoi. Itu satu lagi pe kerjaan magang yang bisa dipilih Katie: belajar membuat lilin. Dia tidak tertarik dekat-dekat dengan sarang lebah Kota, tapi Mum berkata peternakan lebahnya terpisah, pembuat lilin hanya harus ber- urus an dengan lilin lebah. Katie tak tahu mengapa masa magang menyita pikirannya hari ini; magang masih berbulan-bulan lagi. Barangkali lantaran itu merupakan pertanda pasti bahwa dia ber tambah dewasa. Dia lelah menjadi anak kecil.
“Katie!”
Dia mendongak dan menemukan Mum menunggunya di beranda, berkacak pinggang. Rambutnya digelung berantakan dan b aju nya diciprati sesuatu yang mirip semur. Kadang-kadang, ibu nya membuat Katie sinting, tapi pada hari lain contohnya hari ini, Katie diterpa gelombang sayang mendadak untuk sang Ibu, yang sangat keras kepala sehingga menolak memakai celemek selagi memasak. “Ayo masuk, Gombal,” kata Mum, memeluknya dan meng- giringnya ke dalam. “Kita ada tamu.” Semua lampu di rumah sudah dinyalakan, dan sementara mata Katie menyesuaikan diri dengan cahaya temaram ruang duduk, dia melihat William Tear dan Bibi Maddy di dekat perapian, ber bicara pelan.
“Nona Katie,” sapa Bibi Maddy, berputar. “Apa kabar?”
Katie memeluknya senang; walaupun Maddy Freeman bu- kan bibi kandungnya, Katie menyayanginya hampir sebesar dia menyayangi Mum. Bibi Maddy tahu cara bersenang-senang; sepanjang ingatan Katie, Bibi Maddy-lah yang selalu memikirkan per mainan seru, atau cara untuk melewatkan sore yang hujan di dalam rumah. Tetapi, dia juga pendengar yang baik. Bibi Maddy yang memberi tahu Katie tentang seks saat berumur sembilan tahun, dua tahun sebelum Mrs. Warren menyinggung subjek itu di sekolah dan lama sebelum Katie berani mengungkit topik itu pada Mum.
Pelukan Bibi Maddy hampir meremukkan Katie. Dia cukup kuat untuk bekerja di pertanian, atau peternakan, tapi jika Bibi Maddy memiliki pekerjaan, penasihat William Tear-lah pe kerja- annya. Mum, Bibi Maddy, Evan Alcott … Tear tak pernah pergi ke mana pun tanpa didampingi sedikitnya dua orang dari mereka, dan walaupun Katie memiliki dilema mengenai Tear, mau tak mau dia merasa bangga setiap melihat Mum atau Bibi Maddy di sisi laki-laki itu.
“Ayo ke pekarangan belakang denganku, Katie,” ajak Bibi Maddy, dan Katie mengikuti, penasaran apa dia terkena masalah. Bibi Maddy tak memiliki anak kandung untuk dikhawatirkan, jadi dia punya terlalu banyak waktu untuk mengawasi Katie. Pekarangan belakang mereka terhampar luas, dipisahkan da ri rumah lain hanya dengan pagar kayu bulat yang didiri kan Mum untuk mencegah masuknya anjing Caddell. Matahari meng- gan tung rendah di atas rumah-rumah, bola jingga menyil aukan yang baru menyentuh cakrawala. Katie masih bisa mende ngar teriakan anak lain, beberapa rumah jauhnya, tapi mereka akan segera diam. Kota selalu sunyi pada malam hari.
Bibi Maddy duduk di bangku kayu lebar di bawah pohon apel dan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya.
“Duduklah, Katie.”
Katie pun duduk, kecemasannya meningkat. Dia hampir tak pernah bertingkah nakal, tapi bila itu terjadi, biasanya Bibi Maddy yang memergoki. “Kau akan mulai jadi pemagang tahun depan,” komentar Bibi Maddy. Jadi, ini diskusi tentang masa depan, bukan masa lalunya.
Katie berubah santai dan mengangguk.
“Kau sudah punya bayangan ingin melakukan apa?”
“Aku ingin bekerja di perpustakaan, tapi kata Mum se mua orang ingin bekerja di sana dan ada persaingan sengit untuk di terima.”
“Benar. Ms. Ziv memiliki lebih banyak asisten daripada yang dibutuhkannya. Apa pilihan keduamu?”
“Apa saja, kurasa.”
“Kau tidak peduli?”
Katie mendongak dan menemukan, yang membuatnya lega, dia bukan sedang bicara pada Bibi Maddy yang disiplin. Ada dua Bibi Maddy, dan yang ini simpatik, seseorang yang menolong Katie menyembunyikan gaun yang dirusaknya dalam gulat lum pur waktu berumur tujuh tahun.
“Aku cuma tak tertarik,” Katie mengakui.
“Aku tahu ada beberapa pekerjaan magang yang jelas kubenci, contohnya beternak lebah. Tapi, bahkan yang tidak kubenci, aku hanya tidak pe duli.”
Tanpa disangka-sangka, Bibi Maddy tersenyum. “Aku punya pekerjaan magang untukmu, Nona Katie, yang menurutku kau sukai. Ibumu menyetujuinya, tapi ini harus dirahasiakan.”
“Pekerjaan magang apa?”
“Kau tidak boleh memberi tahu siapa pun.”
“Bahkan Row?”
“Terutama Row,” jawab Bibi Maddy. Ekspresinya sangat se rius, dan protes yang akan diutarakan Katie pun mati di bibir- nya.
“Aku bisa menyimpan rahasia,” sahut Katie.
