Aku selalu mengira mereka akan mendatangiku pada malam hari, tapi keenam laki-laki itu justru muncul di ladang pada siang bolong. Saat itu masa panen. Seluruh warga permukiman bangun dini hari dan bekerja hingga larut malam. Panen subur tak pernah terjadi di wilayah gersang yang terbuka bagi Omega. Musim yang lalu, hujan lebat melepaskan abu yang terkubur dalam-dalam di tanah. Sayuran akar1 tumbuh kecil-kecil, atau malah tidak sama sekali. Tanaman kentang di seisi ladang tumbuh ke bawah—kami menemukan kentang terbenam hampir dua meter di bawah permukaan yang kotor. Seorang anak laki-laki tenggelam ketika menggalinya. Kedalaman lubangnya hanya beberapa meter, tapi dinding lempungnya roboh. Anak itu tak pernah muncul lagi. Terpikir olehku untuk pindah, tapi semua area di lembah tergenang air, dan tak satu pun permukiman mau menyambut pendatang pada musim kelaparan.
Jadi, aku tetap tinggal dan menghadapi tahun suram itu. Orang-orang bertukar cerita tentang kekeringan, ketika gagal panen tiga tahun berturut-turut. Saat itu aku memang masih kecil, tapi aku ingat melihat bangkai ternak yang mati kelaparan, yang lelah membanting tulang mengarungi ladang debu. Tapi itu lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kali ini tidak akan separah tahun-tahun kekeringan, begitulah cara kami saling menghibur, seolah dengan terus mengucapkannya harapan kami akan terwujud.
Musim semi berikutnya, kami mengamati tangkai-tangkai di ladang gandum dengan saksama. Panen awal muncul dengan menjanjikan—wortel panjang dan besar yang kami gali tahun itu membuat anak-anak muda tertawa gembira. Dari petak kecilku sendiri, aku memanen sekarung besar bawang putih yang kubopong ke pasar seperti membawa bayi. Sepanjang musim semi aku mengamati gandum di ladang milik bersama tumbuh tinggi dan mantap. Lavendel di belakang pondokku dirubungi lebah dan, di dalam, rak-rakku penuh dengan makanan.
Mereka datang pada pertengahan masa panen. Aku sudah merasakannya. Kalau boleh jujur, perasaan ini sudah muncul selama berbulan-bulan. Dan firasat itu sangat jelas sekarang, kewaspadaan mendadak yang tak bisa kujelaskan kepada siapa pun selain peramal. Rasanya seperti ada yang bergerak: seperti awan yang melintasi matahari, atau angin yang berubah arah.
Aku menegakkan tubuh, menggenggam sabit, dan memandang ke selatan. Aku mulai berlari sebelum teriakan terdengar dari ujung permukiman. Saat suara jeritan semakin keras dan muncul enam laki-laki berkuda, orang-orang lain juga ikut berlari—bukan kejadian aneh jika Alpha menyerbu permukiman Omega, mencuri apa pun yang berharga. Tapi, aku tahu apa yang mereka buru. Aku juga tahu bahwa percuma saja kabur. Bahwa seharusnya sejak enam bulan yang lalu aku mengindahkan peringatan ibuku. Bahkan saat aku merunduk di pagar dan berlari kencang ke tepi permukiman yang dipenuhi batu besar, aku tahu mereka akan menangkapku.