Aku tengah terkantuk-kantuk ketika mendengar teriakan. Suara tersebut menusuk kepalaku seperti peluru morta, melakukan hal-hal membingungkan di benakku, nyaring dan menakutkan seolah-olah itu terjadi di sini dan saat ini juga.
Selepas suara, datanglah penglihatan: biru, warna biru. Kabut biru mirip awan di tanah. Menyelubungi benakku, menggusur semua pikiran lain, kenangan lain. Ketika penglihatan itu akhirnya lenyap, kebingunganku pun ikut sirna. Namun, aku selalu yakin bahwa ada sesuatu mahapenting yang tidak kembali kepadaku.
Aku mendadak duduk tegak di lantaiku di atas pohon, penglihatan itu beserta rasa kantuk tersapu bersih dariku. Pada pagi hari, aku hampir selalu berada di pohonku—poplar besar yang tinggi menjulang ke langit dengan kanopi dedaunan membentang luas. Dua puluh balok pendek yang dipakukan di batangnya menjadi saranaku memanjat. Delapan papan lebar kasar menjadi lantaiku ketika aku tiba di atas sana. Selembar kain kedap air yang kuminyaki sendiri terentang di atas dahan-dahan dan diikat dengan tali yang kupulung menjadi atapku. Tetapi bukan itu yang kupikirkan, sebab ada teriakan mendenging di telingaku dan itu bukan dari kabut biru, yang rupanya hanya ada dalam benakku. Teriakan yang ini berasal jauh dari bawah.
Aku meluncur ke tepi papan dan melongok ke bawah, tempat teriakan itu terdengar sekali lagi. Kali ini disertai gonggongan anjing penyerang. Keributan itu menghancurkan suasana pagi yang tadinya damai.
Wugmort biasanya tidak berteriak saat pagi hari ataupun waktuwaktu lain pada siang maupun malam. Aku bergegas menuruni balok pendek yang dipakukan ke batang pohonku. Kakiku yang bersepatu bot menginjak tanah, dan aku menoleh ke kanan dulu lalu ke kiri. Susah bagiku mengetahui arah teriakan dan gonggongan itu. Di tengah-tengah pepohonan, suara-suara memantul dan menggema membingungkan.
Ketika melihat apa yang mendekatiku, aku berbalik dan mulai berlari sekencang-kencangnya. Anjing penyerang itu meluncur cepat dari balik rimbunan pepohonan, memamerkan taring sedangkan bagian belakang tubuhnya bersimbah keringat, bukti dari tenaga yang dikerahkannya.
Aku gesit untuk ukuran perempuan Wug, tapi tidak ada Wug, lakilaki maupun perempuan, yang mampu berlari lebih kencang daripada anjing penyerang. Bahkan selagi berlari, aku menyiapkan diri merasakan taringnya di kulit dan tulangku. Tetapi binatang itu memelesat melewatiku dan menggandakan kecepatan, lenyap dari pandanganku dengan seketika. Hari ini aku bukan mangsanya.
Aku melirik ke kiri dan melihat sekelebat warna hitam—tunik hi-tam di antara dua pohon.
Dewan ada di dekat sini. Anjing penyerang itu pasti dilepaskan oleh mereka.
Tapi apa alasannya? Dewan, dengan satu perkecualian, terdiri dari kaum lelaki, mayoritas anggotanya Wug yang lebih tua, dan mereka hanya bergaul dengan sesama. Dewan menetapkan hukum dan peraturan serta dekrit lain yang harus dipatuhi seluruh Wug, kami semua hidup damai dan bebas, meskipun tidak dalam kemewahan.
Kini, mereka berada di hutan dengan anjing yang memburu sesuatu. Atau mungkin Wug lain? Pikiranku berikutnya adalah apakah ada pelarian dari Valhall, penjara kami. Namun, tak pernah ada Wug yang melarikan diri dari Valhall. Dan kalaupun itu terjadi, aku ragu anggota Dewan akan berusaha meringkus mereka. Dewan punya cara lain untuk menangkap Wug jahat.
Aku terus berlari, mengikuti gonggongan serta derap kaki kencang itu dan segera saja menyadari bahwa kakiku membawaku sangat dekat dengan Quag. Quag adalah penghalang tak tertembus yang mengelilingi Wormwood bagaikan jerat. Hanya itu yang ada: Wormwood dan Quag. Tidak ada yang pernah memasuki Quag sebab makhluk-makhluk buas di sana akan mencabik-cabikmu dalam sekejap. Dan mengingat tidak ada apa-apa di balik Quag, maka tak pernah ada pengunjung ke Wormwood.
Aku mendekati perbatasan—tempat paling menakutkan yang sejak kecil para Wug berkali-kali diperingatkan untuk menghindarinya. Aku memelankan langkah dan kemudian berhenti beberapa meter dari tempat Quag bermula. Jantungku berdebar kencang dan paru-paruku seakan-akan meledak, bukan hanya gara-gara berlari, melainkan karena berada sedekat ini dengan tempat yang hanya berisi kematian bagi siapa saja yang cukup bodoh untuk berkeliaran memasukinya.
Gonggongan kini berhenti, begitu pula bunyi derap kaki. Aku menoleh ke kiri dan melihat kelebatan anjing dan anggota Dewan menatap ke kedalaman Quag. Aku tak bisa melihat wajah mereka, tapi kubayangkan ekspresi mereka juga penuh kengerian seperti aku. Bahkan, anjing penyerang pun tak mau memasuki Quag.
Aku mengembuskan napas panjang lagi dan saat itulah terdengar bunyi dari sisi kananku. Aku menoleh ke sana dan dalam satu momen mencengangkan, aku menyadari melihat seseorang lenyap ke balik sulur-sulur tanaman rambat yang centang perenang dan pepohonan bengkok yang menjulang bagaikan barikade di sekitar perimeter Quag. Dan dia adalah Wug yang kukenal baik.
Aku berpaling ke kiri untuk melihat apakah ada anggota Dewan atau anjing yang memergoki ini, tapi sepertinya tidak. Aku kembali berbalik, tapi sosok itu sudah lenyap. Aku bertanya-tanya apakah aku hanya membayangkannya. Tidak ada Wug yang mau menjelajahi tempat mengerikan itu dengan sukarela.
Ketika sesuatu menyentuh lenganku, aku nyaris menjerit. Sebenarnya, aku malah hampir ambruk ke tanah, tapi sesuatu itu, yang rupanya tangan seseorang, menahanku agar tetap berdiri.
“Vega Jane? Kau Vega Jane, bukan?”
Aku menoleh dan mendongak menatap wajah bulat Jurik Krone. Dia tinggi, kuat, berusia 45 musim, dan anggota Dewan yang kariernya menanjak cepat.
“Aku Vega Jane,” aku berhasil bicara.
“Apa yang kau kerjakan di sini?” tanyanya. Nada suaranya tak galak, hanya bertanya, tapi ada kekejaman yang tersembunyi dalam matanya.
“Aku sedang di pohonku sebelum pergi ke Stacks. Aku mendengar teriakan dan melihat anjing-anjing itu. Aku melihat Wug bertunik hitam, jadi aku ... aku ikut lari.”
Krone mengangguk mendengar itu. “Ada lagi yang kau lihat?” tanyanya. “Selain tunik hitam dan anjing?”