The Fates Divide

Mizan Publishing
Chapter #3

BAB 2 CISI

AKU TAHU SEPERTI APA rasanya menyaksikan salah satu anggota keluarga meninggal. Lagi pula, aku Cisi Kereseth.

Aku menyaksikan Dad meninggal di lantai ruang keluarga kami. Aku menyaksikan Eijeh dan Akos diseret para prajurit Shotet. Aku menyaksikan Mom memudar bagaikan kain disinari matahari. Tidak banyak yang tidak kupahami tentang kehilangan. Aku hanya tidak bisa mengekspresikannya seperti orang lain. Berkah-Arusku membuatku menyembunyikannya dengan rapat.

Jadi, aku agak iri melihat Isae Benesit, kanselir Thuvhe yang terpilih oleh takdir sekaligus temanku, bisa membiarkan dirinya berduka. Dia mencurahkannya dengan emosi, kemudian kami tertidur, bersebelahan, di dapur kecil kapal pengungsi Shotet.

Saat aku terbangun, punggungku sakit karena terlalu lama bersandar ke dinding. Aku bangkit dan memiringkan tubuh ke kiri, ke kanan, sambil memperhatikan Isae.

Keadaan Isae kelihatan tidak bagus, yang kukira wajar, karena saudari kembarnya, Ori, baru saja meninggal kemarin, di sebuah arena penuh orang Shotet yang bersorak menginginkan darahnya.

Keadaan Isae juga terasa tidak bagus, tekstur di sekelilingnya seolah-olah dilapisi sesuatu, seperti gigi yang belum disikat. Matanya menatap seisi ruangan, bergantian memandangi wajah dan tubuhku, tetapi bukan dengan cara yang bisa membuat seseorang tersipu. Aku mencoba menenangkannya dengan berkah-Arusku, mengirimkan perasaan halus, bagaikan membuka gulungan benang sutra. Namun, sepertinya itu tidak terlalu berguna.

Berkah-Arusku ganjil. Aku tak tahu bagaimana perasaan Isae secara pasti, tetapi aku bisa merasakannya, bagaikan sebuah tekstur di udara. Dan, aku juga tidak dapat mengendalikan perasaannya, tetapi bisa memberi saran. Terkadang, butuh beberapa kali percobaan, atau suatu cara baru untuk memikirkannya. Jadi, bukannya sutra, yang tidak berdampak apa-apa, aku mencoba air, berat, berombak.

Ini terlalu kuat. Dia terlalu gelisah. Terkadang, ketika perasaan seseorang terlalu kuat, sulit bagiku untuk memengaruhinya.

“Cisi, bisakah aku memercayaimu?”

Itu suatu kata Thuvhesit yang lucu, bisa. Itu adalah bisa dan harus dan mesti yang digabungkan, dan kau hanya bisa memahami arti yang sebenarnya dari konteks percakapan. Terkadang, kata ini mengakibatkan kesalahpahaman, yang mungkin menjadi alasan orang-orang dari luar planet mendeskripsikan bahasa kami dengan istilah “licin”. Mungkin itu benar, dan orang-orang dari luar planet memiliki sifat malas.

Jadi, ketika Isae Benesit bertanya dalam bahasa ibuku, apakah dia bisa memercayaiku, aku belum mengetahui pasti apa maksudnya. Meskipun begitu, hanya ada satu jawaban.

“Tentu saja.”

“Aku sungguh-sungguh, Cisi,” dia berkata lagi, dengan suara rendah yang biasa dia gunakan saat sedang serius. Aku menyukai suara itu, bagaimana bunyi itu mendengung dalam kepalaku. “Ada sesuatu yang harus kulakukan, dan aku ingin kau ikut bersamaku, tapi aku khawatir kau tidak akan—”

“Isae,” aku menyela. “Aku di sini untukmu, apa pun yang kau butuhkan.” Aku menyentuh pundaknya lembut dengan jemariku. “Oke?”

Dia mengangguk.