“Bagus.” Bibi Maddy diam sejenak, jelas sekali tengah memilih kata-kata. “Sewaktu menyeberangi lautan, kita meninggalkan sen jata, dan begitu juga kemampuan kita membela diri dari ke- ke rasan. Kita tidak percaya akan membutuhkan hal semacam itu di sini. Kau pernah membaca tentang senjata, kan?”
Katie mengangguk perlahan, memikirkan buku di samping tempat tidur, yang di dalamnya orang menembak orang lain de- ngan senjata api. Tidak ada senjata api di Kota, hanya pisau dan panah, untuk berburu dan berdagang. Bahkan, tak seorang pun diizinkan membawa pisau di jalanan.
“Sebelum Penyeberangan, ibumu dan aku sama-sama dilatih sebagai senjata,” gumam Bibi Maddy, tatapannya terpancang di suatu tempat yang jauh. “Kami memiliki senjata api tapi tidak mem butuhkannya. Kami belajar membunuh dengan tangan kosong.”
“Membunuh orang?” Katie mengerjap, berusaha memaha mi gagasan tersebut. Hal semacam itu selalu terjadi dalam buku, tapi itu sekadar cerita. Dia mencoba membayangkan Bibi Maddy atau Mum membunuh seseorang, dan mendapati dia bah kan tak memiliki gambaran seperti apa itu kelihatannya. Sepengetahu annya, hanya satu orang di kota yang pernah tewas aki bat ke kerasan, dan dia dibunuh oleh serigala yang mencari mangsa dari dataran, bertahun-tahun lalu. Ada perdebatan me nge nai itu dalam rapat, meskipun waktu itu Katie terlalu ke cil untuk me- mahaminya. Beberapa orang mendesak agar ada penjaga ditem- patkan di sekeliling perbatasan Kota, penjaga ber senjata panah. Keputusan semacam itu selalu diambil dengan pe mu ngutan suara demokratis, tapi William Tear menentang mosi ter sebut, dan bila William Tear berkata tidak, hanya ada satu ke mungkinan hasil pemungutan suara. Katie menunduk menatap tangan Bibi Maddy, lalu lengannya, yang berotot dan penuh be kas luka.
“Jadi, itu sebabnya kau selalu mengikuti William Tear ke mana-mana?” tanya Katie. “Siapa tahu kau harus membunuh se se orang?”
Kali ini giliran Bibi Maddy yang mengerjap. “Tentu saja tidak. Kami hanya ingin hadir siapa tahu dia membutuhkan sesuatu.”
Bibi Maddy baru saja membohonginya, pikir Katie. Dia tak tersinggung; orang dewasa selalu berbohong, alasannya pun se- ring sekonyol alasan anak-anak. Tetapi aneh, dalam percakapan dengan begitu banyak kejujuran lain yang mengejutkan, Bibi Maddy merasa perlu berbohong mengenai yang satu ini.
“Kami ingin memulai pekerjaan magangmu lebih awal, Katie. Bulan depan. Kami ingin melatihmu, seperti ibumu dan aku di- latih, untuk menghadapi kekerasan bila terjadi.”
“Kenapa? Kekerasan apa?”
Wajah Bibi Maddy seakan-akan tertutup. Bahkan, matanya berubah hampa oleh kerahasiaan.
“Mungkin tidak ada kekerasan apa-apa, Katie. Ini hanya tindakan pencegahan.”
Kebohongan lagi, dan Katie merasa kemarahan kini bangkit dalam dirinya, binatang yang merunduk, menunggu.
“Apa ini ada hubungannya dengan permakaman?” tanyanya, teringat kuburan yang terbongkar, isinya berserakan dengan meng- enaskan di rerumputan. Menurut mereka itu ulah binatang, tapi dalam hati Katie bertanya-tanya. Bukankah binatang pasti mengubrak-abrik semua tempat? Apa pun yang menggali ku bur- an itu jelas mengincar tiga atau empat makam tertentu.
“Tidak,” jawab Bibi Maddy. “Tapi bisa saja ada ancaman lain.
Anggap dirimu sebagai langkah preventif.”
“Cuma aku?” tanya Katie, memikirkan ukuran tubuhnya. Dia tidak mungil, tapi juga tak tinggi, dan dia ramping. Terlatih atau tidak, seandainya harus melawan laki-laki dengan tangan ko song, dia mungkin kalah.
“Tidak. Kami sudah memilih beberapa anak muda. Teman- mu Virginia. Gavin Murphy. Jonathan Tear. Lear Williams. Jess Alcott. Dan beberapa orang lagi.”
“Tapi Row tidak terpilih?”
“Tidak. Rowland Finn tidak akan menjadi bagian dari ini, dan dia tak boleh tahu soal ini.”
Sejenak Katie merasakan kemarahan mulai menggeliat. Row memiliki banyak bakat; kenapa orang dewasa tidak melihatnya, setidaknya sekali? Kurangnya pengakuan menyakiti Row, wa- laupun dia berusaha keras menyembunyikannya, dan Katie ikut merasakan sakit hati itu seolah-olah bagian dari diri sendiri.
“Kau mau melakukannya?” tanya Bibi Maddy.
Katie menelan ludah, berjuang menjinakkan binatang dalam dirinya. Dia memang ingin melakukannya, tapi itu berarti menyimpan rahasia dari Row. Apa dia bahkan mampu berbuat begitu? Mereka tak punya rahasia. Row tahu segalanya tentang dia.
“Boleh aku memikirkannya?”
“Tidak.” Suara Bibi Maddy ramah tapi tegas. “Kau harus me mutuskan sekarang.”