The Finisher

Mizan Publishing
Chapter #3

Hector dan Helen

Setelah bel yang menandakan akhir sif kerja di Stacks berdering, aku mengenakan pakaian usangku lagi dan melangkah pulang ke Wormwood. Aku sangat tak sabar sehingga ingin berlari sepanjang jalan. Seandainya saja sekarang sudah malam, aku bisa pergi ke pohonku, tapi tidak ada yang bisa kulakukan untuk mempercepat waktu.

Ruteku menuju Wormwood tak butuh waktu lama. Wormwood tidak membentang luas, kota ini padat, mirip tinju kecil yang menanti untuk menonjok sesuatu. Deretan toko terletak berseberangan di High Street, yang terbuat dari batu turap bergelombang. Toko-toko itu menjual semua barang yang dibutuhkan para Wugmort, seperti pakaian, sepatu, bahan makanan pokok, piring, dan gelas. Toko kimia menjajakan herba penyembuh, balsam, dan perban. Bahkan, ada tempat yang menjual rasa bahagia untukmu, yang sepertinya stoknya terbatas di sini. Katanya bisnis toko itu maju. Kami tahu hidup kami sejahtera di Wormwood, tapi rupanya kami sulit memercayainya.

Sembari melangkah, benakku berpusar. Krone dan Dewan mengejar Quentin, yang kabur ke Quag. Aku memergokinya sekilas sebelum dia benar-benar lenyap. Aku melihat ekspresi wajahnya. Penuh kengerian, tapi diwarnai kelegaan. Lega karena memasuki Quag? Benakku nyaris tak mampu memikirkan hal semacam itu.

Dengan gontai aku melewati Loons. Tempat itu menjadi rumahku selama dua musim terakhir, sejak ibu dan ayahku dikirim ke Panti Perawatan. Loons merupakan bangunan persegi dari kayu reyot, kaca kotor, dan atap sirap retak-retak. Terdiri dari dua lantai dengan lima ruang tidur kecil di lantai atas dan enam penghuni setiap kamar. Itu berarti tiga puluh Wugmort yang jorok tinggal berdesak-desakan.

Itulah sebabnya aku lebih suka pohonku.

Aku melewati pintu depan Loons, dan seorang Wugmort yang kukenal baik melangkah ke luar. Namanya Roman Picus dan dia pemilik Loons. Dia berpakaian seperti biasanya: semacam topi koboi yang tengahnya berlekuk, denim biru yang tak terlalu bersih, kemeja putih, rompi hitam, sepatu bot jingga-merah mengilap dari kulit garm, dan mantel panjang berminyak. Dia memiliki kumis panjang yang menurun di kedua sisi wajah, melengkung mirip kail di pipinya yang merah terbakar matahari. Jam saku perunggu berat yang dihubungkan dengan rantai halus menjuntai di bagian depan rompinya. Pada bagian atas jam terdapat beberapa fase siang dan malam yang dibagi dalam kompartemen masing-masing.

“Selamat terang, Vega,” sapanya enggan.

Aku mengangguk ke arahnya. “Selamat terang, Roman.”

“Pulang dari Stacks?”

“Ya. Aku mau menjemput John dari Sekolah lalu kami akan bertemu Delph di Panti Perawatan.”

Roman mendengus keras. “Kenapa kau membuang-buang waktu bersama si tolol tak berguna itu, aku tidak pernah tahu. Tapi kurasa kau juga tidak memandang dirimu terlalu tinggi, dan aku terpaksa sependapat denganmu dalam hal itu, Perempuan.”

“Kalau menurutmu Delph tidak berguna, kenapa tidak kau tantang saja dia di Duelum mendatang?”

Wajahnya memerah. “Aku sudah terlalu tua untuk Duelum. Tapi semasa kondisiku masih prima, Perempuan—”

“Dan berapa Duelum yang kau menangkan saat kondisimu prima, Laki-laki?”

Roman merengut. “Sebaik kau belajar, Vega,” geramnya. “Ikutilah kemauan orang lain agar bisa hidup rukun.”

“Omong-omong soal mengikuti orang, kau mau ke mana, Roman?”

Dia terlihat seolah-olah aku menamparnya. “Kau menanyaiku hal seperti itu?”

“Kita kan sedang berbincang akrab, aku ingin terus mengobrol.”

“Kau mau dilaporkan ke Dewan, Vega?”

“Tentu saja. Kudengar bila melakukan tiga atau lebih pelanggaran, Wug itu dapat semacam hadiah.”

“Aku tak punya waktu luang untuk jengkel pada orang miskin sepertimu.” Tetapi kemudian dia diam sesaat dan mengamatiku. “Quentin Herms?” tanyanya.

“Kenapa dia?”

“Kudengar dia melarikan diri.”

“Mungkin,” ujarku hati-hati.

Roman mengedikkan bahu dan menatap sepatu botnya. “Janganjangan dia dimakan garm. Har.”

“Jadi, seluruh uang sewa ditarik untuk seperempat musim?” tanyaku, sengaja mengubah topik pembicaraan. Aku enggan membahas Quentin Herms.

Dia tersenyum licik dan mengulurkan tangan besar kotornya. “Omong-omong soal itu, biar kuambil biaya sewamu sekarang, Vega.”

Aku mengulurkan secarik perkamen kecil berisi tulisan dan stem-pel. “Aku sudah bayar sepulang mengantar John ke Sekolah. Juru tulismu mengembalikan sedikit koin karena aku membayar sendiri sehingga dia tak perlu repot-repot mengambilnya.”

Senyum Roman berubah jadi kernyitan. “Oh, benarkah? Yah, nanti kuperiksa.”

“Kau memang besar mulut, Roman.”

Lihat selengkapnya