Sederhananya, hubungan haram adalah hubungan yang melibatkan seseorang dengan orang lain secara romantis di luar ikatan pernikahan. Biasa kita sebut “naksir”, “romansa”, atau “perselingkuhan”. Ada banyak ayat dalam Al-Quran maupun Sunnah yang dengan eksplisit mengutuk hubungan pra-nikah. Memiliki pacar adalah dosa serius dan sangat dilarang dalam Islam.
Cinta: Halal atau Haram
Tertulis dalam Islam bahwa kita tidak diperbolehkan memiliki kekasih sebelum ikatan pernikahan. Kemudian, pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak kita adalah: Apakah haram untuk memiliki “perasaan” kepada seseorang, untuk mencintai seseorang? Jawabannya sederhana, tidak.
Tidaklah haram untuk menyukai seseorang atau untuk mengalami perasaan cinta terhadap seseorang dan ingin menikah dengannya. Cinta merupakan sesuatu yang berada di luar kuasa kita. Cinta merupakan sesuatu yang mengalir dari hati kita begitu saja. Sama seperti semua perasaan lainnya, cinta merupakan emosi yang menguasai hati kita secara instingtif. Namun, jika perasaan cinta ini membawa kita pada pergaulan bebas, tidak menjaga pandangan terhadap lawan jenis, atau menjadikan kita terlibat dalam percakapan-percakapan pribadi, dalam kasus-kasus tersebut perasaan cinta ini dapat dianggap terlarang—haram. Dengan kata lain, jika emosi cinta ini muncul dalam hati seseorang, tetapi dia tidak bereaksi atas hal itu, tidak ada dosa yang dapat dipersalahkan atas dirinya. Tidak ada yang salah dengan cinta yang tumbuh dalam batasan hukum Allah Swt.
“Jika cinta tumbuh atas sebuah alasan yang tidak haram, seseorang tidak dapat dipersalahkan atas hal tersebut, seperti halnya seorang pria yang mencintai istrinya atau budak wanitanya, kemudian pria itu meninggalkannya, tetapi rasa cinta itu tetap ada dan tidak pernah meninggalkan hati si pria. Dia tidak akan dipersalahkan atas hal itu. Hal yang sama juga berlaku jika pria itu menatap wanita tanpa sengaja, kemudian mengalihkan pandangannya, tetapi cinta itu tetap ada di hatinya tanpa dia menginginkannya. Namun, dia harus menahan perasaan itu dan menjauhinya.” (Diriwayatkan oleh Ibn al-Qayyim dalam Rawdah al-Muhibbîn, h. 147)
“Seorang pria bisa saja mendengar kabar tentang seorang wanita yang memiliki perangai baik, bijak, dan cerdas sehingga pria itu ingin menikahinya. Atau seorang wanita bisa saja mendapat kabar bahwa ada pria memiliki karakter yang baik, bijak, dan pandai, juga taat beribadah sehingga dia ingin menikahi pria itu. Namun, kontak antara kedua insan yang saling mengagumi satu sama lain dalam cara-cara yang tidak diterima secara Islam akan menjadi sebuah masalah, yang pada akhirnya akan berujung pada konsekuensi yang sangat berbahaya. Dalam kasus ini, tidak diperbolehkan bagi si pria untuk berhubungan dengan si wanita atau untuk si wanita berhubungan dengan si pria, dan mengutarakan secara langsung bahwa dia ingin menikahi wanita itu. Alih-alih, si pria harus mengutarakannya kepada sang wali dari si wanita bahwa dia ingin menikahinya, seperti yang Umar r.a. lakukan ketika beliau menawarkan putrinya untuk dinikahi oleh Abu Bakar r.a. dan Utsman r.a. Namun, jika si wanita melakukan kontak secara langsung dengan si pria, hal ini yang akan membawa fitnah. (Liwâ’ât al-Bâb il Maftûh)
Kita semua mafhum bahwa Islam tidak melarang perasaan cinta. Alih-alih, Islam mengakuinya, menerimanya, dan mendorongnya dalam cara-cara yang terbaik. Jalan alternatif terbaik dan Islam tawarkan bagi pasangan kekasih adalah melegalisasikannya dalam ikatan pernikahan. Segala bentuk ikatan selain pernikahan akan berarti kehancuran dan akan membawa lebih banyak keburukan daripada kebaikan.
Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Tidak ada yang sebaik pernikahan bagi dua orang yang saling mencintai satu sama lain.” (Diriwayatkan oleh Ibn Majah, Buku 9, Hadis 1920; dinilai “sahih” oleh Al-Albani)