The Fivebreakwater

Maina Zegelman
Chapter #3

2. Rumah makan yang kecil tapi di dalam

Aul dan Intan heran dengan apa yang dialami mereka. Rumah makan, tapi penampilan mereka begitu rapi.

Mereka semua berlutut kepada kedua wanita itu. Aul menatapnya dengan saksama. Para pegawai membagi dua barisan, seperti menyambut tamu militer.

Kemudian, ia menghadapkan wajahnya ke depan. Terlihat, rumah makan itu jelek dari penampilan luarnya. Penuh dengan bangunan kayu yang tertutup. Tapi pas masuk, rasanya sulit dipercaya. Tampak seperti kafe kekinian.

Sampai sahabatnya melongo, dan garuk-garuk kepala melihat ini.

"Wah!!! Ini konsepnya bagaimana?"

Konsepnya unik. Campuran antara konsep rumah gadang, dan rumah ala eropa zaman penjajahan sekali. Apalagi penuh dengan foto-foto yang super jadul, di mana penuh dengan wajah-wajah orang Minang, yang bisa diperkirakan, mungkin saat itu mereka dan orangtua mereka belum lahir. Betapa mewahnya pakaian orang Minang pada masa itu, semua memakai selendang dan baju kuruang, sungguh sangat Muslimah sekali.

Ada barang-barang antik, buku-buku novel dan juga di sana ada Wifi. Konsepnya sungguh kontemporer sekali.

"Wah ..., ini konsepnya menarik banget." Puji Intan.

Wanita berambut pendek itu, mendekati mereka berdua.

"Kami mengumpulkan foto-foto ini, sebagai edukasi bagi orang-orang suka sejarah."

"Saya merasa, berada dizaman itu, walau saya tidak lahir pada masa itu."

Wanita itu mencarikan tempat duduk, untuk mereka berdua.

"Kalian mau pesan apa?"

"Ah, kami mau pesan kopi."

"Di sini ada menu makanan yang seperti rumah makan pada umumnya, namun di sini ada gorengan dan kue basah."

"Gorengan dan kue basah. Kue talam pandan, dan juga risoles dan tahu isi."

"Baiklah."

Mereka kemudian menikmati, setiap gambar. Ia melihat berbagai macam aktivitas manusia, dari masa-ke-masa. Namun yang membuat mereka tertarik adalah, foto-foto orang-orang yang hidup dimasa penjajahan.

Ia melihat, mereka memakai pakaian yang tetap khas orang Minang, yang sesuai dengan semboyan. Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi kitabullah. Ada yang memakai kerudung, ada pula yang memakai selendang. Setahunya, pada masa penjajahan yang terkenal adalah orang-orang yang memakai baju karung goni, atau kerja paksa yang sering diajarkan oleh Belanda maupun Jepang.

Tapi ini, tak ada satupun orang Minang yang memakai baju kurang bahan. Mereka memakai baju kurung, dan beberapa perhiasan yang melekat.

Saking terkesimanya, ia tidak bisa membedakan mana yang benar-benar dari kalangan rakyat biasa,saudagar kaya atau bangsawan.

Lebih menariknya lagi, ada foto orang-orang yang sedang beribadah bersama-sama, yang mungkin itu adalah moment hari raya Idul Fitri, terlihat pakaian mereka sangat berkelas.

Di antara semua foto, yang menarik perhatiannya adalah, foto kereta batubara, yang berhenti disalahsatu stasiun, yang rasanya sering ia kunjungi. Karena disampingnya, ada sebuah menara yang mungkin pada saat itu tempat letaknya lonceng.

"Ah, stasiun Lubuk Alung dari dulu tidak berubah-berubah ya?" Ujar Aul yang terkesima.

"Apanya yang tidak berubah? Pembangunannya gak main-main sekarang."Ujar Intan

"Tapi menara ini lo."

Intan datang mendekat. Ia menunjuk ke arah gambar yang ia sebutkan.

"Wah.. ia juga."

"Pantas saja, kalau berhenti di sini, vibes Eropanya sedikit terasa."

"Stasiun Kuraitaji dan Pauhkambar juga gitu."

"Itu bukan stasiun sekarang, melainkan shelter. Stasiun besar itu Nareh, terus Gandoriah, Lubuk Alung, Duku, terakhir itu Simpang Aru. Kantornya besar banget."

Saat mereka sedang membahas tempat pemberhentian kereta, wanita itu keluar dengan beberapa ajudannya.

Hanya menyajikan makanan cemilan saja, serasa dilayani bak ratu. Kemudian mereka duduk untuk menyantap hidangan tersebut. Mereka membaca bismillah, lalu kemudian makan.

"Wah, ini enak banget."

Mereka kemudian mencicipinya sekali lagi.

"Wah, ini enak."

"Terimakasih." Wanita itu tetap saja berdiri. Karena merasa tidak enak, mereka meminta pemilik kedai makan untuk duduk bersama. Akhirnya mereka duduk bertiga.

"Saya suka konsepnya. Bagus."

"Restoran ini saya bangun, kalau seandainya mereka pengen pulang kampung dalam perjalanan jauh. Oh, ya di dalam restoran ini ada tempat penginapan." Ujar wanita itu dengan sangat ramah.

"Kalian ini darimana?" Tanya wanita itu.

"Kami dari Limau Manih Uni."ujar Intan.

"Oh ..., dalam rangka apa?"

"Kami mau cari berita, bahwasannya ada kejadian aneh di Pariaman." Kata Aul.

"Kejadian aneh?"

"Ia. Saya kemarin lihat di Youtube, bahwasannya kemarin ada Palasik terbang. Yang dan menghentikan itu adalah satu orang dengan kekuatan pisau Kurambit."

"Kurambit?" Wanita itu mulai mendengarkan pembicaraan mereka.

"Ia. Saya penasaran. Ini berkaitan dengan pengantinnya Palasik itu." Ujar Intan.

"Pengantin." Wanita itu mendengarnya dengan teliti.

"Ia, pengantin itu adalah kakak saya."

Sontak membuat wanita itu kaget.

"Kakak kamu jadi pengantin? Kakak laki-laki atau perempuan."

"Laki-laki." Ucap Aul pada wanita yang belum diketahui namanya siapa.

"Saya tau makhluk itu. Dia Puti Salati. Oh, kenalkan nama saya adalah Sina Badarai."

Wanita itu memperkenalkan dirinya, hingga sontak membuat kedua itu kaget.

"Sina Badarai?" Nama yang tak terasa asing bagi Aul. Ia ingat dulu, ada orang yang memberikan surat secara rahasia, dengan memakai huruf aksara lama Minang. Ia kemudian membawa amplop yang terbuat dari kain, kepada Sina.

"Apakah ini milik anda?"

Wanita itu menyentuhnya. Kemudian, ia menganggukan kepalanya.

Lihat selengkapnya