Dia mendahuluiku keluar dari dapur, dan aku berusaha untuk tidak menginjak pisau dapur. Setelah mengurung diri di sini, dia mengeluarkan semua laci, merusak semua yang berada dalam jangkauannya. Lantai penuh sobekan kain, pecahan gelas, plastik kusut, dan perban-perban yang gulungannya terbuka. Kukira aku tidak boleh menyalahkannya.

Berkah-Arusku mencegahku melakukan atau mengucapkan sesuatu yang aku tahu akan membuat orang lain merasa tidak nyaman. Artinya, setelah ayahku meninggal, aku tidak dapat menangis kecuali saat sedang sendirian. Selama beberapa bulan, aku tak dapat bicara banyak pada Mom. Jadi kalau aku bisa merusak dapur, seperti yang Isae lakukan, mungkin aku akan melakukannya. Aku mengirimkan beberapa berkas feathergrass yang ringan, juga kayu keras yang mengilap, aku mengirimkan minyak hangat dan logam tumpul. Tidak ada yang berfungsi. Aku kesal padanya, frustrasi. Mengapa aku tidak bisa melakukan apa pun untuk membantunya?

Aku mengikuti Isae keluar. Kami melewati jasad Ori. Ada sehelai seprai yang diselipkan dengan rapi ke bagian bawah tubuh Ori, sehingga yang terlihat hanya kemiringan pundaknya, tonjolan hidung dan pipinya. Hanya suatu impresi tentang siapa dirinya. Isae berhenti di sana, menarik napas tajam. Dia terasa semakin kasar daripada sebelumnya, bagaikan butiran pasir menggesek kulitku. Aku tahu, aku tidak bisa menenangkannya, tetapi karena terlalu mengkhawatirkannya, aku tetap mencoba.

Aku berpikir, selama sedetik, untuk meminta bantuan. Akos dan Cyra ada di dek navigasi. Mom di suatu tempat di bawah. Bahkan, teman pemberontak Akos dan Cyra, Teka, berada di sana, terbaring di bangku panjang dengan rambut pirang nyaris putih yang tergerai di punggungnya. Namun, aku tidak bisa memanggil mereka. Pertama, aku hanya tidak bisa—tidak mampu menyebabkan kegundahan, berkat berkahArusku—dan yang kedua, naluri memberitahuku bahwa lebih baik jika aku bisa mendapatkan kepercayaan Isae.

Isae mendahuluiku turun, ke tempat dua lemari penyimpanan dan satu kamar mandi berada. Mom berada di dalam kamar mandi. Aku tahu dari suara air daur ulang memercik. Di dalam satu bagasi— yang memiliki jendela, aku memastikan itu—ada adik lelakiku yang lain, Eijeh. Hatiku sakit saat melihatnya lagi, lama setelah penculikan. Dia terlihat sangat kecil dibandingkan Ryzek Noavek yang berkulit pucat dan menjulang di sebelahnya. Kalian pasti berpikir, jika orang-orang semakin tua, mereka seharusnya semakin kuat, semakin gempal. Namun, Eijeh tidak.

Satu bagasi lain—yang berisi peralatan kebersihan—mengurung Ryzek Noavek. Hanya mengetahui bahwa dia sedekat itu, lelaki yang memerintahkan adik-adikku diculik dan ayahku dibunuh, membuatku gemetar. Isae berhenti di antara dua pintu, kemudian aku tersadar bahwa dia akan menuju salah satu ruangan itu. Dan, aku tidak ingin dia pergi ke sel Eijeh.

Aku tahu, Eijeh-lah yang membunuh Ori, secara teknis. Maksudnya, Eijeh-lah yang menggenggam pisau pembunuh Ori. Namun, aku mengenal adikku. Dia tidak akan pernah mampu membunuh siapa pun, terutama sahabatnya sejak kecil. Pasti ada penjelasan lain tentang peristiwa itu. Pasti itu kesalahan Ryzek.

Lihat selengkapnya